SEBAGAIMANA kita ketahui
bahwa proses pengembangan kurikulum
sekolah dilakukan berdasarkan landasan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat. Beberapa pembahasan mengenai landasan dan prosedur menurut
ahli.
PERTAMA, seperti yang dikemukakan Nana Syaodih Sukmadinata[1]
dalam suatu naskah, yaitu Landasan Agama, Landasan Filosofis, Landasan
Psikologis, Landasan Sosial Budaya Dan Landasan Ilmu Dan Teknologi;
Landasan Agama
AGAMA memberikan pandangan
dan ketentuan-ketentuan yang mendasar tentang manusia. Siapa manusia, bagaimana
seharusnya manusia hidup, apa kewajibannya dalam hubungan dengan Tuhannya dan
dengan sesama manusia. Bagaimana manusia dewasa mendidik generasi muda.
Bagaimana manusia meningkatkan dirinya? Manusia adalah makhluk atau ciptaan
Tuhan. Sebagai ciptaan dia harus selalu mengikuti segala perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Manusia wajib hanya beriman kepada Allah, sumber dari segala
sumber, kekuatan dari segala kekuatan. Manusia dikarunia Allah kemampuan
jasmani yang sempurna, berpikir yang tinggi, perasaan yang kuat, hati yang
dalam dan nafsu kuat.
Dengan kemampuan jasmani yang sempurna manusia dapat
melakukan berbagai kegiatan, pekerjaan dan membuat berbagai benda dengan
sempurna. Dengan kemampuan berpikirnya yang sangat tinggi, dia dapat
mempelajari dan mengembangkan ilmu
kehidupan: sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan, pemerintahan,
pertanian, kesehatan, pariwisata, pendidikan,dll.
Dengan perasaannya yang begitu kuat
manusia dapat menciptakan dan menikmati aneka keindahan: alam, benda dan alat
buatan manusia, budaya, seni, pakaian, makanan, dan keindahan manusia sendiri.
Dengan hatinya manusia mampu menghayati,menguasai,melaksanakan dan membedakan
nilai-nilai mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang jahat.
Manusia juga dikaruniai nafsu:
dorongan, keinginan, kemauan, cita-cita. Nafsu ini dapat mengarah kepada yang
baik dan tidak baik. nafsu yang baik adalah yang sesuai dan mengarah kepada
ketentuan Allah, yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, mencari ridha-Nya.
Nafsu yang tidak baik adalah yang selalu mengikuti keinginannya sendiri, yang
mengikuti egonya, yang menyimpang dari ketentuan Allah.
Manusia diwajibkan untuk belajar
sejak lahir sampai dengan menjelang kematiannya,atau belajar sepanjang hayat.
Manusia juga diwajibkan mengembangkan kemampuan jasmani, berpikir, perasaan,
hati dan mengendalikan nafsunya sesuai dengan ketentuan Allah, untuk memelihara
ciptaan-Nya dan bukan merusaknya.
Ilmu Allah itu sangat luas,dan banyak
ketentuan-ketentuan dan rahasia-rahasia yang tersimpan didalamnya. Manusia
wajib mempelajari, meneliti, mengungkap kalau mungkin semua ilmu Allah,
menemukan ketentuan-ketentuan-Nya, mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung
didalamnya dan menggunakannya untuk kemaslahatan sesama manusia,
Pendidikan sejalan
dengan dengan agama, sebab pendidikan bersifat normatif, baik tujuan, maupun
cara mendidik harus didasarkan nilai-nilai yang baik. Demikian jug dengan
kurikulum selalu diarahkan kepada pencapaian tujuan yang bersifat normatif. Isi
atau materi kurikulum terdiri atas ilmu, pengetahuan, kemampuan yang sejalan,
dengan norma. Proses pembelajaran juga menggunakan pendekatan yang selalu
normatif.
Landasan Filosofis
PERLAKUAN seseorang terhadap
orang lain selalu didasari oleh pandangan-pandangan yang mendasar dari orang
tersebut. Demikian halnya dengan perlakuan pendidik kepada peserta didik
didasari oleh pandangan pendidik terhadap dirinya, terhadap peserta didik dan terhadap perbuatan
pendidik.
Siapakah pendidik itu? Apakah dia
manusia super yang serba tahu, yang selain menguasai dan bisa memberikan segala
ilmu juga sangat berkuasa bisa berbuat kepada peserta didik sekehendak hatinya?
Atau, manusia biasa yang dalam keterbatasannya, dia menguasai sesuatu, mau
belajar, dan dengan dasar kasih sayang serta semangat berkorban dia membantu
perkembangan peserta didik?
