SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

21 Transformasi Kurikulum Kita

Sabtu, 30 Agustus 2014 |



21
Transformasi
Kurikulum Kita


Transformasi Pertama
Kurikulum Masa Kemerdekaan dan Pemerintahan Orde-Lama. (Tahun 1945 s.d Tahun 1968)

FAKTA SELANJUTNYA pada tahun 1947, kurikulum terlahir pada masa kemerdekaan dengan nama lahir leer plan atau Rentjana Pelajaran. Istilah ini lebih popular dibanding dengan istilah curriculum. Pada masa ini perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, yaitu dari orientasi pendidikan Belanda ke pendidikan Nasional, dengan azas Pancasila. Rentjana Pelajaran 1947, baru dapat dilaksanakan pada tahun 1950, karena itu banyak kalangan menyebutkan bahwa sejarah perkembanggan kurikulum di Indonesia diawali dari Kurikulum 1950.

KURIKULUM 1950, ini memuat dua hal pokok yaitu: (i) daftar mata pelajaran dan jam pengajaran, (ii) Garis-Garis Besar Pengajaran. Orientasi Rencana pelajaran 1947, tidak menekankan pada belajar berpikir, melainkan bagaimana bersikap, watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Pengaruh pendidikan kolonial Belanda dan Jepang terutama pada sistem pendidikan masih terasa. Namun suasana kehidupan berbangsa saat itu dengan semangat merebut kemerdekaan lebih menekankan pada pembentuk karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan memiliki kesamaan hak dengan bangsa lain.
KURIKULUM 1952, selanjutnya muncul sebagai penyempurnaan Rentjana Pelajaran 1947, karena itu dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini telah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Setiap guru mengajar untuk satu mata pelajaran. Hal ini yang paling menonjol sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini. (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode 1991-1995).

RENTJANA PENDIDIKAN 1964, demikian nama kurikulum yang disempurnakan pemerintah RI selanjutnya.Kurikulum ini memiliki pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembekalan dipusatkan pada program Panca Wardhana, yaitu menurut Oemar Hamalik (2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Panca Wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam 5 kelompok bidang studi yaitu: moral, keecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.



Transformasi Kedua
Kurikulum Masa Pemerintahan Orde Baru.
(Tahun 1968 s.d Tahun 1999)
KURIKULUM 1968, sebagaimana Rencana Pendidikan 1964 masa Orde Lama, juga lahir dalam suasana politis yang berbeda. Tentu saja kelahirannya pun sangat bersifat politis. Kurikulum 1968 bertujuan membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmanii, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Tampak perubahan struktur kurikulum pendidikan Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dalam kurikulum ini dikelompokkan menjadi 9 pokok. Sebagian para ahli menyatakan bahwa Kurikulum 1968 hanya memuat mata pelajaran pokok saja. Muatan materi pelajaran masih bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Aspek kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

KURIKULUM 1975, merupakan kurikulum yang menekankan pada tujuan efektivitas dan efisiensi. Sebagian pakar berpendapat bahwa yang mempengaruhi lahirnya kurikulum ini adalah Management By Obyektive (MBO) sebuah konsep bidang manajemen yang terkenal saat itu. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Satuan Pelajaran (Satpel) ini memuat: Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) serta evaluasi. Kurikulum 1975 ini banyak menuai kritik karena guru dibuat sibuk menulis satuan pelajaran, rincian pembelajaran dan pencapaian setiap kegiatan pembelajaran.

KURIKULUM 1984, sering disebut dengan “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Kurikulum ini mengusung gagasan yang mengutamakan pendekatan proses (Process Skill Approach), namun tetap tidak mengesampingkan faktor tujuan. Kurikulum ini menempatkan siswa sebagai subyek belajar. Model pembelajaran yang paling direkomendasikan adalah yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Siswa dilibatkan secara aktif dan bersama-sama mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, membuat sesuatu, memecahkan masalah,hingga melaporkan. Kegiatan ini menitik beratkan pada keaktifan siswa  sebagai inti dari kegiatan belajar atau dikenal Student Active Learning (SAL). Guru menyiapkan fasilitas aktivitas siswa melalui: penyiapan lembar kerja,  susunan tugas bersama, informasi kegiatan, bantuan dan layanan bagi siswa yang membutuhkan, menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan, membantu mengarahkan rumusan kesimpulan umum, memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lamban, menyalurkan bakat dan minat siswa, dan mengamati setiap aktivitas siswa. Secara konsep Kurikulum 1984 yang mengusung CBSA sebagai gagasan utama pendekatannya telah diujicobakan pada sekolah-sekolah dengan hasil yang meyakinkan. Akan tetapi pada saat penerapannya secara nasional mengalami deviasi dan reduksi. Banyak sekolah yang keliru bahkan tidak mampu menafsirkan CBSA secara baik dan benar. Akhirnya penolakan terhadap model CBSA inipun tak bisa dihindari.


Transformasi Ketiga

KURIKULUM 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999,
Kurikulum ini sepertinya memiliki niat tulus untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984. Perpaduan terutama pada tujuan dan proses, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang memadai. Kurikulum ini telah menjadi kurikulum super padat. Sehingga mengundang berbagai kritik, utamanya beban belajar yang terlalu berat. Baik muatan nasional maupun muatan lokal (dari bahasa, kesenian sampai keterampilan daerah dll) Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat dengan isu-isu tertentu untuk masuk dalam muatan kurikulum. Kejatuhan rezim Soeharto di tahun 1998, telah diikuti oleh kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.

