16
Model Pengembangan
Kurikulum
PADA
TATARAN realisasi proses pengembangan kurikulum akhirnya memerlukan suatu model
pengembangan dan pendekatan yang tentunya harus relevan. Abdullah Idi[1]
menyatakan bahwa pada prinsipnya pengembangan kurikulum berkisar pada
pengembangan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yang diimbangi dengan
perkembangan pendidikan.
Pada pengembangan kurikulum biasanya
didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses pembelajaran, evaluasi proses
dan evaluasi hasil belajar, termasuk evaluasi berkelanjutan pada setiap proses
pengembangan. Model-model pengembangan kurikulum yang sering mengemuka pada
setiap pembahasannya dapat kita klasifikasikan ke dalam beberapa kelompok
seperti yang diadaptasi dari Nik Haryati (2011)[2]
yaitu:
Model
Pengembangan Kurikulum
ala Rogers
Model
hubungan interpersonal merupakan model yang ditawarkan oleh Rogers. Kurikulum
yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel
terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi antar
personal. Model ini diharapkan menghasilkan kurikulum yang lebih realistis karena didasari atas kenyataan yang
diharapkan. Ada empat model pengembangan yang dikemukakan oleh Rogers, dari
yang paling sederhana sampai yang paling komplit. Model-model tersebut
diurutkan dari Model I yang paling sederhana sampai Model IV yang paling
komplit, sebagaimana gambaran berikut:
Model
I
merupakan model yang paling sederhana yakni kegiatan pendidikan hanya seputar
kegiatan memberikan informasi (isi pelajaran) dan seputar evaluasi (ujian).
Dasar asumsi model ini adalah bahwa pendidikan merupakan evaluasi dan evaluasi
merupakan pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi maateri dan informasi.
Model sederhana ini disebut juga model tradisional, tetapi masih dipergunakan.
Pertanyaannya sangat sederhana yaitu: Mengapa saya mengajarkan mata ppelajaran
ini?; dan Bagaimana saya dapat
mengetahui keberhasilan pengajaran yang saya ajarkan? Pertimbangan atas jawaban
tersebut adalah ketepatan dan relevansi bahan pelajaran yang disampaikan dengan
kebutuhan siswa dan masyarakat.
Kesederhanaan model I ini akhirnya mengabaikan
metode dalam proses pembelajaran. Hal lain yang acap diabaikan adalah urutan
atau organisasi materi pembelajaran secara sistematis dan hirarkis.
Model II, sepertinya ingin
menyempurnakan model I dengan metode dan organisasi bahan pelajaran. Pada model
II, pemilihan metode yang efektif bagi berlangsungnya proses pembelajaran.
Bahan pelajaran disusun secara sistematis, dari yang mudah ke yang sulit dan
konkrit ke abstrak, dan juga keluasan serta kedalaman materi. Tetapi model ini
masih mengesampingkan teknologi pendidikan.
Model III, model pengembangan kurikulum ini
merupakan penyempurnaan model-model sebelumnya dengan menambahkan unsur
teknologi pendidikan yang merupakan faktor yang sangat menunjang keberhasilan
pembelajaran. Model ini masih menyimpan kelemahan yakni yang berkaitan dengan
masalah tujuan.
Model IV, jawaban atas permasalahan model III
telah diatasi oleh Model IV ini, yaitu dengan memasukkan unsur tujuan
kedalamnya. Dengan memasukkan unsur tujuan melengkapi unsur-unsur yang terdapat pada model sebelumnya telah menjadikan
model ini menjadi model yang paling komplit.
Model
Pengembangan Kurikulum
ala Zais (1978)
Berbagai model yang muncul dalam pengembangan
kurikulum seperti dikemukakkan Robet S. Zais, dalam bukunya Curriculum Principles and Foundation, telah memberi warna dalam khasanah pembahasan pengembangan
kurikulum dalam ruang publik. Berikut kita bicarakan beberapa model
pengembangan kurikulum sebagaimana dikemukakan Zais, Beauchamp, dan Hilda Taba.
Model
Administratif
Model ini diistilahkan juga model Topdown,model
dari atas ke bawah atau sering juga disebut model garis dan staf. istilah
tersebut menggambarkan betapa kegiatan pengembangan kurikulum ini di mulai dari
pejabat pendidikan yang berwenang yang membbentuk panitia pengarah. Umumnya
terdiri dari unsur pengawas pendidikan , kepala sekolah, dan staf pengajar
inti. Panitia pengarah tersebut mengemban tugas untuk merencanakan, memberikan
penggarahan tentang garis besar kebijaksanaan, menyiapkan rumusan falsafah dan
tujuan umum pendidikan. Kemudian menunjuk atau membentuk kelompok-kelompok kerja
sesuai kebutuhan. Kelompok kerja beranggotakan staf pengajar dan spesialis
kurikulum. Tugasnya adalah menyusun tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan
pengajaran, dan kegiatan pembelajaran. hasilnya diserahkan kepada panitia
pengarah untuk dilakukan revisi. Selanjutnya walaupun jarang dilakukan tetapi
jika dipandang perlu dilakukan uji coba terhadap efektivitas dan kelayakan
pelaksanaannya. Pelaksanaan uji coba ini dilakukan oleh komisi yang ditunjuk
olek tim pengarah. Anggota komisi sebagian besar terdiri dari kepala sekolah.
