19
Kurikulum Sisdiknas Yang
Operasional
UNDANG-UNDANG Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan digunakan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Pasal 1.19 UU nomor 20 tahun 2003 merumuskan kurikulum sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.”
Undang-undang Sisdiknas ternyata
menganut pengertian kurikulum secara oprasional. Padahal kurikulum terdiri dari
dimensi ide, dokumen tertulis, implementasi, dan hasil. (Hasan, 2000).[1]
Banyak definsi kurikulum
yang pernah dikemukakan para ahli. Difenisi-definisi tersebut bersifat
operasional dan sangat membantu proses pengembangan kurikulum tetapi pengertian
yang diajukan tidak pernah lengkap. Ada ahli yang mengemukakan bahwa kurikulum
adalah suatu rencana tertulis (Tanner and Tanner, 1980), ada yang menyatakan
bahwa kurikulum adalah pengalaman nyata yang dialami peserta didik dengan
bimbingan sekolah (Saylor dan Alexander, 1980). Definisi-definisi ini kurikulum
tidak lengkap dan hanya berkenaan dengan salah satu dari tiga dimensi: dimensi
Ide, dokumentasi dan implementasi (Hasan,1999;Hasan,2006). Padahal, kurikulum
terdiri dari dimensi ide, dokumen tertulis, implementasi, dan hasil
(Hasan,2000)
Difinisi operasional
memang dirumuskan sedemikian teknis karena fungsinya adalah digunakan untuk
proses pengembangan yang bersifat teknis pula. Menurut Said Hamid Hasan[2] difenisi
yang dikemukakan UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menggambarkan keterkaitan
antara apa yang dikembangkan sebagai rencana dan apa yang seharusnya terjadi
dalam proses pembelajaran. Definisi tersebut mengakui bahwa proses pembelajaran
adalah proses pelaksanaan dari apa yang direncanakan tetapi ada pengakuan yang
implisit bahwa apa yang terjadi dalam proses tidak harus sama persis dengan apa
yang direncanakan.
Difenisi UU nomor 20 tahun
2003 tersebut memberikan kelonggaran (space)
bahwa kondisi tertentu di suatu lingkungan belajar dapat mengubah dan harus
mengubah apa yang sudah direncanakan. Terjadinya kesenjangan bahkan perbedaan
antara apa yang direncanakan dnegan apa yang dilaksanakan. Jika demikian ini
terkesan tidak konsisten alias plin-plan.
Benarkah? Kondisi terjadinya perbedaan (discrepancy)
antara apa yang direncanakan dengan apa yang dilaksanakan dalam kurikulum
sebagai proses bukanlah suatu yang baru, sangat dimengerti dan dipahami oleh
para ahli kurikulum.
0 komentar:
Posting Komentar