SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

17 Kurikulum dalam Beberapa Pandangan

Sabtu, 30 Agustus 2014 |



17
Kurikulum dalam
Beberapa Pandangan




Cara kita memandang
Kurikulum
BERAGAM CARA KITA, memandang kurikulum, tentunya akan menghasil beragam pula persepsi kita tentangnya. Demikian pula para ahli tentunya akan menghasilkan konsep dan teori berbeda tentang kurikulum. Beberapa jenis kurikulum seperti: kurikulum sebagai Suatu program kegiatan yang terencana; Kurikulum sebagai Hasil belajar yang diharapkan; Kurikulum sebagai Reproduksi kultural (Cultural Reprodukction); Kurikulum sebagai Kumpulan tugas dan konsep diskrit; Kurikulum sebagai Agenda rekonstruksi sosial; dan Kurikulum sebagai currere, adalah buktinya.
         
Kurikulum sebagai Suatu Program
Kegiatan yang Terencana
(Taylor, 1970).
KURIKULUM sebagai suatu program kegiatan terencana (program of planned activities) memiliki rentang yang cukup luas, hingga membentuk suatu pandangan yang menyeluruh. Di suatu pihak, kurikulum dipandang sebagai suatu dokumen tertulis (Beauchamp,1981) dan di lain pihak, kurikulum dipandang sebagai rencana tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik.  

Kurikulum sebagai Hasil Belajar
 yang Diharapkan
BEBERAPA AHLI kurikulum seperti (Johnson, 1977 dan Posner, 1982) menyatakan bahwa kurikulum seharusnya tidak dipandang sebagai aktivitas, tetapi difokuskan secara langsung pada berbagai hasil belajar yang diharapkan (intended learning outcomes). Kajian ini menekankan perubahan cara pandang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat (means) menjadi kurikulum sebagai tujuan atau akhir yang akan dicapai (ends). Salah satu alasan utama adalah karena hasil belajar yang diharapkan merupakan dasar bagi perencanaan dan perumusan berbagai tujuan kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks ini, tujuan pembelajaran tidak lagi dirumuskan dalam retorika global seperti “Siswa memiliki apresiasi terhadap warisan budaya”, tetapi dirumuskan dalam serangkaian hasil belajar yang terstruktur. Artinya, setiap kegiatan pengajaran, desain lingkungan, dan sebagainya, difungsikan sedemikian rupa sehingga menjadi saling mendukung untuk mencapai tujuan akhir (ends) yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pandangan ini, hasil belajar yang diharapkan tersebut tidak dapat disamakan dengan kurikulum itu sendiri, tetapi lebih merupakan dunia (realms) kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan (hasil belajar) yang diharapkan.

Kurikulum sebagai Reproduksi Kultural
(Cultural Reprodukction)
SEBAGAI AHLI pendidikan berpandangan bahwa kurikulum dalam setiap masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi dari budaya masyarakat itu sendiri. Sekolah bertugas memproduksi pengetahuan dan nilai-nilai yang penting bagi generasi penerus. Masyarakat, Negara atau bangsa bertanggung jawab mengidentifikasi keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan berbagai apresiasi yang akan diajarkan. Sementara itu, pihak pendidik profesional bertanggung jawab untuk melihat apakah skill, knowledge, dan apresiasi tersebut sudah ditransformasikan ke dalam kurikulum yang dapat disampaikan kepada anak-anak dan generasi muda.
Beberapa contoh dari pandangan kurikulum sebagai reproduksi kultural ini adalah berbagai peristiwa patriotik dalam sejarah nasional, sistem ekonomi yang dominan (komunistik atau kapitalistik), berbagai konvensi kebudayaan, kebiasaan, dan aturan adat istiadat (lores & folkways), serta nilai-nilai agama yang ada di berbagai sekolah yang bernaung di bawah lembaga keagamaan seperti parochial school dan sekolah-sekolah umum. Pengembangan kurikulum semacam ini dimaksudkan untuk meneruskan nila-nilai kultural kepada generasi penerus, melalui lembaga penerus.
Pada mulanya, model kurikulum ini dikembangkan dalam masyarakat industri, ketika para orang tua tidak sempat lagi memberikan pelatihan pada anak-anak mereka, sehingga pelatihan tersebut dipercayakan kepada lembaga-lembaga pendidikan, baik yang dikelola lembaga agama tertentu seperti parochial school, maupun yang dikelola oleh pemerintah dalam bentuk sekolah umum. Model pengembangan kurikulum semacam ini lebih dikenal sebagai model kurikulum berbasis masyrakat atau curriculum-based community (CBC).