Siapakah
peserta didik? Jawaban atas pertanyaan siapakah pendidik, akan mewarnai jawaban
atas pertanyaan siapa peserta didik. Kalau pendidik merasa dirinya sebagai
manusia berkuasa dan serba hebat, maka dia akan memandang peserta didik sebagai
orang lemah dan serba tidak tahu, tidak bisa, yang akan menjadi sasaran dan
mungkin menjadi juga korban dari kehebatan dan kekuasaan pendidik. Hubungan
yang akrab, ramah dan bersahabat dari pendidik kepada peserta didik, dalam
kondisi demikian mungkin sulit btercipta, padahal situasi tersebut menjadi
syarat mutlak bagi keberhasilan pendidikan.
Dalam kaitan dengan konsep pendidikan,
pertanyaan awal yang muncul, mau dibawa kemana dan dijadikan apa peserta
didik? Apakah dia akan dijadikan orang
yang banyak ilmunya, serba tahu, serba bisa, tetapi tipis kepedulian sosialnya?
atau orang baik yang suka menentang, menerima dan mengikuti saja apa yang
terjadi? atau, seorang profesional gesit dan lincah, yang pandai bernigosiasi
dan mencari peluang, dan kalau perlu menempuh cara-cara yang ilegal untuk
mensukseskan tujuan? Pendidikan adalah normatif, tujuan pendidikan selalu
mengarah kepada hal yang positif dan konstruktif, tidak mungkin terarah pada
hal-hal yang tidak etis.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, bagaimana seharusnya proses pendidikan berlangsung?
Apakah pendidikan dilaksanakan melalui drilling
dalam situasi disiplin yang ketat? atau, dalam situasi yang betul-betul
permisif, yang mengikuti semua kehendak peserta didik? atau, dalam situasi
peserta didik didorong untuk berinkuiri, mencari menemukan, melakukan pemecahan
masalah dengan arahan dan bimbingan dari pendidik?
Itulah
beberapa pertanyaan mendasar,yang jawabannya ada pada masing-masing pendidik,
sesuai dengan pandangan agama dan pandangan filosofisnya masing-masing. Ada
beberapa pandangan filsafat yang banyak mendasari konsep dan pelaksanaan
pendidikan dan kurikulum, diantaranya pandangan
Positivisme-Emperisme, Pragmatisme, dan Eksistensialisme.
Positivisme atau Emperisme Ilmiah banyak mendasari perkembangan disiplin
ilmu,terutama ilmu-ilmu kealaman (natural science),dengan demikian perkembangan
kurikulum subyek akademis dan kurikulum berbasis ilmu,lebih banyak didasari
oleh pemikiran-pemikiran Positivisme dan
Emperisme Ilmiah. Filsafat Analitik dan Atomisme Logis banyak yang mendasari perkembangan
Teknologi Pendidikan ( Educational
Technology atau Educational System) sebagai
salah satu bidang dan sekaligus aliran pendidikan yang akhir-akhir ini
berkembang sangat pesat. Kurikulum berbasis kompetensi umpamnya merupakan model
kurikulum dalam konsep Teknologi Pendidikan, jelas banyak mengacu pada
pemikiran-pemikiran ini.
Konsep pendidikan yang berlandaskan
pemikiran-pemikiran Positivisme atau Emperisme logis memandang pendidikan
sebagai pewarisan atau penerusan ilmu, keterampilan atau nilai-nilai kepada
generasi muda ”the function of education
is to transmit facts, skills, and values to student’’( Seller and Miller
,19....: ). Pendidikan ini lebih
menekankan pada penguasaan bahan ajaran . Bahan ajaran ini diambil dari
disiplin-disiplin ilmu. Para pengembang kurikulum dalam menyusun isi kurikulum,
tidak perlu susah tinggal memilih dan mengambil bahan-bahan ajaran dari
disiplin ilmu-ilmu yang ada, disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta
didik. Isi kurikulum Biologi untuk SLTP umpamanya ,tinggal diambil dari materi
biologi, dan bahan yang diambil disesuaikan dengan tingkat perkembangan,
kemampuan dan kebutuhan anak pada usia SLTP. Demikian juga dengan mata
pelajaran lain pada jenjang yang lainnya. Bahan ajaran yang akan menjadi isi
kurikulum tidak usah disusun atau dikembangkan oleh guru atau para pengembang
kurikulum sendiri, sebab sudah dikembangkan para ahli jauh sebelumnya, mungkin saja beberapa puluh
bahkan ratusan tahun sebelumnya.
Teknologi Pendidikan yang merupakan induk
dari pendekatan kompetisi (termasuk KBK), lebih mengacu pada filsafat Analistis
atau Atomisme logis. Filsafat ini dasarnya dengan Positivisme atau Emperisme,
bahwa realita absolut adalah inheren
dalam kehidupan dunia ini (kosmos), pengetahuan absolut ditemukan melalui
pengetahuan dan pemikiran. Menurut pemikiran analitis-atomistis ini,
keseluruhan realita terbagi atau dapat dibagi atas bagian, dan bagian terbagi
atas bagian-bagian yang lebih kecil, sampai pada atom-atom yang terbagi lagi
atas electron dan proton. Kehidupan ini, aktivitas, dan energi tidak lain dari
hubungan antara bagian-bagian yang lebih kecil, antara atom-atom, antara proton
dan electron. Kalau kita memahami, menguasai bagian-bagian, atau hubungan antar
bagian maka kita akan menguasai keseluruhan. dalam konsep teknologi pendidikan,
tujuan pendidikan, bahan ajaran, kegiatan pengajaran dianalisis atauu dirinci
menjadi bagian-bagian yang sangat kecil, yang dapat diamati atau diukur. Oleh
karena itu dalam konsep ini, kita mengenal tujuan pembelajaran khusus (intructional objective) sebagai rumusan
tujuan yang sangat spesifik, rincian bahan yang juga sangat rinci (programed instruction), bentuk soal-soal
ujian yang sangat rinci (objective test).
Model pengembangan pembelajaran seperti itu banyak dikembangkan oleh Skinner
beserta para pengikutnya.
Dalam pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, pada
prinsip job, jabatan atau pekerjaan dan tugas menuntut penguasaan sejumlah
kompetensi, kompetensi besar diurai menjadi kompetensi yang lebih kecil, sampai
pada perilaku-perilaku. Pembelajaran diarahkan pada penguasaan
perilaku-perilaku tersebut. Pembelajaran diarahkan pada penguasaan
perilaku-perilaku tersebut. Apabila sejumlah perilaku yang merupakan bagian
dari suatu job kompetensi yang dikuasai, sejumlah sub kompetensi yang merupakan
bagian dari suatu kompetensi dikuasai, sejumlah sub kompetensi yang merupakan
bagian dari suatu kompetensi dikuasai, dan sejumlah kompetensi yang menunjang
suatu tugas dan job dikuasai maka dia akan menguasai job tersebut. Kalau dalam
pengembangan programnya bersifat analitis, dalam implementasinya bersifat
mekanisme-atomistis maka dalam penyimpulan hasilnya bersifat sintetis.
Peserta Didik sebagai Subjek
PRAGMATISME
dengan
tokoh utamanya John Dewey banyak mendasari konsep pendidikan yang lebih
memposisikan siswa sebagai subjek, siswa mempunyai peranan yang lebih besar
dalam belajar,pendidikan bersifat student centered. Menurut pandangan ini siswa
memiliki kemampuan berpikir dan memecahkan masalah secara inteligen, “ student
is a rational and capable of intelligent problem solving’’. Pendidikan bukan
lagi pewarisan atau penyampaian pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai
kepada siswa ,tetapi merupakan dialog antara siswa dengan kurikulum. Siswa
melalui proses dialog tersebut melakukan rekonstruksi pengetahuan, “ Education is a dialog between student and
the curriculum,student reconstructs knowledge through the dialog process”,
(Seller and Miller,1980-an).
Eksistensialisme
atau transendentalisme, lebih
menekankan perkembangan pribadi dan sosial. Pendidikan diarahkan pada
menimbulkan perubahan-perubahan pribadi dan sosial. “Education focuses on personal and social change”. Pendidikan
merupakan upaya untuk melakukan transformasi, perubahan atau perkembangan baik
pribadi siswa sebagai warga masyarakat maupun pada masyarakatnya sendiri,”teaching students skills that promote
personal and social ttansformation.” Pengajaran lebih menekankan pemecahan
masalah baik masalah kemasyarakatan masalah kehidupan siswa sendiri. Siswa
belajar secara kelompok memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Landasan Psikologis
KURIKULUM, merupakan suatu rancangan untuk membantu
pengembangan peserta didik. Peserta didik adalah manusia yang berbeda dengan
benda mati maupun binatang, karena manusia memiliki segi-segi psikologis.
Manusia itu merupakan makhluk yang unik, memiliki sifat, karakteristik dan
kemampuan yang beragam tetapi membentuk satu kesatuan yang khas. Manusia juga
merupakan yang selalu berkembang (developing,
changing, becoming) dan perkembangannya dinamis, ada pola-pola umum
perkebangan yang sama tetapi secara spesifek, terdapat keragaman, tiap orang
mempunyai dinamika, tempo dan irama perkebangan sendiri, yang seringkali sulit
diduga.
Para guru, dosen, instruktur dan pengembang kurikulum perlu
memahami keunikan dan dinamika perkembangan individu siswa. Ada beberapa konsep
psikologi yang sering menjadi landasan di dalam pendidikan dan pengembangan
kurikulum, di antaranya Behaviorisme, Psikologi Kognitif dan Naturalisme
Romantik.
Behaviorisme,
merupakan konsep psikologi yang didasarkan atas filsafat Positivisme atau
Emperisme Logis, lebih menekankan pada prilaku nyata yang dapat diamati atau
diukur. Perilaku manusia seperti halnya dalam ilmu kealaman tunduk pada
hubungan sebab akibat. Hubungan sebab akibat ini dalam Behaviorsme dirumuskan
dalam bentuk stimulus-respon. Stimulus-respon merupakan dasar dari teori
belajar Behaviorisme yang banyak mendasari konsep Teknologi Pendidikan.
bertolak dari stimulus-respon ini berkembang teori belajar pengkondisian (conditioning) dan penguatan (reinforcement).
Psikologi Kognitif, lebih
menekankan pengembangan segi kognitif atau kemampuan berpikir. Manusia memiliki
kemampuan berpikir: memahami, menganalisis, menilai, memecahkan masalah.
Belajar merupakan proses inkuiri, mencari, menemukan dan memecahkan masalah.
Psikologi Naturalisme Romantik.
berasal dari Rousseau. Konsep psikologi ini bertolak dari asumsi bahwa anak
memiliki sejumlah potensi, potensi-potensi ini harus dikembangkan secara
alamiah. Menurut Rousseau “segala yang bersifat
alamiah adalah baik sebab semua ciptaan Tuhan adalah baik, menjadi rusak karena
perbuatan manusia.”. Child essentially good, education should allow the
inner nature of the child to unfold”. Pendidikan berperan dalam mengembangkan
semua potensi yang ada pada anak. Belajar lebih menekankan pada pengembangan
pribadi dan kemampuan memecahkan masalah sosial. Psikologi Naturalisme, lebih
menekankan keutuhan perkembangan, baik segi intelektual maupun segi-segi
afektif dan spiritual.
Pandangan-pandangan psikologi tersebut banyak mendasari
teori atau konsep-konsep perkembangan dan belajar. Konsep-konsep perkembangan
dan belajar yang akan diuraikan selanjutnya hanya umum saja yang banyak
digunakan dalam praktek pendidikan dan pengajaran.
Perkembangan
Berpikir. Salah satu konsep perkembangan yang banyak
dijadikan acuan dalam pengembangan dan penerapan kurikulum adalah tahap-tahap
perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir J.Piaget seorang ahli Psikologi
Perkembangan dari Perancis yang banyak meneliti perkembangan anak.
Menurut Piaget anak pada usia SD berada pada masa Berpikir
Prakonsep (2.0-7,0 tahun) dan Berpikir Konkrit (7,0-11,0 tahun). Pada akhir
masa Prakonsep (7,0 tahun) anak telah memiliki kemampuan berpikir semi logis,
dapat menggunakan pola-pola berpikir logis satu arah, pemahaman waktu masih
pendek, pemahaman ruang disekitar tempat tinggalnya, belum bisa membedakan
fantasi dan kenyataan, animistic, dapat menggambar segi tiga dan segi empat,
menggambar yang diketahui bukan yang dilihat.
Pada akhir berpikir konkrit (11.00 tahun) anak memiliki
kemampuan berpikir reversal (sebaliknya), mengukur, menganalisis, memahami
hubungan bagian dengan keseluruhan, dapat menggunakan pengelompokan logis,
menguasai operasi: tambah, kurang, kali, bagi dan pangkat, akar yang sederhana.
Perkembangan
Moral Kognitif, Mengenai mengenai kemampuan afektif khususnya
perkembangan moral, dalam pengembangan kurikulum banyak mengacu kepada konsep
dari Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi tingkat perkembangan moral atas enam
tahapan yaitu: menghindari hukuman mencari ganjaran, berbuat baik sebagai alat
mencapai tujuan pribadi, berbuat baik agar dapat pujian, mematuhi hukum,
menghormati perjanjian masyarakat dan kata hati.
Kohlberg tidak memberikan pembagian jenjang waktu, tetapi beberapa
ahli lain mencoba menghubungkannya dengan tahapan-tahapan waktu perkembangan. Helm
dan Turner (1981) menyimpulkan tahap menghindari hukuman dan mencari rasa
senang berkembang pada masa bayi dan kanak-kanak, berbuat baik sebagai alat
memenuhi kebutuhan berkembang pada masa anak kecil, tahap berbuat baik agar
dikenal dan dipuji serta tahap berbuat baik karena patuh terhadap peraturan
berkembang pada masa anak. Dua tahapan yang tertinggi, yaitu berbuat baik
karena telah merupakan persetujuan masyarakat dan tahap berbuat baik karena
timbul darii hati nurani berkembang pada masa remaja dan dewasa.
