Komponen Kurikulum
SEBAGAIMANA dimaklumi bahwa
manusia atau binatang sebagai suatu organisme, memiliki susunan atau
unsur-unsur anatomi tertentu, dimana yang satu dengan lainnya saling menopang.
Demikian halnya dengan kurikulum pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai
bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan.
Komponen Kurikulum Menurut Beberapa Pendapat: Nana Syaodih
Sukmadinata (2002:102) mengidentifikasi unsur atau komponen dari anatomi tubuh
kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses atau sistem
penyampaian dan media, serta evaluasi, yang keempatnya berkaitan erat satu
dengan lainnya. Tohari Musnamar sebagaimana dikutip Muhaimin (1991: 11), telah
mengidentifikasikan dan merinci komponen – komponen yang dipertimbangkan dalam
rangka pengembangan kurikulum yaitu: dasar
dan tujuan pendidikan, pendidik, materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem
penyampaian, sistem evaluasi, peserta didik, proses pelaksanaan (belajar
mengajar), tindak lanjut, organisasi kurikulum, bimbingan dan konseling,
administrasi pendidikan, sarana dan prasarana, usaha pengembangan, biaya
pendidikan, dan lingkungan.
Hasan Langgulung (2002:100) membagi unsur kurikulum menjadi
empat yaitu: tujuan pendidikan, isi atau
kandungan pendidikan, metode pengajaran, dan metode penilaian. Akhmad Sudrajat mengidentifikasi komponen
kurikulum kepada lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi
kurikulum dan (5) evaluasi, dimana kelima komponen tersebut memiliki
keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Muhaimin (1991:11-12)[1]
kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: Pertama, kelompok komponen-komponen dasar. Kedua, kelompok komponen-komponen pelaksanaan. Ketiga, kelompok-kelompok pelaksana dan pendukung kurikulum, dan Keempat kelompok komponen usaha-usaha
pengembangan.
Mari kita bahas komponen
pelaksana dan pendukung kurikulum dalam perspektif pendidikan Islam:
Komponen Pelaksana
1. Komponen pendidik
Dalam perspektif pendidikan Islam,
seorang guru biasa disebut sebagai ustadz,
mu’allim, murabby, mursyid, mudarris, dan mu’addib/mudabbir (Muhaimin,
2003:209-213)[2].
Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam
mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada
zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim
ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau
kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang
mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil
kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam
sekitarnya.
Guru sebagai mursyid dituntut
menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada
peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya,
atau dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model”
atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan
peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan
mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan
kemampuannya. Sebagai mu’addib,
seorang guru memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization)
yang berkualitas di masa yang akan datang. mudabbir
Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling
tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang
(loving) dalam mengajar dan
mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194). Dilihat dari segi aktualisasinya,
pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta
didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan
profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan
eksistensinya, akibat munculnya serangkaian fenomena lulusan pendidikan yang
secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap
memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).
Kalau
fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan
terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan
dengan hal tersebut hubungan dengan masalah pendidik sebagai komponen
kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan
beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan
tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
Jika
kondisi ini kita biarkan dan fenomena tersebut tak terbantahkan lagi, maka
wajar bila banyak yang meragukan konsistensi kurikulum kita. Peran guru
professional jika tidak mampu dimainkan dengan baik, bukankah ini juga
merupakan raport merah bagi guru profesional. Sebagai bagian dari komponen
kurikulum sekolah, diakui atau tidak guru memberikan andil
menempatkan kurikulum menjadi ''sosok'' yang “plin-plan”.
2.
Peserta
didik
Banyak sebutan di sekitar
kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak
didik, peserta didik, warga belajar, dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat
diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi
guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan pada orang yang mengabdi
kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik
lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti
patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu
dikembangkan terkait dengan komponen
peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen)
siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang
kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak
didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah
peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas
sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak
kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai
pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat,
bakat, dan lainnya.
3. Komponen
Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan penyuluhan
adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance
(bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian
proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan,
supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan
dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan
sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling
merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah
kehidupan dengan wawancara face to face
atau yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).
Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam
merupakan proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor
dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan
pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila
dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim
kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan
dan konseling di lembaga pendidikan.
Program perencanaan kegiatan
bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan layanan bimbingan di
sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta mengena pada
sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).
Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu
diperhatikan pula strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses
layanan serta termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.
Selain komponen tersebut
sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen lain
diantaranya:
4. Administrasi Pendidikan
Administrasi
Pendidikan, meliputi: manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan dengan
orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi;
5. Sarana dan Prasarana
Komponen
pelaksana kurikulum ini mencakup: buku teks, perpustakaan, laboratorium,
perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah, dan
6. Biaya Pendidikan
Biaya dan
pendidikan tak bisa dipisahkan, keduanya bagai darah dan urat, Muhaimin (2003)[3]
menyebutkan biaya pendidikan meliputi: sumber biaya dan alokasinya, perencanaan
penggunaan biaya, serta sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya.
7. Komponen Usaha-Usaha Pengembangan
Usaha pengembangan yang
dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan ketiga kelompok komponen
kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam rangka memperbaiki bangunan
sistem tersebut.
8. Realisasi dari adanya usaha pengembangan
tersebut
ditunjukkan dengan adanya evaluasi dan
inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan kualitas
kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek, menengah, dan
jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dsb.; adanya
penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite sekolah; dan
terjalinnya keja sama dengan lembaga–lembaga lain baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar