Transformasi
Pertama
Kurikulum Masa Kemerdekaan dan
Pemerintahan Orde-Lama. (Tahun 1945 s.d Tahun 1968)
FAKTA
SELANJUTNYA pada tahun 1947, kurikulum terlahir pada masa kemerdekaan dengan
nama lahir leer plan atau Rentjana
Pelajaran. Istilah ini lebih popular dibanding dengan istilah curriculum. Pada masa ini perubahan arah
pendidikan lebih bersifat politis, yaitu dari orientasi pendidikan Belanda ke
pendidikan Nasional, dengan azas Pancasila. Rentjana Pelajaran 1947, baru dapat dilaksanakan pada tahun
1950, karena itu banyak kalangan menyebutkan bahwa sejarah perkembanggan
kurikulum di Indonesia diawali dari Kurikulum 1950.
KURIKULUM 1950, ini memuat dua
hal pokok yaitu: (i) daftar mata pelajaran dan jam pengajaran, (ii) Garis-Garis
Besar Pengajaran. Orientasi Rencana pelajaran 1947, tidak menekankan pada
belajar berpikir, melainkan bagaimana bersikap, watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Pengaruh pendidikan
kolonial Belanda dan Jepang terutama pada sistem pendidikan masih terasa. Namun
suasana kehidupan berbangsa saat itu dengan semangat merebut kemerdekaan lebih
menekankan pada pembentuk karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat
dan memiliki kesamaan hak dengan bangsa lain.
KURIKULUM 1952, selanjutnya
muncul sebagai penyempurnaan Rentjana
Pelajaran 1947, karena itu dinamakan Rentjana
Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini telah mengarah pada suatu sistem
pendidikan nasional. Setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran
yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Setiap guru mengajar untuk satu
mata pelajaran. Hal ini yang paling menonjol sekaligus ciri dari kurikulum 1952
ini. (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode 1991-1995).
RENTJANA PENDIDIKAN 1964, demikian nama
kurikulum yang disempurnakan pemerintah RI selanjutnya.Kurikulum ini memiliki
pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat
pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembekalan
dipusatkan pada program Panca Wardhana,
yaitu menurut Oemar Hamalik (2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan dan
jasmani. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Panca Wardhana berfokus pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral. Mata pelajaran
diklasifikasikan dalam 5 kelompok bidang studi yaitu: moral, keecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
Transformasi
Kedua
Kurikulum Masa Pemerintahan Orde Baru.
(Tahun 1968 s.d Tahun 1999)
KURIKULUM 1968, sebagaimana
Rencana Pendidikan 1964 masa Orde Lama, juga lahir dalam suasana politis yang
berbeda. Tentu saja kelahirannya pun sangat bersifat politis. Kurikulum 1968
bertujuan membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmanii, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Tampak perubahan struktur kurikulum pendidikan
Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Mata pelajaran dalam kurikulum ini dikelompokkan menjadi 9
pokok. Sebagian para ahli menyatakan bahwa Kurikulum
1968 hanya memuat mata pelajaran pokok saja. Muatan materi pelajaran masih
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Aspek kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan
kuat.
KURIKULUM 1975, merupakan kurikulum yang
menekankan pada tujuan efektivitas dan efisiensi. Sebagian pakar berpendapat
bahwa yang mempengaruhi lahirnya kurikulum ini adalah Management By Obyektive (MBO) sebuah konsep bidang manajemen yang
terkenal saat itu. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana
pelajaran setiap satuan bahasan. Satuan Pelajaran (Satpel) ini memuat: Tujuan
Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran,
alat pelajaran, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) serta evaluasi. Kurikulum 1975
ini banyak menuai kritik karena guru dibuat sibuk menulis satuan pelajaran,
rincian pembelajaran dan pencapaian setiap kegiatan pembelajaran.