Psikologi
Belajar, Kurikulum merupakan rancangan bagi pengembangan
kemampuan-kemampuan peserta didik, dan pengembangan atau perkembangan kemampuan
peserta didik ini berlangsung melalui proses belajar. Konsep belajar yang
banyak digunakan dalam pembelajaran di kelas adalah belajar Behaviorisme.
Seperti telah disinggung di muka bahwa Psikologi Behaviorisme menekankan kepada
perilaku individu. Perilaku individu tidak lain dari hubungan antara stimulus
(S) dengan respon (R) ; lampu merah (stimulus) á berhenti (respon), guru
bertanya (S) á murid menjawab (R). Konsep S-R yang sederhana ini disebut teori
asosiasi atau koneksionisme (Association
atau Connectionsm Theory)
Dalam perkembangan selanjutnya muncul teori pengkondisian
(Conditioning Theory). Dalam konsep ini sebelum stimulus diberikan
pengkondisian, kalau hal itu secara berulang-ulang maka respon bisa terjadi
walaupun stimulusnya tidak ada, hanya ada pengkondisian saja. Bel
dibunyikan-waktu menunjukkan pukul tujuh á siswa masuk kelas, walaupun waktu
belum menunjukkan pukul tujuh bila dibunyikan maka siswa masuk kelas. Bunyi bel
merupakan pengkondisian.
Selain pengkondisian, dalam Behaviorisme dikenal juga penguatan (reinforcement).
Penguatan tidak diberikan pada stimulus, tetapi kepada respon. Mahasiswa
belajar sungguh-sungguh (S) dia dapat menjawab soal-soal dengan baik, karena
bisa menjawab soal dengan baik maka dosen memberi nilai A atau memberi hadiah.
Nilai A atau hadiah menrupakan penguatan (reinforcement). Kalau hal ini
berlangsung berulang-ulang maka terjadilah keadaan, mahasiswa tidak belajar
untuk menjawab soal dengan baik tetapi (red belajar) untuk mendapatkan nilai
atau hadiah. Dalam pengajaran yang mengacu pada konsep Behaviorisme, maka
ganjaran, pujian, hadiah di satu sisi dan peringatan, terguran dan hukuman di
sisi lain sangat mendapatkan perhatian, seringkali dijadikan alat pendidikan.
Psikologi belajar lain yang banyak digunakan dalam prkatik
pendidikan adalah adalah psikologi Kognitif. Pembelajaran dalam konsep konsep
ini lebih menekankan pemahaman, kemampuan mencari, menemukan dan memecahkan
masalah. Model-model pembelajaran yang bersifat mencari (inquiry), menemukan (discovery),
memecahkan masalah (problem solving)
dan sejenisnya merupakan penerapan Psikologi Kognitif. Sebagai pengembangan
lebih lanjut dari teori Kognitif adalah Psikologi Rekonstruktif, dalam
pembelajaran anak merekontruksi pengetahuan, konsep-konsep, teori-teori,
model-model dan kemampuan-kemampuan berpikirnya.
Psikologi belajar Naturalisme Romantik walaupun tidak
sekuat Behaviorisme dan Psikologi Kognitif juga banyak digunakan dalam praktik
pendidikan. Pembelajaran yang lebih menekankan pengembangan potensi, baik
potensi intelektual, sosial, afektif dan motorik berasal dari psikologi ini.
Demikian juga pembelajaran yang menekankan keutuhan kepribadian, pengembangan
pribadii dan kemasyarakatan sebenarnya juga dikembangkan dari konsep-konsep
psikologi naturalism.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini Behaviorisme tidak lagi
berpegang teguh pada konsep SR, dengan pengkondisian dan penguatannya, tetapi
juga memasukan konsep-konsep Psikologi Kognitif. Dalam pengembangan
program-program instruksional (pembelajaran) malahan lebih banyak konsep-konsep
yang berasal dari Psikologi Kognitif seperti pengajaran: inkuiri, discovery,
pemecahan masalah, pengajaran berbasis pengalaman, pengajaran kontektual, dll.
Dalam praktik
pengembangan dan implementasi kurikulum, khususnya dalam praktik pembelajaran
konsep-konsep belajar dari psikologi Behaviorisme, Psikologi Kognitif dan
Naturalisme terjadi paduan, walaupun secara teoretis asumsi dan konsepnya
sangat berbeda.
