SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



1
Kepompong Sisdiknas
(Menenguk Kurikulum dalam
Sejarah Bangsa)




Menenguk Sejarah Bangsa
Masyarakat Nusantara sudah mengenal sistem pendidikan keagamaan, seperti agama Hindu, Budha dan Islam. Sistem ini telah mengisi stadium kehidupan sistem pendidikan agama di Indonesia. Sistem ini bagaikan kepompong dari kehidupan berdaur menuju perkembangan dan pengembangan sistem pendidikan agama di Nusantara ini.
          Di awali dengan agama Hindu yang mengenalkan sistem pendidikan feodalistik. Sistem ini berakar dan tumbuh dari sistem kasta, sehingga yang berkesempatan mengenyam pendidikan hanya keluarga Brahmana. Sistem pendidikan seperti ini akhirnya menjadi tidak popular karena terkesan diskriminatif.
          Akan halnya dengan agama Budha yang tidak mengenal kasta berhasil melahirkan institusi pendidikan yang tampak lebih demokratis. Sehingga pada zaman keemasan Kedatuan Sriwijaya terdapat institusi pendidikan agama Budha yang bernama Syakyakirti yang terkenal sampai mancanegara. Syakyakirti dikunjungi oelh para pelajar dari sejumlah negara Asia, antara lain India dan Tiongkok. Bahkan menurut I’Tsing, saat ia berkuinjung ke Sriwijaya, didapati ada sekitar 1.000 penuntut ilmu agama Budha yang belajar di Syakyakirti (Jalaluddin dalam Sirozi, 2005:viii)[1]
          Pada zaman kesultanan Islam, dikenal ada dua sistem pendidikan, yakni sistem surau (Aceh: dayah) dan sistem pondok pesantren (Djumhur dan Danasuparta, 1976:112)[2]. Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individual atas dukungan masyarakat setempat, sedangkan sistem pondok pesantren berada dalam kewenangan kesultanan, sehingga urusan pengelolaan dan pembiayaan serta penunjukkan dan penempatan tenaga pengajar dilakukan atas persetujuan penguasa politik itu. Setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh kyai atau ulama sebagai tokoh agama.


[1] Dasim Budimaansyah, op cit hlm 314
[2] ibid,314

0 komentar:

Posting Komentar