17
Kurikulum
dalam
Beberapa
Pandangan
Cara kita memandang
Kurikulum
BERAGAM CARA
KITA, memandang kurikulum, tentunya akan menghasil beragam pula persepsi kita
tentangnya. Demikian pula para ahli tentunya akan menghasilkan konsep dan teori
berbeda tentang kurikulum. Beberapa jenis kurikulum seperti: kurikulum sebagai
Suatu program kegiatan yang terencana; Kurikulum sebagai Hasil belajar yang
diharapkan; Kurikulum sebagai Reproduksi
kultural (Cultural Reprodukction);
Kurikulum sebagai Kumpulan tugas dan konsep diskrit; Kurikulum sebagai
Agenda rekonstruksi sosial; dan Kurikulum sebagai currere, adalah buktinya.
Kurikulum
sebagai Suatu Program
Kegiatan
yang Terencana
(Taylor, 1970).
KURIKULUM sebagai suatu program kegiatan
terencana (program of planned
activities) memiliki rentang yang cukup luas, hingga membentuk suatu
pandangan yang menyeluruh. Di suatu pihak, kurikulum dipandang sebagai suatu
dokumen tertulis (Beauchamp,1981) dan di lain pihak, kurikulum dipandang
sebagai rencana tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik.
Kurikulum
sebagai Hasil Belajar
yang Diharapkan
BEBERAPA AHLI kurikulum seperti (Johnson,
1977 dan Posner, 1982) menyatakan bahwa kurikulum seharusnya tidak dipandang
sebagai aktivitas, tetapi difokuskan secara langsung pada berbagai hasil
belajar yang diharapkan (intended learning outcomes). Kajian ini
menekankan perubahan cara pandang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat (means)
menjadi kurikulum sebagai tujuan atau akhir yang akan dicapai (ends).
Salah satu alasan utama adalah karena hasil belajar yang diharapkan merupakan
dasar bagi perencanaan dan perumusan berbagai tujuan kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks
ini, tujuan pembelajaran tidak lagi dirumuskan dalam retorika global seperti
“Siswa memiliki apresiasi terhadap warisan budaya”, tetapi dirumuskan dalam
serangkaian hasil belajar yang terstruktur. Artinya, setiap kegiatan
pengajaran, desain lingkungan, dan sebagainya, difungsikan sedemikian rupa
sehingga menjadi saling mendukung untuk mencapai tujuan akhir (ends)
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pandangan ini, hasil belajar yang
diharapkan tersebut tidak dapat disamakan dengan kurikulum itu sendiri, tetapi
lebih merupakan dunia (realms) kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan (hasil belajar) yang diharapkan.
Kurikulum sebagai Reproduksi Kultural
(Cultural Reprodukction)
SEBAGAI AHLI pendidikan berpandangan
bahwa kurikulum dalam setiap masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi
dari budaya masyarakat itu sendiri. Sekolah bertugas memproduksi pengetahuan
dan nilai-nilai yang penting bagi generasi penerus. Masyarakat, Negara atau
bangsa bertanggung jawab mengidentifikasi keterampilan (skill),
pengetahuan (knowledge), dan berbagai apresiasi yang akan diajarkan.
Sementara itu, pihak pendidik profesional bertanggung jawab untuk melihat
apakah skill, knowledge, dan apresiasi tersebut sudah ditransformasikan
ke dalam kurikulum yang dapat disampaikan kepada anak-anak dan generasi muda.
Beberapa contoh
dari pandangan kurikulum sebagai reproduksi kultural ini adalah berbagai
peristiwa patriotik dalam sejarah nasional, sistem ekonomi yang dominan
(komunistik atau kapitalistik), berbagai konvensi kebudayaan, kebiasaan, dan
aturan adat istiadat (lores & folkways), serta nilai-nilai agama
yang ada di berbagai sekolah yang bernaung di bawah lembaga keagamaan seperti parochial
school dan sekolah-sekolah umum. Pengembangan kurikulum semacam ini
dimaksudkan untuk meneruskan nila-nilai kultural kepada generasi penerus,
melalui lembaga penerus.
Pada mulanya,
model kurikulum ini dikembangkan dalam masyarakat industri, ketika para orang
tua tidak sempat lagi memberikan pelatihan pada anak-anak mereka, sehingga
pelatihan tersebut dipercayakan kepada lembaga-lembaga pendidikan, baik yang
dikelola lembaga agama tertentu seperti parochial school, maupun yang
dikelola oleh pemerintah dalam bentuk sekolah umum. Model pengembangan
kurikulum semacam ini lebih dikenal sebagai model kurikulum berbasis masyrakat
atau curriculum-based community (CBC).