Landasan Sosial Budaya
Pendidikan tidak berlangsung diruang hampa, tetapi dalam lingkungan
sosial budaya tertentu. Peserta didik datang dari berbagai lingkungan dan
membawa ciri-ciri sosial budaya tertentu. Mereka dididik dan disiapkan untuk
hidup dan bekerja dalam lingkungan sosial budaya tertentu pula. Mereka dituntut
untuk menguasai ilmu, pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan
karakteristik dan perkembangan dalam lingkungan sosial budaya. Lingkungan
sosial budaya disini dalam arti yang cukup luas, bukan hanya berkenaan dengan
nilai-nilai tetapi juga perkembangan perilaku dan pola hidup masyarakat,
kebutuhan dan tuntutan masyarakat, perkembangan dan tuntutan dunia kerja,
bahkan perkembangan dan tuntutan dunia global.
Kondisi alam berbagai daerah dan pulau berbeda-beda.
Sejalan dengan keragaman tersebut tumbuhlah pola-pola hidup dan kehidupan, cara
bekerja dan berinteraksi, nilai-nilai sosial dan budaya yang sesuai dengan
keadaan alamnya. Interaksi dan komunikasi antar daerah, kepulauan, kepulauan,
etnik, ras, agama, penyampaian berbagai informasi melalui media cetak, gambar
dan elektronik, secara berangsur-angsur tetapi ada kalanya juga secara drastis
mengubah pola-pola kehidupan dan nilai-nilai sosial budaya. Perubahan tersebut
ada kalanya sejalan dengan nilai-nilai dasar yang ada, dan ada kalanya tidak
sejalan, bisa membawa dampak positif, tetapi juga bisa membawa dampak negatif.
Kecepatan perkembangan tidak selalu merata, di kota-kota
besar umumnya lebih cepat dibandingkan dengan di kota kecil, apalagi dengan
pedesaan, sehingga yang terjadi bukan saja adanya keragaman, tetapi juga bisa
terjadi adanya kesenjangan yang cukup jauh. Karena adanya komunikasi yang
bergitu kaya dan sangat intensif, perbauran nilai-nilai dan perubahan pola-pola
kehidupan seringkali berjalan sangat cepat, tidak jarang menimbulkan frustasi
dan konflik.
Perkembangan kondisi dan nilai-nilai sosial budaya, bukan
sesuatu, bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi selalu terkait dan
dipengaruhi oleh bidang-bidang lain, seperti ekonomi, politik, hukum, bahkan
ilmu dan teknologi. Kondisi hukum dan politik yang stabil, menjadi pijakan bagi
pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan ekonomi yang tumbuh pesat menjadi landasan
bagi pertumbuhan atau pengalihan ilmu dan teknologi. Kondisi hukum dan politik
yang stabil, pertumbuhan ekonomi yang pesat akan berpengaruh pada kemapanan
kondisi sosial dan nilai-nilai masyarakat. Sebaliknya ketidakmapanan hukum dan
gejolak politik, yang menimbulkan berbagai hambatan pertumbuhan ekonomi, akan
menimbulkan berbagai kerawanan sosial dan konflik nilai.
Para pengembang kurikulum harus memperhatikan keragaman
kondisi, kecenderungan dan kecepatan perubahan serta gejolak-gejolak sosial
budaya yang ada dan terjadi di masyarakat. Program pendidikan atau kurikulum
perlu disusun dan diimplementasikan dengan memperhatikan kondisi dan perkembangan
sosial budaya. Indonesia memiliki penduduk yang multi ras, multi etnik, dan
multi agama, yang tersebar dalam daerah yang begitu luas dan banyak dipisahkan
secara alami oleh laut dan pulau-pulau, memiliki keragaman sosial budaya.
Pembangunan selalu terkait dengan aspek-aspek sosial
budaya. Aspek-aspek sosial budaya ini dapat menjadi isi kurikulum, bahan kajian
yang melatar belakangi berbagai segi pembangunan, perencanaan serta pemecahan
masalah-masalah pembangunan. aspek-aspek sosial budaya juga dapat dijadikan
pegangan dalam pengelompokan mata kuliah, pada tingkatan program studi,
konsentrasi ataupun elektif. Pengelompokan mata kuliah selain didasarkan atas
dukungan keilmuan, kompetensi juga penguasaan aspek-aspek sosial budaya yang
dipersyaratkan/ diperlukan dalam suatu profesi/keahlian.
Ada dua acuan dalam perumusan tujuan pendidikan/ kurikulum,
yaitu filsafat dan sosial budaya. Filsafat memberikan acuan ideal, nilai-nilai
nasional dan universal sedangkan sosial budaya memberikan acuan
praktis--empiris, berkenaan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat
sekarang ( dan yang akan datang) di suatu daerah/wilayah tertentu.
Aspek sosial budaya
juga memberikan acuan dalam pemilihan isi kurikulum. Isi kurikukulm biasanya
meencakup tiga hal, pertama pengetahuan yang bersumber dari disiplin ilmu,
kedua kemampua/ kompetensi yang dituntut oleh dunia pekerjaan dan ketiga
informasi dan nilai-nilai sosial budaya yang bersumber dari masyarakat.
