SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S


Aku dan Legawa, entah karena apa, jika membeli kaos paling suka memilih kaos berbahan katon dan bermotif sasirangan. Demikian pula dengan abah (demikian panggilan kami, untuk ayah) beberapa baju rumah bahkan pakaian kerjanya menggunakan kain sasirangan. Entah karena apa pula, abah malah yang paling banyak mempunyai koleksi batik Jawa dan batik Banjarnya…Ups…, aku salah ngomong, untuk yang satu ini aku mesti hati-hati. Pasalnya abah termasuk kelompok Urang Banjar yang tidak begitu setuju kalau sasirangan itu serta merta disebut batik Banjar.
             Suatu hari abah sedang bersiap untuk menghadiri acara yudisium di kampusnya. Abah tampak gagah dan berwibawa dengan pakaian mirip batik yang dikenakannya.
Text Box: menerakan = mengecapkan = mencetakkan. Asal kata “tera” berarti cap, tanda gambar            “Abah tampak keren dengan batik itu!” kata Aa Mauda.
            “Tampak keren atau tambah keren?”
            “Tampak dan tambah keren bah, he he..” biasa klarifikasi.
            “Oky lah…dan terimakasih untuk pujian, tapi tidak dengan kekeliruannya, ini bukan batik, ini kain sasirangan,” koreksi Abah
            “Sama bah, itu batik khas Banjarkan?”
            “Ooo…tidak bisaaa…” Abah menggelengkan kepala dan mengoyang telunjuknya ala Sule komedian Opera Van Java itu.
            “Apa bedanya bah…?” kami pikir Abah bercanda
            “O…bedanyaaa, bedanya ya? Abah tampak ragu dan perhatian abah seperti terpecah pada makan siang yang mama siapkan kali ini. Memang masakan mama selalu berhasil menarik perhatian dan membangkitkan selera makan kami, lebih-lebih abah. Ini saja tangannya seperti sudah tidak sabar memindahkan sup ikan lampam di piring makan lalu ke mulutnya. Sambil mengunyah irisan kunyit , mulutnya juga tak henti-henti memuji rasa masakan itu, Itu yang menambah semangat mama untuk terus berkreasi menyiapkan makan sepanjang hari. Itu juga yang menambah berat badan abah kian hari kian bertambah. Dan beratnya rasa rindu kami dengan masakan mama diantara hari kehari.
            “E ee…diantaranya kalau batik pembuatan gambarnya dengan, ee cara menerakan  malam… pada kain itu kemudian pengolahannya diproses dengan cara tulis, cetak, atau printing, batik jenisnya beragam ada yang dinamakan batik cap, batik  Pekalongan, batik Sala, batik Tulis, batik Yogya, demikian penjelasan pembatik ketika ayah berkesempatan ke Solo beberapa tahun lalu.”
            “Lantas kalau sasirangan…?”
            “Bukankah abah pernah cerita bahwa Kae Anang almarhum, sempat cerita tentang sejarah kain itu?” mama menambahkan nasi dan lauk ke piring abah. 
            “Nah itu dia ma, apa mungkin sambil makan kita bicarakan hal itu?”,
Text Box: Jenis Batik:
1. Batik cap adalah batik yang dibuat dengan alat cap
2. Batik tulis adalah batik yang dibuat dengan tangan bukan dengan alat cap.
3. Batik pekalongan kain batik yang dibuat dengan corak dan gaya Pekalongan. 
4. Batik sala adalah batik yang dibuat dengan corak dan gaya Sala Tiga
5. Batik yogya; dibuat dengan corak dan gaya Yogyakarta            “Mengapa bah?, bukankah yang kita bicarakan hanya tentang kain”
            “Masa bicara kain saja, harus mencari waktu dan tempat yang tepat, bah?”
            “Ya…ya.. terserah, kalau kalian yakin… kita mulai pembicaraan ini!” Abah terlihat mengancam. Memang kami tergolong keluarga yang daya assosiasi dan imajinasinya terlalu tinggi. Sehingga waktu makan, pantangan membicarakan hal-hal mengandung sensasi yang akan mengurangi selera makan. Kami sepakat untuk beralih topik pembicaraan. Tentang mengapa kampus mengharuskan para dosen dan undangan untuk mengenakan batik atau sasirangan. Karena salama ini biasanya mengenakan jas resmi.
            “Oke…kalau begitu abah pamit, sepulang acara nanti kita lanjutkan bicara sasirangan, yaaa, assalamu’alaikum,”
            “Waa’laikum salam warohmatullahi wabaraktuh,”
            Ayah berangkat, kami membantu mama membereskan dan mencuci piring makan. Sementara mama mengupas kulit nanas yang sudah menguning, belimbing wuluh yang juga matang, papaya yang mulai memerah, mangga yang ranum, pisang menurun mentah, timun jepang, kecuali buah gandaria semuanya hasil tanaman mama memanfaatkan pekarangan. Buah gandaria yang sebesar telor ini merupakan hasil kebun dari tanaman leluhur. Ini salah satu tradisi keluarga kami menyambut kepulangan ayah petang nanti. Dan gorengan seperti, tempe, tahu, pisang goreng dll, bila ayah pulang agak malam. Hal-hal seperti inilah yang membuat ayah kerap cepat-cepat sampai ke rumah.
