SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

16 Model Pengembangan Kurikulum

Sabtu, 30 Agustus 2014 |



16
Model Pengembangan
Kurikulum




PADA TATARAN realisasi proses pengembangan kurikulum akhirnya memerlukan suatu model pengembangan dan pendekatan yang tentunya harus relevan. Abdullah Idi[1] menyatakan bahwa pada prinsipnya pengembangan kurikulum berkisar pada pengembangan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yang diimbangi dengan perkembangan pendidikan.
          Pada pengembangan kurikulum biasanya didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses pembelajaran, evaluasi proses dan evaluasi hasil belajar, termasuk evaluasi berkelanjutan pada setiap proses pengembangan. Model-model pengembangan kurikulum yang sering mengemuka pada setiap pembahasannya dapat kita klasifikasikan ke dalam beberapa kelompok seperti yang diadaptasi dari Nik Haryati (2011)[2] yaitu:

Model Pengembangan Kurikulum
 ala Rogers
Model hubungan interpersonal merupakan model yang ditawarkan oleh Rogers. Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi antar personal. Model ini diharapkan menghasilkan kurikulum yang lebih realistis  karena didasari atas kenyataan yang diharapkan. Ada empat model pengembangan yang dikemukakan oleh Rogers, dari yang paling sederhana sampai yang paling komplit. Model-model tersebut diurutkan dari Model I yang paling sederhana sampai Model IV yang paling komplit, sebagaimana gambaran berikut:
Model I merupakan model yang paling sederhana yakni kegiatan pendidikan hanya seputar kegiatan memberikan informasi (isi pelajaran) dan seputar evaluasi (ujian). Dasar asumsi model ini adalah bahwa pendidikan merupakan evaluasi dan evaluasi merupakan pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi maateri dan informasi. Model sederhana ini disebut juga model tradisional, tetapi masih dipergunakan. Pertanyaannya sangat sederhana yaitu: Mengapa saya mengajarkan mata ppelajaran ini?;  dan Bagaimana saya dapat mengetahui keberhasilan pengajaran yang saya ajarkan? Pertimbangan atas jawaban tersebut adalah ketepatan dan relevansi bahan pelajaran yang disampaikan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat.

Kesederhanaan model I ini akhirnya mengabaikan metode dalam proses pembelajaran. Hal lain yang acap diabaikan adalah urutan atau organisasi materi pembelajaran secara sistematis dan hirarkis.
Model II, sepertinya ingin menyempurnakan model I dengan metode dan organisasi bahan pelajaran. Pada model II, pemilihan metode yang efektif bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Bahan pelajaran disusun secara sistematis, dari yang mudah ke yang sulit dan konkrit ke abstrak, dan juga keluasan serta kedalaman materi. Tetapi model ini masih mengesampingkan teknologi pendidikan.
Model III, model pengembangan kurikulum ini merupakan penyempurnaan model-model sebelumnya dengan menambahkan unsur teknologi pendidikan yang merupakan faktor yang sangat menunjang keberhasilan pembelajaran. Model ini masih menyimpan kelemahan yakni yang berkaitan dengan masalah tujuan.
Model IV, jawaban atas permasalahan model III telah diatasi oleh Model IV ini, yaitu dengan memasukkan unsur tujuan kedalamnya. Dengan memasukkan unsur tujuan melengkapi unsur-unsur  yang terdapat pada model sebelumnya telah menjadikan model ini menjadi model yang paling komplit.

Model Pengembangan Kurikulum
 ala Zais (1978)
Berbagai model yang muncul dalam pengembangan kurikulum seperti dikemukakkan Robet S. Zais, dalam bukunya Curriculum Principles and Foundation, telah  memberi warna dalam khasanah pembahasan pengembangan kurikulum dalam ruang publik. Berikut kita bicarakan beberapa model pengembangan kurikulum sebagaimana dikemukakan Zais, Beauchamp, dan Hilda Taba.
Model Administratif
Model ini diistilahkan juga  model Topdown,model dari atas ke bawah atau sering juga disebut model garis dan staf. istilah tersebut menggambarkan betapa kegiatan pengembangan kurikulum ini di mulai dari pejabat pendidikan yang berwenang yang membbentuk panitia pengarah. Umumnya terdiri dari unsur pengawas pendidikan , kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia pengarah tersebut mengemban tugas untuk merencanakan, memberikan penggarahan tentang garis besar kebijaksanaan, menyiapkan rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan. Kemudian menunjuk atau membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai kebutuhan. Kelompok kerja beranggotakan staf pengajar dan spesialis kurikulum. Tugasnya adalah menyusun tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan pengajaran, dan kegiatan pembelajaran. hasilnya diserahkan kepada panitia pengarah untuk dilakukan revisi. Selanjutnya walaupun jarang dilakukan tetapi jika dipandang perlu dilakukan uji coba terhadap efektivitas dan kelayakan pelaksanaannya. Pelaksanaan uji coba ini dilakukan oleh komisi yang ditunjuk olek tim pengarah. Anggota komisi sebagian besar terdiri dari kepala sekolah. Setelah uji coba selesai, dilakukan telaah dan atau evaluasi oleh panitia pengarah sebelum mengeluarkan keputusan terhadap pelaksanaannya.
Model administratif ini agak relevan untuk negara-negara yang menganut sistem sentralisasi atau kemampuan profesional tenaga pendidik dan kependidikan yang relatif rendah. Model ini juga menyimpan kelemahan yang terletak pada kurangnya kepekaan terhadap perubahan yang terjadi dimasyarakat. Tidak hanya itu kelemahan lain yang tak dapat disembunyikan adalah sifat seragam yang acap mengabaikan fakta kemejemukan dan kekhususan yang terdapat disetiap daerah.
Model dari Bawah ( Grass-Roats)
Model ini merupakan kebalikan dari model sebelumnya. Jika model administratif kegiatan pengembangan berasal dari atas, pada model ini justru inisiatif pengembangan datang dari bawah yakni dari para pelaksana kurikulum, yaitu para pengajar. Harapan utamanya adalah efektifitas pada penerapannya, karena sejak awal telah melibatkan pelaksananya. Model ini menuntut adanya kerja antar guru, antar sekolah, antar pihak yakni orang tua dan masyarakat secara optimal. Hubungan tersebut difasilitasi dalam sebuah lokakarya oleh para administrator yang juga mendatangkan konsultan dan nara sumber. Model pengembangan ini didasari oleh pandangan demokrratis, karena porses pengambilan keputusan yang berasal dari bawah yakni staf pendidik. Kelemahan model ini terletak pada pengabaian segi teknis dan profesional.
Model Demonstrasi
Esensi dari model demontrasi ini adalah penularan ide. Pendidik pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan kemudian hasilnya ditularkan  ke sekolah sekitar.

Model Beaucham (1964)
Model yang dikembangkan Beauchamp ini merupakan model demonstrasi yang dibuat secara lebih profesional oleh tim pengembang, hasilnya dilaksanakan disekolah kemudian dievaluasi. Model ini identik dengan prosedur lima langkah, yaitu: 
Langkah pertama, penentuan arena pengembangan, seperti kelas, sekolah, sistem persekolahan regional atau nasional; langkah kedua, memilih dan menentukan para pengembang, spesialis, kelompok ahli, wakil profesional pengajar, penyuluh pendidikan dan masyarakat awam; Langkah ketiga,mengorganisasikan dan menentuka prosedur perencanan kurikulum yang meliputi penentuan tujuan, materi pelajaran, dan kegiatan belajar. Langkah keempat, melaksanakan kurikulum secara sistematis disekolah. Langkah kelima, melakukan penilaian kurikulum yang telah dan sedang dilaksanakan.
Model ini memandang kurikulum secara utuh atau menyeluruh. Lihatlah bagaimana model ini melakukan penegasan terhadap arena. Hal ini mempermudah dan menjelaskan ruang lingkup kegiatan. Tapi tak ada gading yang tak retak, pepatah ini berlaku juga untuk model ini. Model ini kehilangan kepekaan terhadap perubahan masyarakat dan tuntutan kekhususan tertentu pada daerah-daerah.
Model Terbalik Hilda Tiba
Model ini dikembangkan agak kurang lazim, tidak seperti model kebanyakan. Model ini dikembangkan atas dasar data induktif terbalik, karena biasanya pengembangan kurkulum didahului  oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara deduktif. Inilah yang menjadikan model ini dinamakan model terbalik. Pengembangan model ini di awali dengan melakukan percobaan, penyusunan teori, kemudian penerapan. Model ini berupaya mempertemukan pengetahuan akademik dengan pengalaman empirik. Model ini juga ingin menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan pada kurikulum yang terjadi tanpa percobaan. Model ini juga memiliki langkah atau tahapan-tahapan. Tahap pertama,menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diuji coba oleh staf pengajar; tahap kedua, mengujicoba untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan kegiatan pembelajaran; tahap ketiga, menganalisis, merevisi hasil ujicoba dan mengonsolidasikan; tahap keempat, melakukan penyusunan kerangka kerja teoritis; tahap kelima, menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan mengumumkannya.
          Pengembangan model terbalik ini berupaya mendekatkan kurikulum realitas dengan pelaksanaannya, yaitu melalui pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar dan profesional. Model ini tampaknya benar-benar ingin memadukan teori dan praktek. Kelemahan model ini terletak pada idealitasnya yang mengharuskan kemampuan teoritis dan praktis secara profesional dari staf pengajar dan administrator pelaksana.