Pengetahuan yang dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu bersifat universal,
pengetahuan mana yang perlu diambil dan diterapkan pada suatu lingkungan
kerja/masyarakat didsarkan atas kebutuhan dan tuntutan perkembangan lingkungan
tersebut.
Landasan Ilmu dan Teknologi
Sejak lama pendidikan berkaitan dengan
pelestarian dan pewarisan ilmu dan pengetahuan. Sebenarnya juga teknologi,
tetapi hal itu sepertinya terabaikan, karena adanya persepsi yang kuran tepat
tentang teknologi. Bahwa teknologi hanya berkenaan dengan teknologi perangkat
keras (hardware) dan teknologi
tinggi. teknologi juga mencakup teknologi perangkat lunak atau teknologi sistem
(software atau system tecknology) dan
teknologi sederhana. Teknologi bisa dan telah diajarkan sejak di sekolah dasar.
Ilmu dan teknologi berkembang terus, dewasa ini
perkembangannya begitu cepat. Dalam bidang teknologi khususnya teknologi
elektronika dan komunikasi perkembangan tidak lagi diukur dalam dekade, tetapi
dalam tahun bahkan bulan. Suatu software atau hardware yang tahun lalu
merupakan mode dan menjadi favorit, tahun ini mungkin ditinggalkan karena
kadaluwarsa, telah digantikan oleh yang baru atau generasi baru. ilmu dan
teknologi menjadi isi dari kurikulum perlu selalu disesuaikan dengan temuan dan
perkembangan baru dari ilmu dan teknologi. Karena itu isi kurikulum selalu
mutakhir, maka proses pengajarannyapun perlu selalu disempurnakan dengan
menggunakan pendekatan dan teknologi yang mutakhir pula.
Perencanaan program pendidikan atau penyusunan desain
kurikulum yang baik harus didasarkan atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip
ilmu atau menggunakan model teknologi (sistem tertentu, sehingga program atau
desain tersebut tersusun sistematik, relevan dengan kebutuhan serta tuntutan
perkembangan masyarakat.
Implementasi program pendidikan atau desain kurikulum, yang
baik harus memperhatikan kaidah dan prinsip-prinsip ilmu serta didukung oleh
teknologi yang sesuai sehingga dapat terlaksana secara efisien dan efektif. Dukungan
ilmu dan teknologi juga diperlukan pada tahap evaluasi pengembangan kurikulum. Agar
diperoleh hasil evaluasi yang obyektif, valid dan reliable, maka diperlukan
prosedur dan alat evaluasi yang tepat. yang dikembangkan dengan mengacu kepada
ilmu dan teknologi yang sesuai.
Isi dari program pendidikan atau isi Kurikulum Subyek
akademik diambil dari bidang atau disiplin ilmu yang sesuai, diseleksi dan
dikemas sesuai dengan perrkembangan peserta didik yang akan mempelajarinya. Isi
Kurikulum Berbasis Kompetensi, disusun dari jabaran suatu job dan kompetensi
yang merupakan penerapan dari ilmu dan/atau teknologi. pada kedua model
kurikulum, tetap ilmu dan teknologi memegang peranan penting. Pada KBI isinya
adalah ilmu-ilmu teoritis, sedang pada KBK isinya adalah penerapan ilmu dan
teknologi.
Dalam tahap implementasi dan evaluasi dukungan ilmu dan
teknologi, baik bagi program pendidikan atau desain Kurikulum Berbasis Ilmu
maupun Kurikulum Berbasis Komptensi, adalah sama. Program pendidikan atau
desain kurikulum diimplementasikan dan dievaluasi dengan berpegang kepada
kaedah-kaedah dan menggunakan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi
serta menggunakan bantuan alat-alat teknologi.
Landasan-landasan pengembangan kurikulum seperti yang
dikemukakan Nana Syaodih Sukmadinata
di atas, nyatanya telah membuka mata kita tentang idealitas yang mesti
dijadikan landasan dalam pengembangan kurikulum secara konsisten. Bila hal
tersebut diabaikan dan/atau kurang mendapatkan perhatian yang serius dari
pemangku kebijakan negeri ini dan seluruh komponen yang terkait di dalamnya -
termasuk sekolah, guru dan orang tua, maka kurikulum yang dipakai terkesan inkonsisten, tidak istiqomah atau dalam makna lain dinamakan plin-plan.
Selanjutnya kita cermati landasan-landasan pengembangan
kurikulum yang dikemukakan oleh pendapat lain.