Kurikulum
sebagai Kumpulan
Tugas dan Konsep
Diskrit
Pandangan ini berpendapat bahwa
kurikulum merupakan satu kumpulan tugas dan konsep (discrete tasks and
concept) yang harus dikuasai siswa. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa
penguasaan tugas-tugas yang saling bersifat diskrit (berdiri sendiri) tersebut
adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya,
tujuan yang dimaksud memiliki interpretasi behavioral yang spesifik, misalnya
mempelajari suatu tugas baru atau dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Pendekatan ini berkembang dari program-program training dalam bisnis,
industri, dan kemiliteran.
Kurikulum
sebagai Agenda
Rekonstruksi
Sosial
SEJAUH MANA keberanian sekolah membangun
suatu tatanan sosial yang baru (Dare the school build a new social order)?
Pertanyaan ini merupakan judul karya George S. Counts (1932) yang dipandang
sebagai salah seorang perintis konstruksionisme social dalam pendidikan. Ide
Counts tersebut banyak diperjuangkan oleh Theodore Brameld dalam dekade 1940-an
dan 1950-an, yang banyak terinspirasi pemikiran Dewey. Pandangan ini
berpendapat bahwa sekolah harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan
nilai-nilai yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki masyarakat dan
institusi kebudayaan, serta berbagai keyakinan dan kegiatan praktik yang mendukungnya.
Kurikulum
sebagai Currere
Schubert
(1986)
SALAH SATU pandangan yang paling
mutakhir terhadap dimensi kurikulum adalah yang pandangan yang menekankan pada
bentuk kata kerja kurikulum itu, sendiri yaitu currere. Sebagai
pengganti interpretasi dari etimologi arena pacu atau lomba (race course)
kurikulum, currere merujuk pada jalannya lomba dan menekankan
masing-masing kapasitas individu untuk merekonseptualisasi otobiografinya
sendiri.
Pemikiran
Schubert tersebut didukung oleh pemikiran Pinar dan Grument (1976) yang
mengilustrasikan bahwa masing-masing individu berusaha menemukan pengertian (meaning)
di tengah-tengah berbagai peristiwa terakhir yang dialaminya, kemudian bergerak
secara historis ke dalam pengalamannya sendiri di masa lampau untuk memulihkan
dan membentuk kembali pengalaman semula (to recover and reconstitute the
origins), serta membayangkan dan menciptakan berbagai arah yang saling
bergantung dengan subdivisi-subdivisi pendidikan lainnya.
Dalam konteks
ini, perlu dipertimbangkan perspektif ekologis, yaitu makna dari segala sesuatu
harus dipandang secara kontinu berikut interdependensinya dengan
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya. Dengan demikian, karakter kurikulum
membentuk dan dibentuk oleh berbagai hubungan eksternal dengan pengetahuan,
perspektif, dan praktik-praktik dalam domain kependidikan lainnya seperti
administrasi, supervisi, dasar-dasar pendidikan (sejarah dan filsafat
pendidikan, termasuk sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, bahkan
perspektif sastra), studi kebijakan, evaluasi, metodologi penelitian, subject
areas, jenjang dan tingkatan pendidikan, pengajaran, pendidikan khusus,
psikologi pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena beberapa di antara bidang di
atas memiliki relevansi langsung dengan kurikulum jika dibandingkan dengan
bidang lainnya, maka bidang-bidang yang lebih relevan tersebut perlu dianalisis
secara lebih luas dan mendalam.
Kurikulum sering pula dipahami sebagai
alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum berkembang seiring dengan
perkembangan tujuan pendidikan yang dinamis itu. Kurikulum juga berkembang
seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin canggih. Karena itu pengembangan kurikulum menjadi
suatu keniscayaan.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan kurikulum tentunya memiliki beberapa komponen, yaitu: tujuan, isi,
metode dan evaluasi. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang
berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan,
direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang
berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga
kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Demikian
pengertian kurikulum menurut pandangan Dakir[1]
[1] Bab I Hakikat Kurikulum, Prof.Drs.H.Dakir, Perencanaan & Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka
Cipta,2010:3
0 komentar:
Posting Komentar