SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

14. WAYANG BA AYUN

Kamis, 28 Agustus 2014 |



Wayang Ba Ayun Cucu Datuk Taruna    

        Aku dan Legawa kini berada di sebuah Pesanggrahan. Pesanggrahan itu bernama Tambak Pematang Kambat kini dikenal dengan desa Barikin, terdapat seperangkat gemelan. Gemelan itu milik seorang sakti mandraguna bernama Datuk Taruna. Ia hidup bersama seorang istri tercinta bernama Mayang Sari. Keduanya saling mencinta, saling menyayangi, saling memiliki. Keduanya juga menyayangi gemelan sakti tersebut.
            Kesaktian Datuk Taruna sering terlihat ketika dia menolong masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang terancam keamanannya oleh kawanan perampok. Sehingga tidak jarang Datuk bepergian ke kampung-kampung tetangga. Ia meninggalkan istri tercintanya. Kadang berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Namun kepergiannya kali ini dirasakan cukup lama, tidak seperti biasanya. Kepergiannya yang tak biasa ini membuat Mayang Sari merasa cemas. Karena itu ia berniat untuk mencari dan menyusulnya. Tapi ia juga merasa khawatir untuk meninggalkan gemelan kesayangan suaminya.
            Rasa sayang terhadap suamilah yang akhirnya membuat Mayang Sari memutuskan untuk pergi. Ia terpaksa meninggalkan rumah dan gemelannya. Tapi untuk mengamankan gemelan kesayangannya, maka ia sembunyikan gemelan tersebut. Di dalam sumur bersama belanga berisi daging (pakasam) babi. Sebelum meninggalkan kampung Barikin, ia menanam setangkai kembang bernama “Bunga Panggang”. Kepada anak cucunya ia berpesan jika kelak kembang itu layu dan di atasnya terdapat setetes darah, maka itu pertanda bahwa ia telah menjadi gaib. Maka hendaklah pada setiap tahun untuk melaksanakan upacara manyanggar agar anak cucu terhindar dari marabahaya. Sehat selamat serta mendapat hasil panen yang melimpah ruah.
            Tak berselang lama setelah kepergian Mayang Sari, muncullah suaminya, Datuk Taruna di kampung itu. Oleh warga kampung disampaikan pesan istrinya tentang Bunga Panggang tersebut.  Datuk tidak menyadari kalau darah yang ada pada bunga panggang yang telah layu itu adalah darahnya yang menetes dari telinganya yang terluka. Datukpun mencari isterinya ke mana-mana. Sebelumnya iapun berpesan agar sepeninggalnya kelak warga atau banua ini harus melaksanakan upacara menyanggar setiap tahun.
            Menyanggar merupakan upacara adat. Upacara yang diselenggarakan oleh keluarga atau keturunan Datuk Taruna di desa Barikin. Menurut mereka jika upacara ini tidak dilaksanakan maka akan mendatangkan malapetaka bagi banua. Bahkan jika terlambat Datuk Taruna akan mengingatkan mereka melalui salah satu keturunannya yang sedang kesurupan.
            Upacara menyanggar banua diawali berbagai persiapan baik peralatan maupun materi sesajen. Beberapa peralatan seperti seperangkat gemelan, tombak, keris, wayang, pakaian khas Banjar, sarung khusus, dan tak ketinggalan kemenyan berikut perlengkapannya. Pembuatan beragam makanan dan kue juga mesti dipersiapkan sebagai sesajen dalam upacara tersebut, seperti: seekor kambing, dua ekor ayam panggang (parapah), beberapa batang lemang, kue 41 macam. Lima dari empat puluh satu macam kue perangkat sesajen itu yang tidak boleh ketinggalan adalah, wajik, kokoleh habang dan putih, dodol, kasirat dan bubur yang ditempatkan dalam wadah terbuat dari bambu yang dinamakan ancak.
            Sebelum sesajen tersusun di ancak. Selagi semuanya dalam proses pembuatan maka digelarlah upacara badudus. Sebuah acara bermandi-mandi atau acara selamatan tahunan pun di gelar. Seperangkat gemelanpun ditabuh oleh keluarga keturunan datuk. Mereka memakai pakaian khas Banjar yang berwarna kuning bagi laki-laki dan warna hitam bagi perempuan. Upacara badudus ini diperuntukkan bagi anak cucu Datuk Taruna yang masih anak-anak dengan memakai pakaian khas Banjar pula. Mereka biasanya berumur antara 1 tahun sampai 5 tahun. Mereka ditempatkan pada sebuah serobong khas yang berlangit-langit berwarna kuning dan pada tiap tiang diikat pohon pisang dan tebu. Pada samping kiri dan kanan berdiri 2 orang yang sedang memegang tombak yang bernama ambulung.
            Beberapa perangkat media upacara yang terdiri air kembang, beras, kelapa dan gula merah sebagai pinduduk  terletak di dalam serobong tersebut. Dengan kepulan asap kemenyan seorang tetua membacakan mantra. Ditangannya terhunus sebilah keris bernama Naga Runting. Seorang wanita tua yang disebut amban siap menyiramkan air kembang.
            Legawa mulai menggapit lenganku. Aku merinding.