KEDUA, seperti yang
dikemukakan Said Hamid Hasan[2]
bahwa proses pengembangan kurikulum Sekolah dikembangkan berdasarkan dan
prosedur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Berikut adalah pembahasan
mengenai landasan dan prosedur tersebut. yaitu: Landasan Legal, Landasan
Filosofis dan Teoritis:
Landasan
Legal
Sejak Undang-Undang Nomor 20 tahun 20033
tentang Sistem Pendidikan Nasional diresmikan maka kebijakan pendidikan di
Indonesia mengalami perubahan mendasar. Perubahan mendasar tersebut adalah
dalam wewenang mengembangkan, menngelola dan melaksanakan pendidikan. Setelah
UU nomor 20 tahun 2003 berlaku, wewenang mengembangkan, mengelola dan
melaksanakankan pendidikan tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat tetapi sudah terbagi dengan pemerintah daerah. Sistem
pendidikan yang dibangun oleh UU nomor 20 tahun 2003 merupakan konsekkuensi
dari perubahan sistem pemerintahan dari pemerintah sentralistis ke otonomi
daerah dimana pendidikan adalah aspek pelayanan pemerintah pusat yang
didelegasikan ke pemerintah daerah.
Dalam bidang kurikulum Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
menetapkan adanya berbagai ketentuan berkenaan dengan berbagai hal yang menjadi
wewenang pemerintah pusat dan yang menjadi
wewenang pemerintah daerah. Pasal 35 menetapkan bahwa pemerintah pusat
menetapkan berbagai standar nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Standar adalah suatu persyaratan, kualitas, atau kondisi minimal yang harus ada
dan meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Pada
saat sekarang melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen Diknas),
Pemerintah telah menetapkan dua dari delapan standar isi dan standar kompetensi
lulusan. Enam standar lain belum ditentukan walau pun sewajarnya sudah harus ditetapkan
karena satu standar berkaitan dengan standar lainnya dan implementasi mengenai
keenam standar tersebut menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan.
Selanjutnya, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 36
menetapkan berbagai persyaratan pengembangan kurikulum. Kurikulum yang
dikembangkan harus mengacu kepada standar nasional, diarahkan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional dan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, kurikulum yang dikembangkan harus pula memperhatikan kepentingan
peserta didik, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, agama, dan kehidupan
bangsa dalam dunia internasional. Lebih lanjut, pasal 37 UU nomor 20 tahun 2003
menetapkan isi kurikulum yang harus ada pada setiap kurikulum dikembangkan
sekolah.
Pelaksanaan UU nomor 20 tahun 2003 ditetapkan melalui
peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (Permen). Untuk kurikulum
Mendiknas telah menetapkan Permen nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi dan
Permen nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Sebelumnya
pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang
Badan Standar Nasional, lembaga yang dibentuk berdasarkan pasal 35 ayat (4) UU
nomor 20 tahun 2003. Pada saat sekarang baru PP dan tiga Permen yang dihasilkan
sebagai peraturan pelaksana dalam pengembangan kurikulum di Indonesia.
Landasan Filosofis dan Teoritis;
Berikut adalah landasan filosofis dan teoritis bagi
pengembangan Kurikulum Sekolah.
1.
Kurikulum
harus dimulai dari lingkungan terdekat. sebuah kurikulum tidak boleh memisahkan
peserta didik dari lingkungan sosial, budaya, fisik, ekonomi, agama dan
masyarakat yang dilayani kurikulum. berdasarkan prinsip ini kurikulum sebuah
satuan pendidikan di suatu lingkungan pertanian memiliki perbedaan dengan kurikulum
untuk masyarakat nelayan, kota, atau industri. Peserta didik harus mengenal
lingkungan terdekatnya dengan baik dan belajar dari lingkungan tersebut ke
lingkungan terdekatnya yang lebih luas.
2.
Kurikulum
harus mampu melayani pencapaian tujuan pendidikan nasional dan tujuan satuan
pendidikan. Kurikulum Sekolah memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap
bangsa dan harus mengembangkan semangat kebangsaan melalui pemahaman terhadap
masyarakat sekitarnya. Kurikulum Sekolah harus mampu mengorganisasikan kepentingan
peserta didik, masyarakat terdekat dan bangsa dalam satu dimensi
(unidimensional objective).
3.
Model
kurikulum harus sesuai dengan ide kurikulum. Literatur kurikulum mengenal
adanya berbagai model kurikulum seperti knowledge-based model (disciplinary-based
model), society-oriented, child-centered, technology-based, compentency-based,
skills-based, dan value-based. Model-model ini harus sesuai dengan desain
kurikulum.
4.
Proses
pengembangan kurikulum harus harus bersifat fleksibel dan komprehensif. Kurikulum
Sekolah harus selalu terbuka untuk penyempurnaan. Implementasi kurikulum pada
tahun pertama sangat menentukan apakah Kurikulum sekolah yang memerlukan revisi
dan berapa besar dimensi revisi yang harus dilakukan.
0 komentar:
Posting Komentar