SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

makna kurikulum

Senin, 04 Agustus 2014 |

Makna Kurukulum


BERDASARKAN beberapa sumber yang dapat kita temukan bahwa kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.

Sebagai Sejumlah Mata Pelajaran
Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander, Lewis, 1981).
Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah.
Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat pula ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1963) yang menyatakan:
“The curriculum should include grammar, reading, theorical and logic, and mathematic, and addition at the scondary level introduse the great books of the western world”.
Sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaanya kurikulum memiliki ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment (pendapat, keputusan, pertimbangan) ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran pada yang harus diajarkan pada siswa.Kedua, Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya. Ketiga, Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.

Sebagai Pengalaman Belajar
Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakanpekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.
Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, diantaranya adalah Hollis L. Caswell dan Doak S. Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah: All of the experiences children have under the guidance of teacher”.
Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940), yang menyatakan kurikulum sebagai: “... Those experiences of the child which the school in any way utilizes or attempts to influence”.
Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Giles. S.P, McCutchen, dan A.N. Zechiel: “The curriculum… the total experience with which the scholl deals in education young people”.
Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine (1945) yang mengatakan:
“Curriculum is interpreted to mean all of the organized course, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not”.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Harold Albertys, Reorganizing the High School Curriculum (1965). Bagi dia kurikulum sebagai segala kegiatan yang difasilitasi oleh sekolah demi kepentingan siswa- “All of the activities that are provide for the students by the school”.
Demikian juga Saylor dan Alexander (1965) yang menyatakan:
“The curriculum is the sum total of school’s efforts to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of school”.
Bagi mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk memengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.
William B. Ragan dalam Modern Elemetary Curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai: “All the experiences of children for which school accepts responsibility. It denotes the results of efforts on the part of the adults of community and nation to bring to the children the finest, most whole some influences that exists in the culture.” Menurutnya dalam arti luas kurikulum mencakup semua program kehidupan dalam sekolah. Kurikulum tidak hanya mencakup bahan pelajaran, namun seluruh kehidupan dalam kelas, hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, dan cara mengevaluasi juga termasuk di dalamnya.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan malihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman kerja.

Perencanaan Program Belajar
Kurikulum sebagai rencana atau program belajar, dikemukakan oleh Hilda Taba, Curriculum Development Theory, and Practice (1962). Taba mendefinisikan kurikulum  is a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak. Hakikat tiap kurikulum menurut Taba merupakan suatu cara agar anak mampu berpartisipasi aktif kritis sebagai anggota yang produktif dan inovatif dalam masyarakat. Anak tidak menjadi anak yang pendiam, stagnan dan pasif. Anak diharapkan mampu melakukan aktualisasi diri sedemikian rupa dan progresif sehingga melahirkan anak-anak yang berprestasi dalam bidang masing-masing.
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti pula oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Otanel Smith (1978),W.O. Stanley dan J.Harlan Shore dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah sebuah perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya sejalan dengan acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 Pasal 1 Ayat 19).
Namun demikian, apalah artinya sebuah perangkat perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Apakah artinya rencana atau program pendidikan tanpa diimplementasikan dalam tindakan nyata di sekolah? Apakah sebuah rencana pendidikan dapat menghasilkan sesuatu tanpa implementasikan di sekolah? Tentu tidak. Sebuah rencana pendidikan akan memiliki makna bagi peserta didik. Oleh karenanya, dalam konteks perencanaan pengembangan kurikulum sebenarnya terkandung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan oleh kurikulum. Sebab, pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan. Jika penyimpangan ini terjadi dan tidak dikendalikan inilah sikap inkonsisten. Merencanakan sesuatu dengan baik tetapi yang dilakukan sebaliknya. Sekali lagi, kurikulum baru memiliki kekuatan jika tindakan atau implementasinya sesuai dengan  tujuannya. Jika tidak orang bisa saja menamakan kurikulum yang kita gunakan adalah “Kurikulum Plin-Plan”.

0 komentar:

Posting Komentar