Wayang Ba Ayun Cucu Datuk Taruna
Aku
dan Legawa kini berada di sebuah Pesanggrahan. Pesanggrahan itu
bernama Tambak Pematang Kambat kini dikenal dengan desa Barikin, terdapat
seperangkat gemelan. Gemelan itu milik
seorang sakti mandraguna bernama Datuk Taruna. Ia hidup bersama seorang istri
tercinta bernama Mayang Sari. Keduanya saling mencinta, saling menyayangi,
saling memiliki. Keduanya juga menyayangi gemelan sakti tersebut.
Kesaktian Datuk Taruna sering terlihat
ketika dia menolong masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang terancam
keamanannya oleh kawanan perampok. Sehingga tidak jarang Datuk bepergian ke
kampung-kampung tetangga. Ia meninggalkan istri tercintanya. Kadang
berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Namun kepergiannya kali ini dirasakan
cukup lama, tidak seperti biasanya. Kepergiannya yang tak biasa ini membuat
Mayang Sari merasa cemas. Karena itu ia berniat untuk mencari dan menyusulnya.
Tapi ia juga merasa khawatir untuk meninggalkan gemelan kesayangan suaminya.
Rasa sayang terhadap suamilah yang
akhirnya membuat Mayang Sari memutuskan untuk pergi. Ia terpaksa meninggalkan
rumah dan gemelannya. Tapi untuk mengamankan gemelan kesayangannya, maka ia
sembunyikan gemelan tersebut. Di dalam sumur bersama belanga berisi daging (pakasam) babi. Sebelum meninggalkan
kampung Barikin, ia menanam setangkai kembang bernama “Bunga Panggang”. Kepada anak
cucunya ia berpesan jika kelak kembang itu layu dan di atasnya terdapat setetes
darah, maka itu pertanda bahwa ia telah menjadi gaib. Maka hendaklah pada
setiap tahun untuk melaksanakan upacara manyanggar
agar anak cucu terhindar dari marabahaya. Sehat selamat serta mendapat
hasil panen yang melimpah ruah.
Tak berselang lama setelah kepergian
Mayang Sari, muncullah suaminya, Datuk Taruna di kampung itu. Oleh warga
kampung disampaikan pesan istrinya tentang Bunga
Panggang tersebut. Datuk tidak
menyadari kalau darah yang ada pada bunga panggang yang telah layu itu adalah
darahnya yang menetes dari telinganya yang terluka. Datukpun mencari isterinya
ke mana-mana. Sebelumnya iapun berpesan agar sepeninggalnya kelak warga atau
banua ini harus melaksanakan upacara menyanggar
setiap tahun.
Menyanggar
merupakan upacara adat. Upacara yang diselenggarakan oleh keluarga atau
keturunan Datuk Taruna di desa Barikin. Menurut mereka jika upacara ini tidak
dilaksanakan maka akan mendatangkan malapetaka bagi banua. Bahkan jika
terlambat Datuk Taruna akan mengingatkan mereka melalui salah satu keturunannya
yang sedang kesurupan.
Upacara menyanggar banua diawali
berbagai persiapan baik peralatan maupun materi sesajen. Beberapa peralatan
seperti seperangkat gemelan, tombak, keris, wayang, pakaian khas Banjar, sarung
khusus, dan tak ketinggalan kemenyan berikut perlengkapannya. Pembuatan beragam
makanan dan kue juga mesti dipersiapkan sebagai sesajen dalam upacara tersebut,
seperti: seekor kambing, dua ekor ayam panggang (parapah), beberapa batang lemang, kue 41 macam. Lima dari empat
puluh satu macam kue perangkat sesajen itu yang tidak boleh ketinggalan adalah,
wajik, kokoleh habang dan putih, dodol, kasirat dan bubur yang ditempatkan
dalam wadah terbuat dari bambu yang dinamakan ancak.
Sebelum sesajen tersusun di ancak. Selagi semuanya dalam proses
pembuatan maka digelarlah upacara badudus.
Sebuah acara bermandi-mandi atau acara selamatan tahunan pun di gelar.
Seperangkat gemelanpun ditabuh oleh keluarga keturunan datuk. Mereka memakai
pakaian khas Banjar yang berwarna kuning bagi laki-laki dan warna hitam bagi
perempuan. Upacara badudus ini
diperuntukkan bagi anak cucu Datuk Taruna yang masih anak-anak dengan memakai
pakaian khas Banjar pula. Mereka biasanya berumur antara 1 tahun sampai 5
tahun. Mereka ditempatkan pada sebuah serobong
khas yang berlangit-langit berwarna kuning dan pada tiap tiang diikat pohon
pisang dan tebu. Pada samping kiri dan kanan berdiri 2 orang yang sedang
memegang tombak yang bernama ambulung.
Beberapa perangkat media upacara
yang terdiri air kembang, beras, kelapa dan gula merah sebagai pinduduk terletak di dalam serobong tersebut. Dengan
kepulan asap kemenyan seorang tetua membacakan
mantra. Ditangannya terhunus sebilah keris bernama Naga Runting. Seorang wanita tua yang disebut amban siap menyiramkan air kembang.
Legawa mulai menggapit lenganku. Aku
merinding.

Asap kemenyan terus mengepul
diiringi irama gemelan dengan irama Gala
Ganjar. Beberapa anggota keluarga satu persatu mulai kesurupan, karena
irama gala ganjar merupakan irama pemanggilan (menyaru) roh gaib sejagat.
“Aku semakin merinding, wajah Legawa
mulai memucat”. Aku berjanji, segera menyelesaikan perjalanan ini. Kasian
adikku.”
Dengan selesainya upacara badudus
itu, pertanda bahwa anak-anak tadi sudah termasuk kedalam alam keluarga Datuk
Taruna.
“Esok kita akan pulang, ding.”
Kataku menghibur Legawa.
Pagi-pagi sekali, ketika aku dan
Legawa mulai bersiap pulang. Di luar, sangat ramai. Tidak seperti pagi
biasanya. Mereka bersiap-siap.
“Sepertinya ada upacara lagi,” kata
Legawa. “Iya, sepertinya kita
tidak bisa pulang,” sambungku. Ternyata betul saja, perkiraan kami.
Upacara dilanjutkan pada siang
harinya, yaitu melakukan arak-arakan sesajen menuju sebuah sumur tua. Sebuah
sumur tua dimana gemelan Datuk disembunyikan. Arak-arakan diikuti oleh seluruh
keluarga Datuk. Laki-lakinya memakai pakaian khas Banjar serba kuning , dan
perempuan tidak memakai baju hanya sarung dan selendang berwarna hitam.
Iring-iringan ini dipelopori oleh dua gadis masing-masing memakai sarung,
selendang berwarna kuning dan hitam. Ditangannya membawa sesajen tadi. Mereka
diapit oleh pria muda dan gagah sambil memegang tombak bernama ambulung dan keris bernama Naga Runting. Dibelakangnya berjjalan
juga seorang lelaki paru baya membawa wayang kulit yang dibungkus kain kuning,
wayang tersebut bernama Semar.
Iringan ini diikuti oleh bunyi
gemelan dengan irama Gala Ganjar.
Banyak anggota iring-iringan yang kesurupan terutama wanitanya. Kesurupan dalam
iringan atau arak-arakan baru tak berhenti walau irama gala ganjar telah usai.
Dan iringan berhenti di depan sumur tua. Gemelan kemudian digantikan oleh
gemelan lainnya. Sesajenpun diletakkan di depan sumur tua tempat gemelan Datuk
disembunyikan. Pawang mengambil kepala kambing yang masih berdarah yang
diletakkan di atas sebuah kursi bambu. Makin banyak wanita kesurupan, dan
mereka sambil menari mengelilingi sesajen.
Ketika
mulut pawang kumat kamit melafalkan mantera-mantera penyerrahan sesajen,
seorang diantara perempuan yang kesurupan itu mengambil kepala kambing kemudian
mengisap darahnya sambil menari-nari. Tak sedikitpun rasa jijik tersirat dari
wajah perempuan itu, mungkin kerena dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sesajen yang lainnya dibawa turun ke
sumur dan kemudian dilemparkan. Seiring berhentinya gamelan gala ganjar perempuan-perempuan kesurupan
tadi mulai sadarkan diri. Mereka mulai berhenti menari-nari. Mulailah acara tapung tawar dilakukan. Setiap anggota
keluarga dipercikan air sumur kemuka masing-masing, sampai semuanya selesai.
Dengan selesainya Tapung Tawar maka selesailah upacara penyerahan sesajen ini.
Tetapi bukan berarti seluruh
rangkaian upacara menyanggar banua
telah selesai. Masih ada acara penutup, yang dilaksanakan pada malam harinya.
Sebuah acara pertunjukkan wayang khusus yang disebut wayang sampir. Wayang Sampir adalah pertunjukkan wayang yang
membawakan lakon khas penyerahan sesajen. Wayang yang khas dan khusus demikian
juga dengan dalangnya. Dalangnya khusus dari keturunan datuk Taruna.
Menjelang subuh diadakan wayang ba ayun yang menceritakan anak
cucu sudah di dudus di ayun dan
resmilah menjadi keluarga Datuk Taruna.
Keluarga Datuk mengakhiri seluruh rangkaian upacara ini pada keesokkan harinya
atau hari kedua. Di hari kedua ini ada acara yang cukup meriah dan menggelikan.
Sebuah tari topeng pantul dan amban sebagai pengasuh anak-anak dengan
gerak-gerik jenaka. Dan sebagai penutup seluruh rangkaian upacara ritual menyanggar banua ini adalah acara mayun topeng.
Upacara
ini merupakan upacara ritual yang bersumber dan tumbuh dari kepercayaan
Animisme yang berasimilasi dengan kepercayaan Hindu dalam upacara pemujaan Dewa
Syiwa yang dikenal dengan sebutan “Kalacakra”.
Merupakan upacara palafalan mantera-mantera
yang mengandung tuah atau kekuatan magis tertentu sebagai bentuk pengharapan.
“Lega, hanya kepada Allah SWT kita
sampaikan segala bentuk pengharapan kita.” Kataku sambil memegang kedua pundak
adikku.
“Betul Kak, hanya Dialah Zat, yang
melampaui harapan pengharap-Nya.” sahut Legawa
Kami
tersenyum, saling merangkul. Kalimat terakhir tadi kelimat yang sering abah
ucapkan. dan kami sudah hafal betul.
0 komentar:
Posting Komentar