SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

19 Kurikulum Sisdiknas Yang Operasional

Sabtu, 30 Agustus 2014 |



19
Kurikulum Sisdiknas Yang
Operasional



UNDANG-UNDANG Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan digunakan dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Pasal 1.19 UU nomor 20 tahun 2003 merumuskan kurikulum sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara  yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.”
          Undang-undang Sisdiknas ternyata menganut pengertian kurikulum secara oprasional. Padahal kurikulum terdiri dari dimensi ide, dokumen tertulis, implementasi, dan hasil. (Hasan, 2000).[1]
          Banyak definsi kurikulum yang pernah dikemukakan para ahli. Difenisi-definisi tersebut bersifat operasional dan sangat membantu proses pengembangan kurikulum tetapi pengertian yang diajukan tidak pernah lengkap. Ada ahli yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah suatu rencana tertulis (Tanner and Tanner, 1980), ada yang menyatakan bahwa kurikulum adalah pengalaman nyata yang dialami peserta didik dengan bimbingan sekolah (Saylor dan Alexander, 1980). Definisi-definisi ini kurikulum tidak lengkap dan hanya berkenaan dengan salah satu dari tiga dimensi: dimensi Ide, dokumentasi dan implementasi (Hasan,1999;Hasan,2006). Padahal, kurikulum terdiri dari dimensi ide, dokumen tertulis, implementasi, dan hasil (Hasan,2000)
          Difinisi operasional memang dirumuskan sedemikian teknis karena fungsinya adalah digunakan untuk proses pengembangan yang bersifat teknis pula. Menurut Said Hamid Hasan[2] difenisi yang dikemukakan UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menggambarkan keterkaitan antara apa yang dikembangkan sebagai rencana dan apa yang seharusnya terjadi dalam proses pembelajaran. Definisi tersebut mengakui bahwa proses pembelajaran adalah proses pelaksanaan dari apa yang direncanakan tetapi ada pengakuan yang implisit bahwa apa yang terjadi dalam proses tidak harus sama persis dengan apa yang direncanakan.
          Difenisi UU nomor 20 tahun 2003 tersebut memberikan kelonggaran (space) bahwa kondisi tertentu di suatu lingkungan belajar dapat mengubah dan harus mengubah apa yang sudah direncanakan. Terjadinya kesenjangan bahkan perbedaan antara apa yang direncanakan dnegan apa yang dilaksanakan. Jika demikian ini terkesan tidak konsisten alias plin-plan. Benarkah? Kondisi terjadinya perbedaan (discrepancy) antara apa yang direncanakan dengan apa yang dilaksanakan dalam kurikulum sebagai proses bukanlah suatu yang baru, sangat dimengerti dan dipahami oleh para ahli kurikulum.



[1] Said Hamid Hasan, Pengembangan Kurikulum Ilmu Pendidikan Praktisbag.II dari Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, IMTIMA, 2009:133

[2] Said Hamid Hasan, op.cit hlm:133

0 komentar:

Posting Komentar