Aku dan Legawa, entah
karena apa, jika membeli kaos paling suka memilih kaos berbahan katon dan
bermotif sasirangan. Demikian pula dengan abah (demikian panggilan kami, untuk ayah) beberapa baju rumah bahkan pakaian
kerjanya menggunakan kain sasirangan. Entah karena apa pula, abah malah yang
paling banyak mempunyai koleksi batik Jawa dan batik Banjarnya…Ups…, aku salah
ngomong, untuk yang satu ini aku mesti hati-hati. Pasalnya abah termasuk
kelompok Urang Banjar yang tidak begitu
setuju kalau sasirangan itu serta
merta disebut batik Banjar.
Suatu hari abah sedang
bersiap untuk menghadiri acara yudisium di kampusnya. Abah tampak gagah dan
berwibawa dengan pakaian mirip batik yang dikenakannya.

“Tampak keren atau tambah keren?”
“Tampak dan tambah keren bah, he
he..” biasa klarifikasi.
“Oky lah…dan terimakasih untuk
pujian, tapi tidak dengan kekeliruannya, ini bukan batik, ini kain sasirangan,”
koreksi Abah
“Sama bah, itu batik khas
Banjarkan?”
“Ooo…tidak bisaaa…” Abah
menggelengkan kepala dan mengoyang telunjuknya ala Sule komedian Opera Van Java
itu.
“Apa bedanya bah…?” kami pikir Abah
bercanda
“O…bedanyaaa,
bedanya ya? Abah tampak ragu dan perhatian abah seperti terpecah pada makan
siang yang mama siapkan kali ini. Memang
masakan mama selalu berhasil menarik perhatian dan membangkitkan selera makan
kami, lebih-lebih abah. Ini saja tangannya seperti sudah tidak sabar
memindahkan sup ikan lampam di piring
makan lalu ke mulutnya. Sambil mengunyah irisan kunyit , mulutnya juga tak
henti-henti memuji rasa masakan itu, Itu yang menambah semangat mama untuk
terus berkreasi menyiapkan makan sepanjang hari. Itu juga yang menambah berat
badan abah kian hari kian bertambah. Dan beratnya rasa rindu kami dengan
masakan mama diantara hari kehari.
“E ee…diantaranya kalau batik pembuatan
gambarnya dengan, ee cara menerakan malam… pada kain itu kemudian pengolahannya
diproses dengan cara tulis, cetak, atau printing, batik jenisnya beragam ada
yang dinamakan batik cap, batik Pekalongan,
batik Sala, batik Tulis, batik Yogya, demikian penjelasan pembatik ketika ayah
berkesempatan ke Solo beberapa tahun lalu.”
“Lantas
kalau sasirangan…?”
“Bukankah
abah pernah cerita bahwa Kae Anang almarhum, sempat cerita tentang sejarah kain
itu?” mama menambahkan nasi dan lauk ke piring abah.
“Nah
itu dia ma, apa mungkin sambil makan kita bicarakan hal itu?”,

“Masa
bicara kain saja, harus mencari waktu dan tempat yang tepat, bah?”
“Ya…ya..
terserah, kalau kalian yakin… kita mulai pembicaraan ini!” Abah terlihat
mengancam. Memang kami tergolong keluarga yang daya assosiasi dan imajinasinya
terlalu tinggi. Sehingga waktu makan, pantangan membicarakan hal-hal mengandung
sensasi yang akan mengurangi selera makan. Kami sepakat untuk beralih topik
pembicaraan. Tentang mengapa kampus mengharuskan para dosen dan undangan untuk
mengenakan batik atau sasirangan. Karena salama ini biasanya mengenakan jas
resmi.
“Oke…kalau
begitu abah pamit, sepulang acara nanti kita lanjutkan bicara sasirangan, yaaa,
assalamu’alaikum,”
“Waa’laikum
salam warohmatullahi wabaraktuh,”
Ayah
berangkat, kami membantu mama membereskan dan mencuci piring makan. Sementara
mama mengupas kulit nanas yang sudah menguning, belimbing wuluh yang juga
matang, papaya yang mulai memerah, mangga yang ranum, pisang menurun mentah,
timun jepang, kecuali buah gandaria semuanya hasil tanaman mama memanfaatkan
pekarangan. Buah gandaria yang sebesar telor ini merupakan hasil kebun dari
tanaman leluhur. Ini salah satu tradisi keluarga kami menyambut kepulangan ayah
petang nanti. Dan gorengan seperti, tempe, tahu, pisang goreng dll, bila ayah
pulang agak malam. Hal-hal seperti inilah yang membuat ayah kerap cepat-cepat
sampai ke rumah.
Benar
saja, baru saja kami membantu mama mengangkat jemuran dan melipatnya, ayah
terlihat memasuki pekarangan dengan skuternya.
“Aabah
datang!... aabah datang…,” teriak girang
Adinda dan Legawa. Upacara penyambutan abah yang selalu digelar oleh kedua
adikku ini, yang disambut abah dengan rangkulan, gendongan, dan ciuman sayang
kepada Dinda.