Setelah uji coba selesai, dilakukan telaah dan atau evaluasi oleh panitia
pengarah sebelum mengeluarkan keputusan terhadap pelaksanaannya.
Model administratif ini agak relevan untuk
negara-negara yang menganut sistem sentralisasi atau kemampuan profesional
tenaga pendidik dan kependidikan yang relatif rendah. Model ini juga menyimpan
kelemahan yang terletak pada kurangnya kepekaan terhadap perubahan yang terjadi
dimasyarakat. Tidak hanya itu kelemahan lain yang tak dapat disembunyikan
adalah sifat seragam yang acap mengabaikan fakta kemejemukan dan kekhususan
yang terdapat disetiap daerah.
Model dari Bawah
( Grass-Roats)
Model ini merupakan kebalikan dari model sebelumnya.
Jika model administratif kegiatan pengembangan berasal dari atas, pada model
ini justru inisiatif pengembangan datang dari bawah yakni dari para pelaksana
kurikulum, yaitu para pengajar. Harapan utamanya adalah efektifitas pada
penerapannya, karena sejak awal telah melibatkan pelaksananya. Model ini
menuntut adanya kerja antar guru, antar sekolah, antar pihak yakni orang tua
dan masyarakat secara optimal. Hubungan tersebut difasilitasi dalam sebuah
lokakarya oleh para administrator yang juga mendatangkan konsultan dan nara
sumber. Model pengembangan ini didasari oleh pandangan demokrratis, karena
porses pengambilan keputusan yang berasal dari bawah yakni staf pendidik.
Kelemahan model ini terletak pada pengabaian segi teknis dan profesional.
Model
Demonstrasi
Esensi dari model demontrasi ini adalah penularan
ide. Pendidik pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan kemudian
hasilnya ditularkan ke sekolah sekitar.
Model Beaucham
(1964)
Model yang dikembangkan Beauchamp ini merupakan model
demonstrasi yang dibuat secara lebih profesional oleh tim pengembang, hasilnya
dilaksanakan disekolah kemudian dievaluasi. Model ini identik dengan prosedur
lima langkah, yaitu:
Langkah pertama, penentuan
arena pengembangan, seperti kelas, sekolah, sistem persekolahan regional atau
nasional; langkah kedua, memilih dan
menentukan para pengembang, spesialis, kelompok ahli, wakil profesional
pengajar, penyuluh pendidikan dan masyarakat awam; Langkah ketiga,mengorganisasikan dan menentuka prosedur perencanan
kurikulum yang meliputi penentuan tujuan, materi pelajaran, dan kegiatan
belajar. Langkah keempat, melaksanakan
kurikulum secara sistematis disekolah. Langkah
kelima, melakukan penilaian kurikulum yang telah dan sedang dilaksanakan.
Model
ini memandang kurikulum secara utuh atau menyeluruh. Lihatlah bagaimana model
ini melakukan penegasan terhadap arena. Hal ini mempermudah dan menjelaskan
ruang lingkup kegiatan. Tapi tak ada gading yang tak retak, pepatah ini berlaku
juga untuk model ini. Model ini kehilangan kepekaan terhadap perubahan
masyarakat dan tuntutan kekhususan tertentu pada daerah-daerah.
Model Terbalik Hilda Tiba
Model
ini dikembangkan agak kurang lazim, tidak seperti model kebanyakan. Model ini dikembangkan
atas dasar data induktif terbalik, karena biasanya pengembangan kurkulum
didahului oleh konsep-konsep yang
datangnya dari atas secara deduktif. Inilah yang menjadikan model ini dinamakan
model terbalik. Pengembangan model ini di awali dengan melakukan percobaan,
penyusunan teori, kemudian penerapan. Model ini berupaya mempertemukan
pengetahuan akademik dengan pengalaman empirik. Model ini juga ingin
menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan pada kurikulum yang terjadi tanpa
percobaan. Model ini juga memiliki langkah atau tahapan-tahapan. Tahap pertama,menyusun unit-unit
kurikulum yang ada dan diuji coba oleh staf pengajar; tahap kedua, mengujicoba untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan
kegiatan pembelajaran; tahap ketiga,
menganalisis, merevisi hasil ujicoba dan mengonsolidasikan; tahap keempat, melakukan penyusunan
kerangka kerja teoritis; tahap kelima,
menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan mengumumkannya.
