Cinta Keluarga dan Alam Sekitar
Film
pendek “Taman Laut di Ujung Timur,”
film semi dokumenter ini menceritakan tentang keindahan alam Raja Ampat, Papua
Barat. Mengisahkan seorang anak bernama Jecko yang nyaris menjadi korban bom
ikan buatan ayahnya sendiri. Nilai-nilai yang ditawarkan adalah nilai cinta
kepada keluarga dan alam sekitar. Mengingatkan kita Objek wisata “Pantai Tangkisung, Pantai Batakan, Pantai Suarangan dan
Pantai Pagatan,” di Kalimantan Selatan
Dan
film dokumenter kompilasi Warisan Budaya Indonesia (Batik, Prambanan, Borobudur) sebuah Warisan Dunia.
FILM
1
Batik
Pada
awalnya dibuat terbatas di kalangan keraton dan digunakan hanya di kalangan
keluarga kerajaan. Lambat laun seni membatik ditiru oleh rakyat yang tinggal di
sekitar keraton. dalam perkembangannya membentik menjadi pekerjaan rumahan kaum
perempuan untuk mengisi waktu senggang. Batik pun berkembang menjadi pakaian
rakyat dan kini digemari masyarakat lebih luas hingga ke mancanegara. Batik
juga menjadi benda koleksi yang sangat bernilai tinggi. Sebagai warisan yang
terjaga dari tahun ke tahun, UNESCO akhirnya menetapjkan batik tulis sebagai
warisan dunia dari Indonesia.
mengingatkan
tulisanku ,”Sasirangan Kain Pamintan,”
Aku dan
Legawa, entah karena apa, jika membeli kaos paling suka memilih kaos berbahan
katon dan bermotif sasirangan. Demikian pula dengan abah, beberapa baju rumah
bahkan pakaian kerjanya menggunakan kain sasirangan. Entah karena apa pula,
abah malah yang paling banyak mempunyai koleksi batik Jawa dan batik
Banjarnya…Ups…, aku salah ngomong, untuk yang satu ini aku mesti hati-hati.
Pasalnya abah termasuk kelompok Urang
Banjar yang tidak begitu setuju kalau sasirangan
itu serta merta disebut batik Banjar.
Suatu
hari abah sedang bersiap untuk menghadiri acara yudisium di kampusnya. Abah
tampak gagah dan berwibawa dengan pakaian mirip batik yang dikenakannya.
“Abah tampak keren dengan batik itu!”
kata Aa Mauda.
“Tampak keren atau tambah keren?”
“Tampak dan tambah keren yah, he he..”
biasa klarifikasi.
“Oky lah…dan terimakasih untuk pujian,
tapi tidak dengan kekeliruannya, ini bukan batik, ini kain sasirangan,” koreksi
Ayah
“Sama yah, itu batik khas Banjarkan?”
“Ooo…tidak bisaaa…” Abah menggelengkan
kepala dan mengoyang telunjuknya ala Sule komedian Opera Van Java itu.
“Apa bedanya yah…?” kami pikir Abah
berckita
“O…bedanyaaa, bedanya ya? Abah tampak
ragu dan perhatian abah seperti terpecah pada makan siang yang mama siapkan
kali ini. Memang masakan mama selalu
berhasil menarik perhatian dan membangkitkan selera makan kami, lebih-lebih
abah. Ini saja tangannya seperti sudah tidak sabar memindahkan sup ikan lampam di piring makan lalu ke
mulutnya. Sambil mengunyah irisan kunyit , mulutnya juga tak henti-henti memuji
rasa masakan itu, Itu yang menambah semangat mama untuk terus berkreasi
menyiapkan makan sepanjang hari. Itu juga yang menambah berat badan abah kian
hari kian bertambah. Dan beratnya rasa rindu kami dengan masakan mama diantara
hari kehari.
“E
ee…diantaranya kalau batik pembuatan gambarnya dengan, ee cara menerakan malam… pada kain itu kemudian pengolahannya
diproses dengan cara tulis, cetak, atau printing, batik jenisnya beragam ada
yang dinamakan batik cap, batik
Pekalongan, batik Sala, batik Tulis, batik Yogya, demikian penjelasan
pembatik ketika ayah berkesempatan ke Solo beberapa tahun lalu.”
“Lantas kalau sasirangan…?”
“Bukankah ayah pernah cerita bahwa Kae
Anang almarhum, sempat cerita tentang sejarah kain itu?” mama menambahkan nasi
dan lauk ke piring ayah.
“Nah itu dia ma, apa mungkin sambil
makan kita bicarakan hal itu?”,
“Mengapa yah?, bukankah yang kita
bicarakan hanya tentang kain”
“Masa bicara kain saja, harus mencari
waktu dan tempat yang tepat, yah?”
“Ya…ya.. terserah, kalau kalian yakin…
kita mulai pembicaraan ini!” Ayah terlihat mengancam. Memang kami tergolong
keluarga yang daya assosiasi dan imajinasinya terlalu tinggi. Sehingga waktu
makan, pantangan membicarakan hal-hal mengandung sensasi yang akan mengurangi
selera makan. Kami sepakat untuk beralih topik pembicaraan. Tentang mengapa
kampus mengharuskan para dosen dan undangan untuk mengenakan batik atau
sasirangan. Karena salama ini biasanya mengenakan jas resmi.
“Oke…kalau begitu ayah pamit, sepulang
acara nanti kita lanjutkan bicara sasirangan, yaaa, assalamu’alaikum,”
“Waa’laikum salam warohmatullahi
wabaraktuh,”
Ayah berangkat, kami membantu mama
membereskan dan mencuci piring makan. Sementara mama mengupas kulit nanas yang
sudah menguning, belimbing wuluh yang juga matang, papaya yang mulai memerah,
mangga yang ranum, pisang menurun mentah, timun jepang, kecuali buah gkitaria
semuanya hasil tanaman mama memanfaatkan pekarangan. Buah gkitaria yang sebesar
telor ini merupakan hasil kebun dari tanaman leluhur. Ini salah satu tradisi
keluarga kami menyambut kepulangan ayah petang nanti. Dan gorengan seperti,
tempe, tahu, pisang goreng dll, bila ayah pulang agak malam. Hal-hal seperti
inilah yang membuat ayah kerap cepat-cepat sampai ke rumah.
Benar saja, baru saja kami membantu
mama mengangkat jemuran dan melipatnya, ayah terlihat memasuki pekarangan
dengan skuternya.
“Aayah datang!... aayah datang…,” teriak girang Adinda dan Legawa.
Upacara penyambutan ayah yang selalu digelar oleh kedua adikku ini, yang
disambut ayah dengan rangkulan, gendongan, dan ciuman sayang kepada Dinda.
Ayah langsung mencuci tangan pada kran
samping rumah, mama tersenyum sambil mengupas buah-buahan yang tadi telah
disiapkan. Aa Mauda membantu menyiapkan sambal rujak dengan dua rasa, biasa dan
sangat pedas. Adinda dan Legawa menyiapkan diri, dan aku memanggil Kakek dan
Nenek lewat SMS, walau cukup dekat. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk
menghabiskan semua irisan beragam buah. Sesekali keluar desahan pedas sambal
rujak ditambah dengan komentar manis, asam, dan segarnya sensasi buahnya.
“Gimana cerita tentang sasirangannya
yah?” aku mulai merasa tidak sabar lagi.
“Sebenarnya sasirangan itu memiliki
nilai sejarah yang cukup tinggi, dahulu kain itu tidak untuk dipakai
disembarang tempat, melainkan hanya untuk tujuan tertentu saja. dan tidak semua
orang juga boleh membuatnya, tetapi orang-orang tertentu pula.” kata Ayah
sambil duduk bersila.
“Sasirangan dahulu dikenal dengan
istilah kain pamintan yang berarti kain permintaan. Kain permintaan yang
harus dipenuhi sebagai bagian dari syarat ritual pengobatan. Biasanya dilakukan
oleh seorang tabib, untuk membantu penyenbuhan berbagai penyakit. Kegiatan
ritual pengobatan itu dinamakan batatamba
dengan media kain pamintan. Kain yang dipakaikan dengan cara tertentu pada
waktu tertentu pula. Ada yang diikatkan
pada kepala, sebagai ikat pinggang, ada juga dipakaikan seperti layaknya
pakaian baju atau sarung. Namun ada pula yang hanya digunakan sebagai kain
ayunan untuk pasien anak-anak.” ayah menarik nafas, kami juga mengikutinya.
“Begitu juga dengan waktu memakainya,
ada diwaktu pagi saja, siang saja, petang saja (kala senja) , atau sepanjang
malam bahkan sepanjang hari, tetapi ada juga dipakainya untuk sebentar waktu
atau sapanginangan (salama makan
sirih). Mengenai waktu dan cara dan lamanya memakai sangat tergantung dengan
jenis penyakit dan ringan beratnya penyakit yang diderita. Acara ritualnya
bersifat tertutup” ungkap ayah.
“Menurut Nini (datuk) Anang almarhum,
seorang pengrajin kain pamintan, bahwa tidak sembarang orang boleh dan bisa
membuatnya. Keterampilan ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan tertentu,
sehingga tidak bisa diajarkan kesembaran orang. Proses pembuatannya pun diawali
dengan sebuah upacara pemberian sesajin dan penyalaan perapin. Sasajin berupa tumpeng dengan telor di
atasnya, diberi inti kelapa, juga ada kue khas Banjar seperti kukulih habang kukulih putih atau bubur
ambul (bubur dari bahan tepung beras dengan kuah gula aren). Beberapa kue
lain seperti kue cucur, kikicak, wajik
dll. Tidak ketinggalan tape beras, pisang talas. Kopi manis dan kopi pahit
dengan parapin disampingnya, Doa dipimpin oleh pemimpin lelaku. itulah lelaku
yang dikenal terjadi sekitar abad 16. Selesai upacara barulah dimulai proses
pembuatan kain pamintan.” ayah memegang kain sasirangan yang telah dilipat
kami. Dan kami juga seperti dihipnotis memandang baju sasirangan yang Ayah
kenakan.
“Jadi pembuatan kain sasirangan dahulu disebabkan karena
permintaan tabib sebagai media untuk penyembuhan si sakit, dengan bantuan ahli
pembuat kain pemintan. Proses pembuatan kain pamintan dengan cara menjahit jelujur
pada kain putih berbahan tertentu. Benang yang digunakan harus kuat, karena
harus ditarik untuk menghasilkan pola. Pola sebagai pembentuk corak atau motif yang disesuaikan
dengan jenis penyakit tertentu.” ayah memegang biji buah gkitaria.
“Dahulu warna-warna dihasilkan
semuanya berasal dari zat pewarna alam, seperti kuning dari kunyit, merah
berasal dari gambir, biji pinang, Lombok merah, buah mengkudu, dan ini biji gkitaria
ini penghasil warna ungu,juga buah karamunting…”
sambil memegang biji gkitaria.
“Kalau hijau diambil dari daun pkitan,
yah”, tebakku sambil menunjuk tanaman pkitan didekat kami duduk.
“Yap, bitul sikali…” puji abah dengan
logat Bataknya. “Juga daun luntas dan jahe,” sambung abah. “ Selain itu ada
juga warna hitam dan coklat masing-masing dari aur dan kulit rambutan.
Warna-warna itu dikuatkan dengan campuran rempah-rempah lain seperti cengkeh,
lada, jeruk nipis, pala, jintan, garam, kapur, tawas, cuka dll”
Oo pantas.....
0 komentar:
Posting Komentar