Transformasi Keempat
KURIKULUM KBK 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini belum diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah telah dijadikan ujicoba dalam rangka proses pengembangan kurikulum. KBK ini merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan (Depdiknas ,2002).      KBK menempatkan fungsi kurikulum sebagai suatu rancana, yang lebih menekankan pada kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara operasional diserahkan kepada peran guru dilapangan. KBK tidak secara khusus menjelaskan apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tertentu. KBK hanya memberikan petunjuk-petunjuk secara umum bagaimana seharusnya pola pembelajaran diterapkan oleh setiap guru.

KTSP 2006, sesungguhnya “jelamaan” KBK karena KTSP banyak mengadopsi KBK.  Sehingga KBK sering disebut sebagai jiwanya KTSP. Kurikulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Regulasi KTSP dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,” dan ayat (2) menyebutkan bahwa “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”.
          Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah.  Dalam rangka melaksanakan perundangan tersebut, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi delapan standar, yaitu (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar penilaian, (5) standar sarana dan prasarana,(6) standar pengelolaan, (7) standar tenaga kependidikan, dan (8) standar pembiayaan.
          Pasal 17 (ayat 2) PP tersebut menyatakan bahwa “ Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK. Sejak keluarnya PP. No. 19 Tahun 2005 secara resmi  penyusunan kurikulum menjadi tanggung jawab setiap satuan pendidikan (sekolah dan madrasah), dengan demikian tidak lagi dikenal istilah kurikulum nasional yang dulu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
          Ada delapan Standar Nasional Pendidikan yang dijadikan acuan dalam pengembangan dan penyusunan kurikulum sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Informasi yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mengatakan bahwa pada umumnya sekolah dan madrasah di semua jenjang dan jenis pendidikan sudah melaksanakan KTSP walaupun masih adaptasi model kurikulum (KTSP) sekolah lain atau pusat dan sebagian kecil sekolah/madarasah yang menyusun kurikulum sendiri. Beragamnya kemampuan dalam mengembangkan kurikulum sekolah (KTSP), ternyata berdampak pada kualitas kurikulum yang dihasilkan. Upaya verifikasi terhadap kurikulum yang disusun dan dikembangkan oleh satuan pendidikan untuk melihat kesesuaiannya dengan standar nasional pendidikan dalam rangka pengendalian mutu kurikulum belum banyak membantu. Karena dalam melakukan penelaahan kurikulum tentu saja diperlukan instrumen penelaahan. Maka disusunlah panduan penelaahan kurikulum (KTSP) yang diharapkan dapat menjadi masukan kepada Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam melakukan tugasnya menelaah kurikulum sekolah.
          Penyusunan Panduan Penelaahan Kurikulum Sekolah (KTSP) bertujuan untuk memberikan masukan ke Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka melaksanakan tugas mereka mengendalikan mutu kurikulum yang disusun  oleh satuan pendidikan sebelum disahkan.
          Instrumen penelaahan kurikulum sekolah (KTSP) ini disusun dengan mengacu pada standar nasional pendidikan, terutama standar isi, SKL, standar proses, standar pengelolaan, dan standar penilaian serta panduan penyusunan KTSP dari BSNP. Panduan penelaahan Kurikulum Sekolah (KTSP) ini ditujukan bagi Satuan Pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota  serta Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah agar memiliki persepsi yang sama dalam menelaah kurikulum sekolah.
Transformasi Kelima
KURIKULUM 2013, saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Kemunculannya ditanggapi beragam. Ada yang meragukan namun tidak sedikit yang mengharapkan. Kehadirannya diharap dapat mengatasi masalah dan kelemahan KTSP. Memang sejatinya yang menjadi salah satu alasan pengembangan kurikulum adalah upaya mempertahankan secara optimal kebaikan komponen yang ada, sekaligus menerima secara aktif kebaikan komponen kurikulum yang baru.
          Jika kita menyaksikan realitas perkembangan kurikulum di negeri ini dimulai sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, kebijakan pendidikan di era orde lama, orde baru hingga reformasi, tidak bisa lepas dari beragam tanggapan, kritik dan saran baik positif dan sebagainya. Hal ini adalah sebuah potensi, merupakan kekuatan, bukti sebuah kepedulian semua elemen masyarakat terhadap pendidikan.
          Pada suatu kesempatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh membuka rahasia dibalik penerapan Kurikulum 2013. Menurut beliau pendidikan pada hakikatnya bertujuan menghilangkan tiga penyakit masyarakat, “Satu saja yang diingat bahwa tujuan pendidikan  adalah menghilangkan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban.” Masih dalam kesempatan yang sama, Muhammad Nuh menyampaikan konsep kurikulum 2013 yaitu Tazkiyah (attitude), Tilawah (pengetahuan), dan Ta’alim (keterampilan). Dengan konsep Kurikulum 2013 tersebut dapat mengatasi tiga penyakit masyarakat.
          Disadari banyak pihak yang menentang penerapan Kurikulum 2013 ini, bahkan tuntutan dan desakan mundur untuk Muhammad Nuh. Namun sikap pemerintah sudah jelas bahwa tetap akan menerapkannya. Penerapan Kurikulum 2013 dilaksanakan secara bertahap dan terbatas. “Sikap kita sudah jelas. Yaa bunaya irham ma’ana, wala takunu ma’al kafirin. Maka janganlah ikuti jalan orang-orang yang menentang,” pungkas Nuh.[1]


[1] Sumber Kompas.com/Sabrina Asril

0 komentar:

Posting Komentar