Pengembangan model terbalik ini
berupaya mendekatkan kurikulum realitas dengan pelaksanaannya, yaitu melalui
pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar dan profesional. Model ini
tampaknya benar-benar ingin memadukan teori dan praktek. Kelemahan model ini
terletak pada idealitasnya yang mengharuskan kemampuan teoritis dan praktis
secara profesional dari staf pengajar dan administrator pelaksana.
Model
Pengembangan Kurikulum
ala Rapl Tyler
Rapl
Tyler, bapak pengembangan kurikulum ini menanamkan perlunya hal yang lebih
rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Namun
karya dan pendapat Tyler sering dipandang sebelah mata oleh beberapa penulis
sesudahnya. Pasalnya ia dianggap terkesan kaku dalam menentukan objectives model. Padahal anggapan itu
tidak selalu benar, mengingat banyak karya Tyler yang keliru diinterpretasikan,
bahkan dianalisis secara dangkal. Pendapat lain menyatakan bahwa Tyler tidak menjelaskan sumber tujuan secara
memadai. Padahal Tyler telah membahasnya dalam satu buku utuh.
Terlepas dari itu semua, pengaruh
Tyler sangat kuat dan luas terhadap para pengembang kurikulum atau penulis
kurikulum selama tiga decade yang lalu.
Model
Pengembangan Kurikulum
ala D.K.Wheeler (1967)
Curriculum
Process, merupakan
karya Wheeler yang cukup berpengaruh dalam kegiatan pengembangan kurikulum.
Wheeler mempunyai argumen tersendiri tentang pengembangan kurikulum (curriculum developers) yang dapat
menggunakan suatu proses melingkar (a
cycle proses), dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling
bergantung.
Wheeler
mengembangkan ide-idenya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tyler dan Taba.
Namun pendekatan rasional yang mendasari pengembangan yang logis terhadap model
pengembangan sebelumnya. Wheeler menawarkan lima langkah pula dalam pendekatan
ini, dan secara umum langkah-langkah tersebut harus dilaksanakan secara tertib.
Secara umum pula lima langkah yang ditawarkan Wheeler ini seakan mengembangkan
apa yang telah dilakukan oleh Tyler dan Taba, walau dipresentasikan secara
berbeda. Langkah-langkah tersebut dinamakan phases
Wheeler, intinya adalah: (1). seleksi maksud, tujuan dan sasarannya; (2)
seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan, dan sasaran;
(3) seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungkin
ditawarkan; (4) organisasi dan integrasi pengalaman belajar dan isi yang
berkenaan dengan proses belajar mengajar; (5) evaluasi setiap fase dan
masalah-masalah tujuan.
Model
Pengembangan Kurikulum
ala Audery dan Howard Nichollas
Developing
Curriculum, a Practical Guide, judul buku yang sangat popular di
kalangan pendidik, khususnya di Inggris. Buku karya Audery dan Howard
Nichollas, menawarkan konsep pengembangan kurikulum dengan suatu pendekatan
yang tegas mencakup elemen-elemen kurikulum yang jelas juga ringkas.
Titik berat pendekatan
pengembangan kurikulum menurut Nichollas adalah rasional, terutama bagi
kurikulum baru dari perubahan situasi. Lima langkaah atau tahap yang ditawarkan
dalam proses pengembangan secara kontinu, menurut Nicholas adalah: (1) analisis
situasi; (2) seleksi tujuan; (3) seleksi dan organisasi isi; (4) seleksi dan
organisasi mode; (5) evaluasi.
Bersama
Audery, Nicholas mendefinisikan kembali metodenya Tyler, Taba, dan Wheeler
dengan menekankan kurikulum proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran, dan
ini dilakukan demi langkah awal, yaitu analisis situasi. Keduanya mengungkapkan
bahwa sebelum elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas,
konteks dan situasi dimana keputusan kurikulum dibuat dengan pertimbangan
serius dan detail.
Sehingga dengan analisis situasi
sebagai langkah pertama menjadikan para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor
yang akan mereka kembangkan. Agaknya pendekatan ini mengharapkan meningkatkan
konsistensi para pengembang ketika melakukan implementasi kurikulum di sekolah.
selain itu juga mengurangi kemungkinan kesalahan interpretasi baik pada tataran
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam kerangka evaluasi
berkelanjutan.Selain itu mengasah kepekaan pengembang terhadap tuntutan
kebutuhan peserta didik, orang tua dan masyarakat.
