Makna Kurukulum
BERDASARKAN beberapa
sumber yang dapat kita temukan bahwa kurikulum dapat dimaknai dalam tiga
konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah
mata pelajaran, kurikulum sebagai
pengalaman belajar, dan kurikulum
sebagai perencanaan program belajar.
Sebagai
Sejumlah Mata Pelajaran
Pengertian
kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta
didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai
teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander, Lewis, 1981).
Kurikulum
sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk
memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan kemampuan. Oleh
karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu
yang akan memperoleh ijazah.
Pengertian
kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat pula ditemukan dari definisi
yang dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1963) yang menyatakan:
“The curriculum should include
grammar, reading, theorical and logic, and mathematic, and addition at the
scondary level introduse the great books of the western world”.
Sebagai mata pelajaran yang harus
dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaanya kurikulum memiliki
ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Perencanaan
kurikulum biasanya menggunakan judgment
(pendapat, keputusan, pertimbangan) ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan
faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata
pelajaran pada yang harus diajarkan pada siswa.Kedua, Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu
dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan
bahan pelajaran, dan lain sebagainya. Ketiga,
Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan
strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi
pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Sebagai Pengalaman Belajar
Pengertian
kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal
kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada
kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja
ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya
kegiatan anak mengerjakanpekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok,
mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari
kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang
diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang
diprogramkan oleh sekolah.
Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai
pengalaman, diantaranya adalah Hollis L. Caswell dan Doak S. Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum
adalah: “All
of the experiences children have under the guidance of teacher”.
Demikian
juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940), yang menyatakan kurikulum
sebagai: “... Those experiences of the child which the school in any way
utilizes or attempts to influence”.
Lebih
jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Giles. S.P, McCutchen, dan A.N. Zechiel: “The
curriculum… the total experience with which the scholl deals in education young
people”.
Pendapat-pendapat
di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine (1945) yang mengatakan:
“Curriculum is interpreted to mean
all of the organized course, activities, and experiences which pupils have
under direction of the school, whether in the classroom or not”.
Pendapat
yang hampir sama dikemukakan Harold Albertys, Reorganizing the High School Curriculum (1965). Bagi dia kurikulum
sebagai segala kegiatan yang difasilitasi oleh sekolah demi kepentingan siswa- “All
of the activities that are provide for the students by the school”.
Demikian juga Saylor
dan Alexander (1965) yang menyatakan:
“The curriculum is the sum total of school’s efforts
to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of
school”.
Bagi mereka,
kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan
tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk memengaruhi siswa belajar baik di
dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.
William
B. Ragan dalam Modern Elemetary
Curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai: “All the experiences of children for which school accepts responsibility.
It denotes the results of efforts on the part of the adults of community and
nation to bring to the children the finest, most whole some influences that
exists in the culture.” Menurutnya dalam arti luas kurikulum mencakup semua
program kehidupan dalam sekolah. Kurikulum tidak hanya mencakup bahan
pelajaran, namun seluruh kehidupan dalam kelas, hubungan sosial antara guru dan
murid, metode mengajar, dan cara mengevaluasi juga termasuk di dalamnya.
Kalaulah
kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan malihat dokumen
kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses
pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi
keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target
pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai
seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai
produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa
sebagai pengalaman kerja.
Perencanaan Program
Belajar
Kurikulum
sebagai rencana atau program belajar, dikemukakan oleh Hilda Taba, Curriculum Development Theory, and Practice
(1962). Taba mendefinisikan kurikulum is a plan for learning, yakni sesuatu yang
direncanakan untuk pelajaran anak. Hakikat tiap kurikulum menurut Taba
merupakan suatu cara agar anak mampu berpartisipasi aktif kritis sebagai
anggota yang produktif dan inovatif dalam masyarakat. Anak tidak menjadi anak
yang pendiam, stagnan dan pasif. Anak diharapkan mampu melakukan aktualisasi
diri sedemikian rupa dan progresif sehingga melahirkan anak-anak yang
berprestasi dalam bidang masing-masing.
Konsep
kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti
pula oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B.
Otanel Smith (1978),W.O. Stanley dan J.Harlan Shore dan Peter F. Oliva (1982),
yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah sebuah perencanaan atau
program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
Sebagai
suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan
tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi
untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; disamping itu tentu saja
berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap
pencapaian tujuan.
Kurikulum
sebagai suatu rencana tampaknya sejalan dengan acuan dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 Pasal 1 Ayat 19).
Namun demikian, apalah artinya sebuah perangkat
perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Apakah artinya rencana atau program
pendidikan tanpa diimplementasikan dalam tindakan nyata di sekolah? Apakah
sebuah rencana pendidikan dapat menghasilkan sesuatu tanpa implementasikan di
sekolah? Tentu tidak. Sebuah rencana pendidikan akan memiliki makna bagi
peserta didik. Oleh karenanya, dalam konteks perencanaan pengembangan kurikulum
sebenarnya terkandung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa
semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan oleh kurikulum.
Sebab, pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar
implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan. Jika
penyimpangan ini terjadi dan tidak dikendalikan inilah sikap inkonsisten. Merencanakan sesuatu dengan
baik tetapi yang dilakukan sebaliknya. Sekali lagi, kurikulum baru memiliki kekuatan
jika tindakan atau implementasinya sesuai dengan tujuannya. Jika tidak orang bisa saja
menamakan kurikulum yang kita gunakan adalah “Kurikulum Plin-Plan”.
0 komentar:
Posting Komentar