Text Box: Kalacakra(Edwar Saleh,1978:16)            “uhk...uhk...” aku sedikit kaget ketika Legawa batuk-batuk...
            Asap kemenyan terus mengepul diiringi irama gemelan dengan irama Gala Ganjar. Beberapa anggota keluarga satu persatu mulai kesurupan, karena irama gala ganjar merupakan irama pemanggilan (menyaru) roh gaib sejagat.
            “Aku semakin merinding, wajah Legawa mulai memucat”. Aku berjanji, segera menyelesaikan perjalanan ini. Kasian adikku.”
            Dengan selesainya upacara badudus itu, pertanda bahwa anak-anak tadi sudah termasuk kedalam alam keluarga Datuk Taruna.
            “Esok kita akan pulang, ding.” Kataku menghibur Legawa.
            Pagi-pagi sekali, ketika aku dan Legawa mulai bersiap pulang. Di luar, sangat ramai. Tidak seperti pagi biasanya. Mereka bersiap-siap.
            “Sepertinya ada upacara lagi,” kata Legawa.             “Iya, sepertinya kita tidak bisa pulang,” sambungku. Ternyata betul saja, perkiraan kami.
            Upacara dilanjutkan pada siang harinya, yaitu melakukan arak-arakan sesajen menuju sebuah sumur tua. Sebuah sumur tua dimana gemelan Datuk disembunyikan. Arak-arakan diikuti oleh seluruh keluarga Datuk. Laki-lakinya memakai pakaian khas Banjar serba kuning , dan perempuan tidak memakai baju hanya sarung dan selendang berwarna hitam. Iring-iringan ini dipelopori oleh dua gadis masing-masing memakai sarung, selendang berwarna kuning dan hitam. Ditangannya membawa sesajen tadi. Mereka diapit oleh pria muda dan gagah sambil memegang tombak bernama ambulung dan keris bernama Naga Runting. Dibelakangnya berjjalan juga seorang lelaki paru baya membawa wayang kulit yang dibungkus kain kuning, wayang tersebut bernama Semar.
            Iringan ini diikuti oleh bunyi gemelan dengan irama Gala Ganjar. Banyak anggota iring-iringan yang kesurupan terutama wanitanya. Kesurupan dalam iringan atau arak-arakan baru tak berhenti walau irama gala ganjar telah usai. Dan iringan berhenti di depan sumur tua. Gemelan kemudian digantikan oleh gemelan lainnya. Sesajenpun diletakkan di depan sumur tua tempat gemelan Datuk disembunyikan. Pawang mengambil kepala kambing yang masih berdarah yang diletakkan di atas sebuah kursi bambu. Makin banyak wanita kesurupan, dan mereka sambil menari mengelilingi sesajen.
Ketika mulut pawang kumat kamit melafalkan mantera-mantera penyerrahan sesajen, seorang diantara perempuan yang kesurupan itu mengambil kepala kambing kemudian mengisap darahnya sambil menari-nari. Tak sedikitpun rasa jijik tersirat dari wajah perempuan itu, mungkin kerena dalam keadaan tak sadarkan diri.
            Sesajen yang lainnya dibawa turun ke sumur dan kemudian dilemparkan. Seiring berhentinya gamelan gala ganjar perempuan-perempuan kesurupan tadi mulai sadarkan diri. Mereka mulai berhenti menari-nari. Mulailah acara tapung tawar dilakukan. Setiap anggota keluarga dipercikan air sumur kemuka masing-masing, sampai semuanya selesai. Dengan selesainya Tapung Tawar maka selesailah upacara penyerahan sesajen ini.
            Tetapi bukan berarti seluruh rangkaian upacara menyanggar banua telah selesai. Masih ada acara penutup, yang dilaksanakan pada malam harinya. Sebuah acara pertunjukkan wayang khusus yang disebut wayang sampir. Wayang Sampir adalah pertunjukkan wayang yang membawakan lakon khas penyerahan sesajen. Wayang yang khas dan khusus demikian juga dengan dalangnya. Dalangnya khusus dari keturunan datuk Taruna.
            Menjelang subuh diadakan wayang ba ayun yang menceritakan anak cucu sudah di dudus di ayun dan resmilah menjadi keluarga Datuk Taruna. Keluarga Datuk mengakhiri seluruh rangkaian upacara ini pada keesokkan harinya atau hari kedua. Di hari kedua ini ada acara yang cukup meriah dan menggelikan. Sebuah tari topeng pantul dan amban sebagai pengasuh anak-anak dengan gerak-gerik jenaka. Dan sebagai penutup seluruh rangkaian upacara ritual menyanggar banua ini adalah acara mayun topeng.
            Upacara ini merupakan upacara ritual yang bersumber dan tumbuh dari kepercayaan Animisme yang berasimilasi dengan kepercayaan Hindu dalam upacara pemujaan Dewa Syiwa yang dikenal dengan sebutan “Kalacakra”.
            Merupakan upacara palafalan mantera-mantera yang mengandung tuah atau kekuatan magis tertentu sebagai bentuk pengharapan.
            “Lega, hanya kepada Allah SWT kita sampaikan segala bentuk pengharapan kita.” Kataku sambil memegang kedua pundak adikku.
            “Betul Kak, hanya Dialah Zat, yang melampaui harapan pengharap-Nya.” sahut Legawa
Kami tersenyum, saling merangkul. Kalimat terakhir tadi kelimat yang sering abah ucapkan. dan kami sudah hafal betul.

0 komentar:

Posting Komentar