            Benar saja, baru saja kami membantu mama mengangkat jemuran dan melipatnya, ayah terlihat memasuki pekarangan dengan skuternya.
            “Aabah datang!... aabah  datang…,” teriak girang Adinda dan Legawa. Upacara penyambutan abah yang selalu digelar oleh kedua adikku ini, yang disambut abah dengan rangkulan, gendongan, dan ciuman sayang kepada Dinda.
            Ayah langsung mencuci tangan pada kran samping rumah, mama tersenyum sambil mengupas buah-buahan yang tadi telah disiapkan. Aa Mauda membantu menyiapkan sambal rujak dengan dua rasa, biasa dan sangat pedas. Adinda dan Legawa menyiapkan diri, dan aku memanggil Kakek dan Nenek lewat SMS, walau cukup dekat. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menghabiskan semua irisan beragam buah. Sesekali keluar desahan pedas sambal rujak ditambah dengan komentar manis, asam, dan segarnya sensasi buahnya.
            “Gimana cerita tentang sasirangannya bah?” aku mulai merasa tidak sabar lagi.
            “Sebenarnya sasirangan itu memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi, dahulu kain itu tidak untuk dipakai disembarang tempat, melainkan hanya untuk tujuan tertentu saja. dan tidak semua orang juga boleh membuatnya, tetapi orang-orang tertentu pula.” kata Abah sambil duduk bersila.
            “Sasirangan dahulu dikenal dengan istilah kain pamintan yang berarti kain permintaan. Kain permintaan yang harus dipenuhi sebagai bagian dari syarat ritual pengobatan. Biasanya dilakukan oleh seorang tabib, untuk membantu penyenbuhan berbagai penyakit. Kegiatan ritual pengobatan itu dinamakan batatamba dengan media kain pamintan. Kain yang dipakaikan dengan cara tertentu pada waktu tertentu pula.  Ada yang diikatkan pada kepala, sebagai ikat pinggang, ada juga dipakaikan seperti layaknya pakaian baju atau sarung. Namun ada pula yang hanya digunakan sebagai kain ayunan untuk pasien anak-anak.” ayah menarik nafas, kami juga mengikutinya.
            “Begitu juga dengan waktu memakainya, ada diwaktu pagi saja, siang saja, petang saja (kala senja) , atau sepanjang malam bahkan sepanjang hari, tetapi ada juga dipakainya untuk sebentar waktu atau sapanginangan (salama makan sirih). Mengenai waktu dan cara dan lamanya memakai sangat tergantung dengan jenis penyakit dan ringan beratnya penyakit yang diderita. Acara ritualnya bersifat tertutup”  ungkap abah.
            “Menurut Nini (datuk) Anang almarhum, seorang pengrajin kain pamintan, bahwa tidak sembarang orang boleh dan bisa membuatnya. Keterampilan ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan tertentu, sehingga tidak bisa diajarkan kesembaran orang. Proses pembuatannya pun diawali dengan sebuah upacara pemberian sesajin dan penyalaan perapin.      Sasajin berupa tumpeng dengan telor di atasnya, diberi inti kelapa, juga ada kue khas Banjar seperti kukulih habang kukulih putih atau bubur ambul (bubur dari bahan tepung beras dengan kuah gula aren). Beberapa kue lain seperti kue cucur, kikicak, wajik dll. Tidak ketinggalan tape beras, pisang talas. Kopi manis dan kopi pahit dengan parapin disampingnya, Doa dipimpin oleh pemimpin lelaku. itulah lelaku yang dikenal terjadi sekitar abad 16.
            Selesai upacara barulah dimulai proses pembuatan kain pamintan.” abah memegang kain sasirangan yang telah dilipat kami. Dan kami juga seperti dihipnotis memandang baju sasirangan yang Abah kenakan.
            “Jadi pembuatan  kain sasirangan dahulu disebabkan karena permintaan tabib sebagai media untuk penyembuhan si sakit, dengan bantuan ahli pembuat kain pemintan. Proses pembuatan kain pamintan dengan cara menjahit jelujur pada kain putih berbahan tertentu. Benang yang digunakan harus kuat, karena harus ditarik untuk menghasilkan pola. Pola sebagai  pembentuk corak atau motif yang disesuaikan dengan jenis penyakit tertentu.” ayah memegang biji buah gandaria.
            “Dahulu warna-warna dihasilkan semuanya berasal dari zat pewarna alam, seperti kuning dari kunyit, merah berasal dari gambir, biji pinang, Lombok merah, buah mengkudu, dan ini biji gandaria ini penghasil warna ungu,juga buah karamunting…” sambil memegang biji gandaria.
            “Kalau hijau diambil dari daun pandan, bah”, tebakku sambil menunjuk tanaman pandan didekat kami duduk.
            “Yap, bitul sikali…” puji abah dengan logat Bataknya. “Juga daun luntas dan jahe,” sambung abah. “ Selain itu ada juga warna hitam dan coklat masing-masing dari aur dan kulit rambutan. Warna-warna itu dikuatkan dengan campuran rempah-rempah lain seperti cengkeh, lada, jeruk nipis, pala, jintan, garam, kapur, tawas, cuka dll”
            Oo pantas.....

0 komentar:

Posting Komentar