Kurikulum sebagai Kumpulan
Tugas dan Konsep Diskrit
Pandangan ini berpendapat bahwa kurikulum merupakan satu kumpulan tugas dan konsep (discrete tasks and concept) yang harus dikuasai siswa. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa penguasaan tugas-tugas yang saling bersifat diskrit (berdiri sendiri) tersebut adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya, tujuan yang dimaksud memiliki interpretasi behavioral yang spesifik, misalnya mempelajari suatu tugas baru atau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Pendekatan ini berkembang dari program-program training dalam bisnis, industri, dan kemiliteran.


Kurikulum sebagai Agenda
Rekonstruksi Sosial
SEJAUH MANA keberanian sekolah membangun suatu tatanan sosial yang baru (Dare the school build a new social order)? Pertanyaan ini merupakan judul karya George S. Counts (1932) yang dipandang sebagai salah seorang perintis konstruksionisme social dalam pendidikan. Ide Counts tersebut banyak diperjuangkan oleh Theodore Brameld dalam dekade 1940-an dan 1950-an, yang banyak terinspirasi pemikiran Dewey. Pandangan ini berpendapat bahwa sekolah harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan nilai-nilai yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki masyarakat dan institusi kebudayaan, serta berbagai keyakinan dan kegiatan praktik yang mendukungnya.

Kurikulum sebagai Currere
Schubert (1986)
SALAH SATU pandangan yang paling mutakhir terhadap dimensi kurikulum adalah yang pandangan yang menekankan pada bentuk kata kerja kurikulum itu, sendiri yaitu currere. Sebagai pengganti interpretasi dari etimologi arena pacu atau lomba (race course) kurikulum, currere merujuk pada jalannya lomba dan menekankan masing-masing kapasitas individu untuk merekonseptualisasi otobiografinya sendiri.
Pemikiran Schubert tersebut didukung oleh pemikiran Pinar dan Grument (1976) yang mengilustrasikan bahwa masing-masing individu berusaha menemukan pengertian (meaning) di tengah-tengah berbagai peristiwa terakhir yang dialaminya, kemudian bergerak secara historis ke dalam pengalamannya sendiri di masa lampau untuk memulihkan dan membentuk kembali pengalaman semula (to recover and reconstitute the origins), serta membayangkan dan menciptakan berbagai arah yang saling bergantung dengan subdivisi-subdivisi pendidikan lainnya.
Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan perspektif ekologis, yaitu makna dari segala sesuatu harus dipandang secara kontinu berikut interdependensinya dengan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya. Dengan demikian, karakter kurikulum membentuk dan dibentuk oleh berbagai hubungan eksternal dengan pengetahuan, perspektif, dan praktik-praktik dalam domain kependidikan lainnya seperti administrasi, supervisi, dasar-dasar pendidikan (sejarah dan filsafat pendidikan, termasuk sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, bahkan perspektif sastra), studi kebijakan, evaluasi, metodologi penelitian, subject areas, jenjang dan tingkatan pendidikan, pengajaran, pendidikan khusus, psikologi pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena beberapa di antara bidang di atas memiliki relevansi langsung dengan kurikulum jika dibandingkan dengan bidang lainnya, maka bidang-bidang yang lebih relevan tersebut perlu dianalisis secara lebih luas dan mendalam.
          Kurikulum sering pula dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum berkembang seiring dengan perkembangan tujuan pendidikan yang dinamis itu. Kurikulum juga berkembang seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Karena itu pengembangan kurikulum menjadi suatu keniscayaan.
          Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan kurikulum tentunya memiliki beberapa komponen, yaitu: tujuan, isi, metode dan evaluasi. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Demikian pengertian kurikulum menurut pandangan Dakir[1]



[1] Bab I Hakikat Kurikulum, Prof.Drs.H.Dakir, Perencanaan & Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta,2010:3

0 komentar:

Posting Komentar