SEPERTI APAKAH relevansi substansi antara
pendidikan Nasional dengan Pendidikan Islam? Benarkah perbedaan keduanya hanya
terletak pada posisi konsep,
mengapa demikian?
Berikut ini adalah cuplikan
sebagai tulisan atas Ahmadi dalam kertas pidato pengukuhan guru besarnya yang
mengulas relevansi substansi antara pendidikan nasional dengan pendidikan
Islam. Pertama, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam (Tauhid);
Kedua,
pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk
menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia);
Ketiga, pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia),
dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan
anggota masyarakat.
Menurut Ahmadi perbedaan antara keduanya hanya terletak
pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam
lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari
posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem
pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan
pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat
bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan
dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara
sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan
Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai
suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam
merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional.
Keberhasilan pendidikan Islam berarti keberhasilan
pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan
nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari pendidikan
Islam. Setujukah Anda dengan pandangan tersebut? Jika setuju, apakah pandangan
tersebut telah terakomodasi secara yuridis? Jika tidak, mengapa demikian?
Keberhasilan pendidikan Islam berarti keberhasilan
pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan
nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari pendidikan
Islam. Secara yuridis hal ini telah terakomodasi dalam Undang-Undang Sisdiknas
nomor 20 tahun 2003. Dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional pendidikan
Islam sebagai komponen substansial ke dalam system pendidikan nasional, maka
konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya
pendidikan keagamaan harus dihapuskan. Implikasi politisnya adalah, kebijakan
lama yang sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan
Islam (keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan
umum yang dibina dan dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional, harus ditinjau kembali. Lebih lanjut papar Ahmadi[1].
Pertimbangan-pertimbangan secara paedagogis dan akademis yang akan melahirkan
kebijakan reformatif tentang pendidikan Islam di bawah pengelolaan Departemen
Pendidikan Nasional.
[1]
DR Ahmadi dalam pidato
pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang. Ahmadi membuat
perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun 1993-1994 tentang
Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham sekuler, masalah
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas
dijembatani dengan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan Duplet Ordo
dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang komit dengan agamanya. Jika Belanda
mampu melaksanakan Pendidikan Agama di perguruan tinggi dengan pendekatan
religius, Indonesia dengan Pancasilanya sudah pasti lebih mampu. Ahmadi menolak
dikotomi lembaga pendidikan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar