SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

komponen kurikulum

Senin, 04 Agustus 2014 |


Komponen Kurikulum




SEBAGAIMANA dimaklumi bahwa manusia atau binatang sebagai suatu organisme, memiliki susunan atau unsur-unsur anatomi tertentu, dimana yang satu dengan lainnya saling menopang. Demikian halnya dengan kurikulum pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan.
          Komponen Kurikulum Menurut Beberapa Pendapat: Nana Syaodih Sukmadinata (2002:102) mengidentifikasi unsur atau komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi, yang keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya. Tohari Musnamar sebagaimana dikutip Muhaimin (1991: 11), telah mengidentifikasikan dan merinci komponen – komponen yang dipertimbangkan dalam rangka pengembangan kurikulum yaitu: dasar dan tujuan pendidikan, pendidik, materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, sistem evaluasi, peserta didik, proses pelaksanaan (belajar mengajar), tindak lanjut, organisasi kurikulum, bimbingan dan konseling, administrasi pendidikan, sarana dan prasarana, usaha pengembangan, biaya pendidikan, dan lingkungan.
          Hasan Langgulung (2002:100) membagi unsur kurikulum menjadi empat yaitu: tujuan pendidikan, isi atau kandungan pendidikan, metode pengajaran, dan metode penilaian.  Akhmad Sudrajat mengidentifikasi  komponen kurikulum kepada lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi, dimana kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Muhaimin (1991:11-12)[1] kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: Pertama, kelompok komponen-komponen dasar. Kedua, kelompok komponen-komponen pelaksanaan. Ketiga, kelompok-kelompok pelaksana dan pendukung kurikulum, dan Keempat kelompok komponen usaha-usaha pengembangan.
Mari kita bahas komponen pelaksana dan pendukung kurikulum dalam perspektif pendidikan Islam:

Komponen Pelaksana
1.      Komponen pendidik
Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabby, mursyid, mudarris, dan mu’addib/mudabbir (Muhaimin, 2003:209-213)[2]. Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
          Guru sebagai mursyid dituntut menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model” atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang. mudabbir
          Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194). Dilihat dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya serangkaian fenomena lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).
          Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan dengan hal tersebut hubungan dengan masalah pendidik sebagai komponen kurikulum  pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
          Jika kondisi ini kita biarkan dan fenomena tersebut tak terbantahkan lagi, maka wajar bila banyak yang meragukan konsistensi kurikulum kita. Peran guru professional jika tidak mampu dimainkan dengan baik, bukankah ini juga merupakan raport merah bagi guru profesional. Sebagai bagian dari komponen kurikulum sekolah, diakui atau tidak guru memberikan andil menempatkan  kurikulum menjadi ''sosok'' yang “plin-plan”.

2.      Peserta didik
Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik, peserta didik, warga belajar, dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan pada orang yang mengabdi kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.
          Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
          Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.

3.  Komponen Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance  (bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).
          Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan.
Program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).
          Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.
Selain komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen lain diantaranya:

4.  Administrasi Pendidikan
Administrasi Pendidikan, meliputi: manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan dengan orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi;

5.  Sarana dan Prasarana
Komponen pelaksana kurikulum ini mencakup: buku teks, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah, dan

6.  Biaya Pendidikan
Biaya dan pendidikan tak bisa dipisahkan, keduanya bagai darah dan urat, Muhaimin (2003)[3] menyebutkan biaya pendidikan meliputi: sumber biaya dan alokasinya, perencanaan penggunaan biaya, serta sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya.

7.  Komponen Usaha-Usaha Pengembangan
Usaha pengembangan yang dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan ketiga kelompok komponen kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam rangka memperbaiki bangunan sistem tersebut.

8.  Realisasi dari adanya usaha pengembangan
tersebut ditunjukkan dengan adanya evaluasi dan inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan kualitas kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dsb.; adanya penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite sekolah; dan terjalinnya keja sama dengan lembaga–lembaga lain baik yang berada di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.


[1] Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam: Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo: Ramadhani,1991
[2] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003:209-213
[3] Muhaimin, 2003 op.cit hlm. 186-187

0 komentar:

Posting Komentar