Model Pengembangan Kurikulum
 ala Rapl Tyler
Rapl Tyler, bapak pengembangan kurikulum ini menanamkan perlunya hal yang lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Namun karya dan pendapat Tyler sering dipandang sebelah mata oleh beberapa penulis sesudahnya. Pasalnya ia dianggap terkesan kaku dalam menentukan objectives model. Padahal anggapan itu tidak selalu benar, mengingat banyak karya Tyler yang keliru diinterpretasikan, bahkan dianalisis secara dangkal. Pendapat lain menyatakan bahwa Tyler  tidak menjelaskan sumber tujuan secara memadai. Padahal Tyler telah membahasnya dalam satu buku utuh.
          Terlepas dari itu semua, pengaruh Tyler sangat kuat dan luas terhadap para pengembang kurikulum atau penulis kurikulum selama tiga decade yang lalu.
Model Pengembangan Kurikulum
 ala D.K.Wheeler (1967)
Curriculum Process, merupakan karya Wheeler yang cukup berpengaruh dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Wheeler mempunyai argumen tersendiri tentang pengembangan kurikulum (curriculum developers) yang dapat menggunakan suatu proses melingkar (a cycle proses), dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling bergantung.
           Wheeler mengembangkan ide-idenya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tyler dan Taba. Namun pendekatan rasional yang mendasari pengembangan yang logis terhadap model pengembangan sebelumnya. Wheeler menawarkan lima langkah pula dalam pendekatan ini, dan secara umum langkah-langkah tersebut harus dilaksanakan secara tertib. Secara umum pula lima langkah yang ditawarkan Wheeler ini seakan mengembangkan apa yang telah dilakukan oleh Tyler dan Taba, walau dipresentasikan secara berbeda. Langkah-langkah tersebut dinamakan phases Wheeler, intinya adalah: (1). seleksi maksud, tujuan dan sasarannya; (2) seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan, dan sasaran; (3) seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungkin ditawarkan; (4) organisasi dan integrasi pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar mengajar; (5) evaluasi setiap fase dan masalah-masalah tujuan.
Model Pengembangan Kurikulum
 ala Audery dan Howard Nichollas
Developing Curriculum, a Practical Guide, judul buku yang sangat popular di kalangan pendidik, khususnya di Inggris. Buku karya Audery dan Howard Nichollas, menawarkan konsep pengembangan kurikulum dengan suatu pendekatan yang tegas mencakup elemen-elemen kurikulum yang jelas juga ringkas.
           Titik berat pendekatan pengembangan kurikulum menurut Nichollas adalah rasional, terutama bagi kurikulum baru dari perubahan situasi. Lima langkaah atau tahap yang ditawarkan dalam proses pengembangan secara kontinu, menurut Nicholas adalah: (1) analisis situasi; (2) seleksi tujuan; (3) seleksi dan organisasi isi; (4) seleksi dan organisasi mode; (5) evaluasi.
           Bersama Audery, Nicholas mendefinisikan kembali metodenya Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan kurikulum proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran, dan ini dilakukan demi langkah awal, yaitu analisis situasi. Keduanya mengungkapkan bahwa sebelum elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas, konteks dan situasi dimana keputusan kurikulum dibuat dengan pertimbangan serius dan detail.
           Sehingga dengan analisis situasi sebagai langkah pertama menjadikan para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan. Agaknya pendekatan ini mengharapkan meningkatkan konsistensi para pengembang ketika melakukan implementasi kurikulum di sekolah. selain itu juga mengurangi kemungkinan kesalahan interpretasi baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam kerangka evaluasi berkelanjutan.Selain itu mengasah kepekaan pengembang terhadap tuntutan kebutuhan peserta didik, orang tua dan masyarakat.
           Mereka sengaja memasukan fase analisis situasi ini untuk memaksa para pengembang kurikulum lebih responsive terhadap lingkungan dan secara khusus kebutuhan anak didik. Mereka menekankan dalam perencanaan kurikulum perlunya memakai pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendiagnosis semua faktor yang menyangkut semua situasi dengan diikuti penggunaan pengetahuan dan pengertian yang berasal dari analisis tersebut.

