GUA dan SUNGAI
Kalimantan,
bumi dimana aku dan Legawa dilahirkan. Kalimantan adalah rimba raya. Dan
kelokan sungai-sungai. Hidup berkelompok di gua-gua. Hidup yang dekat sungai,
atau tepi pantai. Dekat dengan sumber air dan makanan. Dan terisolasi!!!
Tapi
itu dulu. Sekarang? Budaya sungai itu telah menarik banyak mata. Telah menyita
perhatian. Tradisi juga cara kami menjalani hidup. Cara kami beradaptasi bisa kalian
disaksikan disepanjang dataran Barito, Muara Sungai Martapura, dan Sungai Kuin,
Lokasi pasar terapung (floating market).
Gua-gua telah berubah menjadi
rumah-rumah kayu berjajar disepanjang sungai. Rumah dengan dua pintu. Rumah dua
muka. Tapi kami tidak bermuka dua, he he. Masing-masing menghadap sungai dan
darat. Sambil naik klotok kalian dapat menyaksikan kami mandi,
mencuci, gosok gigi, dan ...maaf...buang hajat. Inilah wajah tradisi kami. Unik...Tapi
itu dulu...!!! Kini...???
Kini,
Kalimantan bumi dimana aku dilahirkan rimba rayanya telah menjadi gelondongan.
Kelokan sungai-sungainya menjadi sarana mengangkut balok-balok dari
penggergajian. Balok-balok itu diikat memanjang saling berhubungan. Tak lagi
terisolasi!!! Kayu-kayu itu telah mendapat teman, ia telah berhubungan akrab
dengan tongkang-tongkang. Tapi ada juga yang sudah lincah menelusuri sungai
mengikuti arusnya. Dan dikawal perahu kecil.
Kalimantan,
bumi dimana aku dibesarkan. Punya banyak sungai-sungai besar. Sungai-sungai
besar yang membelah pulau Kalimantan menjadi beberapa propinsi. Sungai Kapuas
dan Sungai Malawai di Kalimantan Barat. Kalimantan Tengah, Sungai Kahayan,
Sungai Mentaya/Sampit, dan Sungai Kapuas. Sungai Barito di Kalimantan Selatan,
dan Sungai Mahakam, Sungai Kayan, dan Sungai Berau di Kalimantan Timur.
Dimasa kolonial Belanda pembagian
wilayah di Kalimantan Tengah didasarkan kepada pola aliran sungainya. Di
Kalimantan Selatan juga demikian ada Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan
Hulu Sungai Utara. Pembagian itu dikarenakan pemukiman kami berada di
lembah-lembah sungai yang membagi wilayah itu.
Seperti
ketika aku dan keluarga berkunjung ke rumah datu
nini di desa Awang Barabai. Hulu Sungai Tengah. Di belakang rumah datu niniku terdapat aliran sungai aku
lupa nama sungai itu. Tapi yang tak pernah membuat aku lupa adalah tentang
pembagian wilayah itu. Lebar sungai itu mungkin tidak sampai 5 meter. Itu
sering kami jadikan sarana bermain. Kami biasa sedang mandi berenang. Kami sering
berlomba menyeberang ke desa Balat. Atau desa Pawalutan wilayah Amuntai-Hulu
Sungai Utara. Itulah salah satu permainan kami anak-anak bantaran sungai dan
gua-gua.
Hutan,
sungai dan gua. Tiga nama yang tak terpisahkan dari Kalimatan. Di Kalimantan
Timur ada Gua Tengkorak dengan 34
buah tengkorak. Tulang lengan, tulang kaki, tulang rahang bawah, tulang panggul
dan ruas tulang belakang. Tengkorak
dan tulang-tulang itu diletakkan di dalam gua sebagai kuburan. Jika kalian
tertarik menyaksikan tradisi penguburan sekunder.
Tradisi
penguburan sekunder yang merupakan ciri dari sisa budaya prasejarah. Kalian
bisa berkunjung ke Kabupaten Pasir. Di sana terdapat pula Gua Losan. Dan Gua
Loyang di desa Ka Sungai Kecamatan Batu Soppang,

Begitu
juga di Kalimantan Barat, ada situs Batu Cap dengan lukisan cadas di Ketapang.
Berupa cap tangan merah, duri ikan, lipan, dan ular. Begitu juga di desa Sungai
Sungkung (Sambas), yaitu di Gua Tengkayu, Batu Bakil, dan Batu Kadok. Di Kapuas
Hulu terdapat di Liang Kaung. Lukisan cadasnya berbentuk matahari, panah, ikan,
antropomorfik,
gendering, biawak, serta rusa.
Di
Kalimantan Selatan, tempat aku tinggal, di temukan rangka seorang perempuan. Di
sebut Austromelanesid yang cukup
spektakuler, terdapat juga di Gua Tengkorak di kawasan Bukit Batu Buli, 2 km
dari Sungai Uya. Anak Sungai Tabalong. Begitu juga di Gua Babi, selain
tengkorak juga ditemukan peralatan batu. Berupa kapak genggam, batu giling,
batu pelandas, batu pemukul, alat serpih, alat-alat tulang, Sisa moluska serta bagian tengkorak manusia
berupa gigi dan bagian tulang lengan, Juga di temukan arang pada kedalaman
tertentu. Sedang di Kalimantan Tengah, aku belum pernah mendengar. Atau membaca
di buku-buku situs sejarah kecuali, di Bukit Tangkiling dengan temuan berupa
alat-alat batu.
Pada
gua dan sungai terekam budaya, dan tradisi kehidupan leluhurku.
“Bukan tanpa pertimbangan”, kata kakakku
Mauda. “Bisa pertimbangan ekonomis, sosial, politis, dan relegius.”
“Bagaimana,... dengan pertimbangan...
mempertahankan hidup?” Tanyaku...
“Ya, benar sekali....mungkin juga ...sepertinya
pertimbangan itu menjadi penting, untuk mencari cara terbaik bertahan hidup di
gua-gua dekat sungai.”
Di
Kalimantan Selatan, sungai-sungai menjadi tempat leluhur kami berkumpul. Sejak
jaman purba hingga sekarang. Sungai Uya yang bermuara di Sungai Tabalong,
Sungai Batang Alai, Batang Pitab, Labuan Amas, Amandit, Tapin, dan Sungai
Martapura, sebagai jalur lalu lintas. Pusat ekonomi dan perkembangan budaya. Serta
aktivitas lainnya. Termasuk perluasan wilayah hunian.
Hunian
di tepi sungai, terdapat hampir di setiap wilayah Kalimantan, Baik suku
pedalaman atau perkotaan. Lihat saja di Banjarmasin misalnya kita bisa
meyaksikan di sepanjang Sungai Martapura. Dapat kita lihat juga hunian
disepanjang Sungai Mahakam, Kota Samarinda. Sedangkan hunian suku pedalaman,
dapat kita telusuri sepanjang Sungai Mentaya, yang dihuni Suku Dayak Ngaju
sampai Sungai Seranau dan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah. Dayak Tunjung dan
Dayak Benuaq di pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tidak sekedar
tempat hunian, sungai juga menjadi keniscayaan sebagai sarana transportasi,
antar kampung, juga ke kota. Di kalimantan, bumi dimana aku dan Legawa dibesarkan.
0 komentar:
Posting Komentar