3.
Undang-Undang
Sekolah Liar
Sarang Pemberontak
Undang-undang
Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordonantie)
tahun 1925 dan 1930 merupakan kebijakan politik kolonial Belanda sebagai upaya
menutup peluang pengembangan institusi pendidikan Islam di Nusantara. Pada masa
itu pondok pesantren banyak terlibat dalam kancah politik. Sehingga pemerintah
Hindia Belanda berpandangan bahwa pondok pesantren merupakan “Sarang
Pemberontak”.[1]
Atas penilaian tersebut maka, sekita tahun 1926, pondok pesantren tidak termuat
dalam statistic Pemerintahan kala itu. Hanya institusi pendidikan yang memenuhi
ketentuan Undang-undang Sekolah Liar yang dianggap legal dan berhak mendapatkan
subsidi dari pemerintah.
Lahirnya Madrasah
Kebijakan
politik pemerintah kolonial Belanda akhirnya memaksa sejumlah organisasi sosial
keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidikan Barat. Jamiatul Khairiyyah, satu organisasi sosial
keagamaan yang didirikan oleh kaum pedangang keturunan arab, memelopori
berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah. Langkah ini
selanjutnya diikuri oleh organisasi Islam lainnya. Katakanlah Muhammadiyah,
Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, dan Nahdatul Ulama (NU). Dengan
demikian sistem pendidikan pondok terus berlanjut. Keberadaan pondok pesantren
terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama dipedesaan.
Kemerdekaan Sistem Pendidikan
Kemerdekaan Indonesia, diikuti oleh kemerdekaan
sistem pendidikan di negeri kita. Pendidikan dikelola oleh pemerintah.
Pendidikan umum yang sebelumnya merupakan pendidikan kolonial Belanda
diserahkan kewenangannya kepada Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
(Kementrian PPK), Sedangkan pendidikan agama (Islam) berada dalam naungan
Departemen Agama. Kondisi ini berlangsung sampai saat ini, tentunya dalam perbedaan
nama departemen atau kementrian.
0 komentar:
Posting Komentar