           Model Pengembangan Kurikulum
 ala Decker Walker
Walker berpendapat bahwa para pengembang kurikulum tidak mengikuti pendekatan yang telah ditentukan dari urutan yang rasional dari elemen-elemen kurikulum ketika mereka mengembangkan kurikulum. Lebih baik memprosesnya melalui tiga fase dalam persiapan natural daripada dalam kurikulum. Pengembang kurikulum menurutnya, tidak memulai tugas mereka dalam keadaan kosong. ide-ide, nilai-nilai, konsepsi, dan lain-lain yang mereka gunakan untuk proses pengembangan kurikulum, mengindikasikan adanya kesukaan dan perlakuan sebagai dasar mengembangkan kurikulum.
           Fase pertimbangan yang mendalam terjadi ketika interaksi diantara individu dimulai. Fase ini menurutnya, merupakan fase dimana individu mempertahankan pernyataan platform mereka sendiri dan menekankan pad aide-ide yang ada. Peristiwa ini memberikan suatu situasi di mana pengembang juga berusaha menjelaskan ide-ide mereka dan mencapai suatu consensus. Berangkat dari periode yang agak kacau fase ini menghasilkan suatu iluminasi (pencerahan) yang penuh pertimbangan. Fase yang tidak berada pada serangkaian langkah prosedur, sebagaimana yang terjadi pada objective model. Karena kondisinya sangat kompleks, yang merandomkan seperangkat interaksi yang diakhiri pada sejumlah latar belakang pekerjaan yang hebat sebelum actual curriculum didesain.
           Akhir dari fase model Walker ini adalah menggunakan bentuk desaign. Dimana developer membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum. Keputusan akan dicapai setelah  ada diskusi mendalam dan dikompromikan oleh individu-individu, kemudian direkam sebagai keputusan yang akan menghasilkan basis data untuk materi kurikulum yang lebih spesifik yang dinamakan dokumen kurikulum.
Model Pengembangan Kurikulum
Malcolm Skilbeck
Model pengembangan kurikulum yang diusung oleh Direktur Pusat Pengembangan Kurikulum Australia  Malcolm Skilbeck ini, dikenal dengan model dinamis (dynamic in nature) atau interaksi alternative. Skilbeck dalam sebuah artikelnya (1976) menyarankan sebuah pendekatan yang lebih realistis, sebuah model yang membuat pendidik dapat mengembangkan kurikulum yang lebih ramah. Ia mengingatkan bahwa pengembang kurikulum perlu menndahulukan rencana mreka dengan memulainya dari salah satu langkah dari langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk berurutan. Disamping itu mereka harus mampu mengatasi semua perbedaan dalam langkah-langkah tersebut secara bersamaan. Pengertian model tersebut mendukung pendekatan model rasional.
           Model yang tidak mengisyaratkan suatu alat ini, bertujuan menganalisis secara menyeluruh, namun tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan elemen dan aspek pengembangan agar dapat melihat bagaimana proses bekerja secara sistimatis.

The Demonstration Model
The Demonstration Model, ini pada dasarnya merupakan model yang bersifat grass roots. datang dari bawah. Prakarsanya dari kelompok guru yang bekerja sama dengan ahli, bermaksud mengadakan perbaikan terhadap kurikulum. Namun upaya tersebut tidak selalu mendapat dukungan, bahkan sering ditentang. Beberapa kelebihan model ini diantaranya adalah: Pertama, lebih praktis karena disusun dan dilaksanakan dalam situasi yang nyata. Kedua, dokumentasinya bagus karena penyempurnaannya dalam skala kecil dan dapat menembus hambatan. Ketiga, memungkinkan munculnya  program baru, karena model grass roots ini menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber sebagai pendorong.
          
Model Action Research yang Sistematis
Faktor-faktor  yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum  yaitu adanya hubungan antara manusia, keadaan organisasi sekolah situasi masyarakat,  dan otoritas ilmu pengetahuan. Kemudian mencari sebab-sebab terjadinya problem, menentukan putusan yang perlu  kemudian melaksanakan putusan  yang telah diambil.


[1] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Prktek, Ar-Ruzz Media ,Yogyakarta, 2007 hlm,153 seperti dikutip  Nik Haryati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Alfabeta, Bandung,  2011, hlm 85
[2] Nik Haryati, op.cit. hlm 86-101

0 komentar:

Posting Komentar