Mereka
sengaja memasukan fase analisis situasi ini untuk memaksa para pengembang
kurikulum lebih responsive terhadap lingkungan dan secara khusus kebutuhan anak
didik. Mereka menekankan dalam perencanaan kurikulum perlunya memakai
pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendiagnosis semua faktor yang
menyangkut semua situasi dengan diikuti penggunaan pengetahuan dan pengertian
yang berasal dari analisis tersebut.
Model Pengembangan Kurikulum
ala Decker Walker
Walker berpendapat bahwa para pengembang kurikulum
tidak mengikuti pendekatan yang telah ditentukan dari urutan yang rasional dari
elemen-elemen kurikulum ketika mereka mengembangkan kurikulum. Lebih baik
memprosesnya melalui tiga fase dalam persiapan natural daripada dalam
kurikulum. Pengembang kurikulum menurutnya, tidak memulai tugas mereka dalam
keadaan kosong. ide-ide, nilai-nilai, konsepsi, dan lain-lain yang mereka
gunakan untuk proses pengembangan kurikulum, mengindikasikan adanya kesukaan
dan perlakuan sebagai dasar mengembangkan kurikulum.
Fase
pertimbangan yang mendalam terjadi ketika interaksi diantara individu dimulai.
Fase ini menurutnya, merupakan fase dimana individu mempertahankan pernyataan
platform mereka sendiri dan menekankan pad aide-ide yang ada. Peristiwa ini memberikan
suatu situasi di mana pengembang juga berusaha menjelaskan ide-ide mereka dan
mencapai suatu consensus. Berangkat dari periode yang agak kacau fase ini
menghasilkan suatu iluminasi (pencerahan)
yang penuh pertimbangan. Fase yang tidak berada pada serangkaian langkah
prosedur, sebagaimana yang terjadi pada objective
model. Karena kondisinya sangat kompleks, yang merandomkan seperangkat
interaksi yang diakhiri pada sejumlah latar belakang pekerjaan yang hebat
sebelum actual curriculum didesain.
Akhir
dari fase model Walker ini adalah menggunakan bentuk desaign. Dimana developer membuat keputusan tentang
berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum. Keputusan akan dicapai
setelah ada diskusi mendalam dan
dikompromikan oleh individu-individu, kemudian direkam sebagai keputusan yang
akan menghasilkan basis data untuk materi kurikulum yang lebih spesifik yang
dinamakan dokumen kurikulum.
Model
Pengembangan Kurikulum
Malcolm
Skilbeck
Model pengembangan kurikulum yang diusung oleh
Direktur Pusat Pengembangan Kurikulum Australia
Malcolm Skilbeck ini, dikenal dengan model dinamis (dynamic in
nature) atau interaksi alternative. Skilbeck dalam sebuah artikelnya (1976)
menyarankan sebuah pendekatan yang lebih realistis, sebuah model yang membuat
pendidik dapat mengembangkan kurikulum yang lebih ramah. Ia mengingatkan bahwa
pengembang kurikulum perlu menndahulukan rencana mreka dengan memulainya dari
salah satu langkah dari langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk
berurutan. Disamping itu mereka harus mampu mengatasi semua perbedaan dalam
langkah-langkah tersebut secara bersamaan. Pengertian model tersebut mendukung
pendekatan model rasional.
Model
yang tidak mengisyaratkan suatu alat ini, bertujuan menganalisis secara
menyeluruh, namun tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan elemen dan aspek
pengembangan agar dapat melihat bagaimana proses bekerja secara sistimatis.
The
Demonstration Model
The Demonstration Model, ini pada dasarnya merupakan
model yang bersifat grass roots. datang
dari bawah. Prakarsanya dari kelompok guru yang bekerja sama dengan ahli,
bermaksud mengadakan perbaikan terhadap kurikulum. Namun upaya tersebut tidak
selalu mendapat dukungan, bahkan sering ditentang. Beberapa kelebihan model ini
diantaranya adalah: Pertama, lebih
praktis karena disusun dan dilaksanakan dalam situasi yang nyata. Kedua, dokumentasinya bagus karena
penyempurnaannya dalam skala kecil dan dapat menembus hambatan. Ketiga, memungkinkan munculnya program baru, karena model grass roots ini
menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber sebagai pendorong.
Model Action
Research yang Sistematis
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan
kurikulum yaitu adanya hubungan antara
manusia, keadaan organisasi sekolah situasi masyarakat, dan otoritas ilmu pengetahuan. Kemudian
mencari sebab-sebab terjadinya problem, menentukan putusan yang perlu kemudian melaksanakan putusan yang telah diambil.
0 komentar:
Posting Komentar