Ayah
langsung mencuci tangan pada kran samping rumah, mama tersenyum sambil mengupas
buah-buahan yang tadi telah disiapkan. Aa Mauda membantu menyiapkan sambal
rujak dengan dua rasa, biasa dan sangat pedas. Adinda dan Legawa menyiapkan
diri, dan aku memanggil Kakek dan Nenek lewat SMS, walau cukup dekat. Tidak
membutuhkan waktu terlalu lama untuk menghabiskan semua irisan beragam buah.
Sesekali keluar desahan pedas sambal rujak ditambah dengan komentar manis,
asam, dan segarnya sensasi buahnya.
“Gimana
cerita tentang sasirangannya bah?” aku mulai merasa tidak sabar lagi.
“Sebenarnya
sasirangan itu memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi, dahulu kain itu tidak
untuk dipakai disembarang tempat, melainkan hanya untuk tujuan tertentu saja.
dan tidak semua orang juga boleh membuatnya, tetapi orang-orang tertentu pula.”
kata Abah sambil duduk bersila.
“Sasirangan
dahulu dikenal dengan istilah kain pamintan
yang berarti kain permintaan. Kain
permintaan yang harus dipenuhi sebagai bagian dari syarat ritual pengobatan.
Biasanya dilakukan oleh seorang tabib, untuk membantu penyenbuhan berbagai
penyakit. Kegiatan ritual pengobatan itu dinamakan batatamba dengan media kain pamintan. Kain yang dipakaikan dengan
cara tertentu pada waktu tertentu pula.
Ada yang diikatkan pada kepala, sebagai ikat pinggang, ada juga
dipakaikan seperti layaknya pakaian baju atau sarung. Namun ada pula yang hanya
digunakan sebagai kain ayunan untuk pasien anak-anak.” ayah menarik nafas, kami
juga mengikutinya.
“Begitu
juga dengan waktu memakainya, ada diwaktu pagi saja, siang saja, petang saja
(kala senja) , atau sepanjang malam bahkan sepanjang hari, tetapi ada juga
dipakainya untuk sebentar waktu atau sapanginangan
(salama makan sirih). Mengenai waktu dan cara dan lamanya memakai sangat tergantung
dengan jenis penyakit dan ringan beratnya penyakit yang diderita. Acara
ritualnya bersifat tertutup” ungkap
abah.
“Menurut
Nini (datuk) Anang almarhum, seorang pengrajin kain pamintan, bahwa tidak
sembarang orang boleh dan bisa membuatnya. Keterampilan ini hanya boleh
dilakukan oleh keturunan tertentu, sehingga tidak bisa diajarkan kesembaran
orang. Proses pembuatannya pun diawali dengan sebuah upacara pemberian sesajin
dan penyalaan perapin. Sasajin berupa
tumpeng dengan telor di atasnya, diberi inti kelapa, juga ada kue khas Banjar
seperti kukulih habang kukulih putih atau
bubur ambul (bubur dari bahan tepung beras dengan kuah gula aren). Beberapa
kue lain seperti kue cucur, kikicak,
wajik dll. Tidak ketinggalan tape beras, pisang talas. Kopi manis dan kopi
pahit dengan parapin disampingnya, Doa dipimpin oleh pemimpin lelaku. itulah
lelaku yang dikenal terjadi sekitar abad 16.
Selesai
upacara barulah dimulai proses pembuatan kain pamintan.” abah memegang kain
sasirangan yang telah dilipat kami. Dan kami juga seperti dihipnotis memandang
baju sasirangan yang Abah kenakan.
“Jadi
pembuatan kain sasirangan dahulu
disebabkan karena permintaan tabib sebagai media untuk penyembuhan si sakit,
dengan bantuan ahli pembuat kain pemintan. Proses pembuatan kain pamintan
dengan cara menjahit jelujur pada kain putih berbahan tertentu. Benang yang
digunakan harus kuat, karena harus ditarik untuk menghasilkan pola. Pola
sebagai pembentuk corak atau motif yang disesuaikan
dengan jenis penyakit tertentu.” ayah memegang biji buah gandaria.
“Dahulu
warna-warna dihasilkan semuanya berasal dari zat pewarna alam, seperti kuning
dari kunyit, merah berasal dari gambir, biji pinang, Lombok merah, buah
mengkudu, dan ini biji gandaria ini penghasil warna ungu,juga buah karamunting…” sambil memegang biji
gandaria.
“Kalau
hijau diambil dari daun pandan, bah”, tebakku sambil menunjuk tanaman pandan
didekat kami duduk.
“Yap,
bitul sikali…” puji abah dengan logat Bataknya. “Juga daun luntas dan jahe,”
sambung abah. “ Selain itu ada juga warna hitam dan coklat masing-masing dari aur
dan kulit rambutan. Warna-warna itu dikuatkan dengan campuran rempah-rempah
lain seperti cengkeh, lada, jeruk nipis, pala, jintan, garam, kapur, tawas,
cuka dll”
Oo
pantas.....
0 komentar:
Posting Komentar