KURIKULUM 1984, sering disebut dengan “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Kurikulum ini mengusung gagasan yang mengutamakan
pendekatan proses (Process Skill Approach),
namun tetap tidak mengesampingkan faktor tujuan. Kurikulum ini menempatkan
siswa sebagai subyek belajar. Model pembelajaran yang paling direkomendasikan
adalah yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Siswa dilibatkan secara aktif
dan bersama-sama mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, membuat sesuatu,
memecahkan masalah,hingga melaporkan. Kegiatan ini menitik beratkan pada
keaktifan siswa sebagai inti dari
kegiatan belajar atau dikenal Student
Active Learning (SAL). Guru menyiapkan fasilitas aktivitas siswa melalui:
penyiapan lembar kerja, susunan tugas
bersama, informasi kegiatan, bantuan dan layanan bagi siswa yang membutuhkan,
menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan, membantu mengarahkan rumusan
kesimpulan umum, memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang
lamban, menyalurkan bakat dan minat siswa, dan mengamati setiap aktivitas
siswa. Secara konsep Kurikulum 1984 yang mengusung CBSA sebagai gagasan utama
pendekatannya telah diujicobakan pada sekolah-sekolah dengan hasil yang
meyakinkan. Akan tetapi pada saat penerapannya secara nasional mengalami
deviasi dan reduksi. Banyak sekolah yang keliru bahkan tidak mampu menafsirkan
CBSA secara baik dan benar. Akhirnya penolakan terhadap model CBSA inipun tak bisa
dihindari.
Transformasi
Ketiga
KURIKULUM
1994 dan Suplemen Kurikulum 1999,
Kurikulum
ini sepertinya memiliki niat tulus untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984. Perpaduan terutama pada
tujuan dan proses, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang memadai.
Kurikulum ini telah menjadi kurikulum super
padat. Sehingga mengundang berbagai kritik, utamanya beban belajar yang terlalu berat. Baik muatan nasional maupun
muatan lokal (dari bahasa, kesenian sampai keterampilan daerah dll) Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat dengan isu-isu tertentu untuk masuk
dalam muatan kurikulum. Kejatuhan rezim Soeharto di tahun 1998, telah diikuti
oleh kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Transformasi Keempat
KURIKULUM KBK 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini belum
diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah telah dijadikan
ujicoba dalam rangka proses pengembangan kurikulum. KBK ini merupakan perangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai
oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya
pendidikan (Depdiknas ,2002). KBK
menempatkan fungsi kurikulum sebagai suatu rancana, yang lebih menekankan pada
kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka
melakukan proses pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana cara
mencapainya, secara operasional diserahkan kepada peran guru dilapangan. KBK
tidak secara khusus menjelaskan apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai
kompetensi tertentu. KBK hanya memberikan petunjuk-petunjuk secara umum
bagaimana seharusnya pola pembelajaran diterapkan oleh setiap guru.
KTSP 2006, sesungguhnya
“jelamaan” KBK karena KTSP banyak mengadopsi KBK. Sehingga KBK
sering disebut sebagai jiwanya KTSP. Kurikulum ini dikembangkan oleh BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan). Regulasi KTSP dilandasi oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat (1)
menyatakan bahwa “Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,” dan ayat (2)
menyebutkan bahwa “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik”.
Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk
pendidikan menengah. Dalam rangka melaksanakan perundangan
tersebut, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang meliputi delapan standar, yaitu (1) standar isi, (2) standar kompetensi
lulusan, (3) standar proses, (4) standar penilaian, (5) standar sarana dan
prasarana,(6) standar pengelolaan, (7) standar tenaga kependidikan, dan (8)
standar pembiayaan.
Pasal 17 (ayat 2) PP tersebut
menyatakan bahwa “ Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite
madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah
supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan
untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan
di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK. Sejak keluarnya PP. No. 19 Tahun
2005 secara resmi penyusunan kurikulum
menjadi tanggung jawab setiap satuan pendidikan (sekolah dan madrasah), dengan
demikian tidak lagi dikenal istilah kurikulum nasional yang dulu menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat.
Ada delapan Standar Nasional
Pendidikan yang dijadikan acuan dalam pengembangan dan penyusunan kurikulum
sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Informasi yang
diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mengatakan bahwa pada umumnya
sekolah dan madrasah di semua jenjang dan jenis pendidikan sudah melaksanakan
KTSP walaupun masih adaptasi model kurikulum (KTSP) sekolah lain atau pusat dan
sebagian kecil sekolah/madarasah yang menyusun kurikulum sendiri. Beragamnya kemampuan
dalam mengembangkan kurikulum sekolah (KTSP), ternyata berdampak pada kualitas
kurikulum yang dihasilkan. Upaya verifikasi terhadap kurikulum yang disusun dan
dikembangkan oleh satuan pendidikan untuk melihat kesesuaiannya dengan standar
nasional pendidikan dalam rangka pengendalian mutu kurikulum belum banyak
membantu. Karena dalam melakukan penelaahan kurikulum tentu saja diperlukan
instrumen penelaahan. Maka disusunlah panduan penelaahan kurikulum (KTSP) yang
diharapkan dapat menjadi masukan kepada Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota
dalam melakukan tugasnya menelaah kurikulum sekolah.
Penyusunan Panduan Penelaahan
Kurikulum Sekolah (KTSP) bertujuan untuk memberikan masukan ke Dinas Pendidikan
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka melaksanakan tugas mereka mengendalikan
mutu kurikulum yang disusun oleh satuan
pendidikan sebelum disahkan.
Instrumen penelaahan
kurikulum sekolah (KTSP) ini disusun dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan, terutama standar isi, SKL, standar proses, standar pengelolaan, dan
standar penilaian serta panduan penyusunan KTSP dari BSNP. Panduan penelaahan
Kurikulum Sekolah (KTSP) ini ditujukan bagi Satuan Pendidikan, Dinas Pendidikan
Provinsi, Kabupaten/Kota serta Tim
Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah agar memiliki persepsi yang sama dalam
menelaah kurikulum sekolah.
Transformasi
Kelima
KURIKULUM 2013, saat ini sedang hangat-hangatnya
dibicarakan. Kemunculannya ditanggapi beragam. Ada yang meragukan namun tidak
sedikit yang mengharapkan. Kehadirannya diharap dapat mengatasi masalah dan
kelemahan KTSP. Memang sejatinya yang menjadi salah satu alasan pengembangan
kurikulum adalah upaya mempertahankan
secara optimal kebaikan komponen yang ada, sekaligus menerima secara aktif
kebaikan komponen kurikulum yang baru.
Jika kita menyaksikan realitas
perkembangan kurikulum di negeri ini dimulai sejak sebelum dan sesudah
kemerdekaan, kebijakan pendidikan di era orde lama, orde baru hingga reformasi,
tidak bisa lepas dari beragam tanggapan, kritik dan saran baik positif dan
sebagainya. Hal ini adalah sebuah potensi, merupakan kekuatan, bukti sebuah
kepedulian semua elemen masyarakat terhadap pendidikan.
Pada suatu kesempatan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh membuka rahasia dibalik
penerapan Kurikulum 2013. Menurut beliau pendidikan pada hakikatnya bertujuan
menghilangkan tiga penyakit masyarakat, “Satu saja yang diingat bahwa tujuan
pendidikan adalah menghilangkan
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban.” Masih dalam kesempatan
yang sama, Muhammad Nuh menyampaikan konsep kurikulum 2013 yaitu Tazkiyah
(attitude), Tilawah (pengetahuan), dan Ta’alim (keterampilan). Dengan konsep
Kurikulum 2013 tersebut dapat mengatasi tiga penyakit masyarakat.
Disadari banyak pihak yang menentang
penerapan Kurikulum 2013 ini, bahkan tuntutan dan desakan mundur untuk Muhammad
Nuh. Namun sikap pemerintah sudah jelas bahwa tetap akan menerapkannya.
Penerapan Kurikulum 2013 dilaksanakan secara bertahap dan terbatas. “Sikap kita sudah jelas. Yaa bunaya irham
ma’ana, wala takunu ma’al kafirin. Maka janganlah ikuti jalan orang-orang yang
menentang,” pungkas Nuh.[1]
0 komentar:
Posting Komentar