PESONA CANDI-CANDI
"CANDI PRAMBANAN"
Pesona keindahannya sebagai peninggalan
kebudayaan Hindu terbesar di Indonesia., bukan hanya dari bentuk bangunan, tata
letaknya yang sungguh menakjubkan. Tetapi juga sejarah dan legendanya sangat
unik dan menarik. Kompleks Candi Prambanan memiliki tiga bangunan utama yang
indah setinggi 47 meter. Candi yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan Raja Mataram I atau Balitung Maha Sambu dari Wangsa Sanjaya sekitar
tahun 850. Candi yang pernah ditinggalkan pendukungnya bermigrasi ke Jawa Timur
karena letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 950, diakui UNESCO sebagai warisan
budaya dunia sejak tahun 1991.
“CANDI AGUNG”
Langit di atas Candi Agung, terang benderang.
Matahari tak terhalang apapun. Awan atau pun pohon. Mungkin awan sedang libur. Atau lagi
melakukan perjalanan. Sama seperti yang kami lakukan. Abah, aku dan adikku
menuruni tangga museum. Barusan
beberapa saat yang lalu. Kami
berada di dalamnya. Dalam sebuah ruang mirip kamar. Kamar di dalamnya ada
tempat tidur. Katanya tempat tidur “Putri Junjung Buih”.
Depan sebuah mahligai.
Tak terhalang apapun.
Mataku tertuju pada tulisan “Telaga Darah”. Tak terkecuali Legawa, ia juga
melihat tulisan itu. Ia lebih gesit dariku. Hati berteriak menyemangati kaki.
Untuk mempercepat langkah, mengambil jalan itu. Tetap saja didahului Legawa.
Abah dengan sigap mensejajarkan langkah. Meraih tangan kami. Dengan senyumnya
yang khas. Ia berujar.
“Telaga ini disebut
juga, Lubuk Badangsanak”
Sebuah telaga lebih
mirip sumur. Sumur yang diberi atap sirap seukuran 3 kali 3 meter. Dan
dikelilingi pagar kayu ulin setinggi kurang lebih 1 meter. Dekat dua tiang di
depannya dipasang kain berwarna kuning. Disebelah kiri tiang bangunan
bertuliskan Empu Mandastana. Serumpun
bambu kuning tua nan lebat, tepat disebelah kanannya. Tak ada tulisan selain
itu. Tak ada juru penerang. Tak ada penjelasan selain itu. Tak ada yang
mendukung penjelasan Abah. Bahwa telaga ini dinamakan juga Lubuk Badangsanak.
Tetapi Abah mencoba meyakinkan kami. Legawa duduk pada anak tangga, dekat jalan
depan telaga. Dan aku berdiri dibelakangnya.
Dengan rasa ingin tahu.
Matahari di atas Candi
Agung masih terang benderang. Tak terhalang apapun. Tak seperti rasa ingin tahu
kami saat ini. Kitai saja di dekat telaga itu terdapat tulisan. Tulisan yang
dapat menjelaskan, kepada kami, tentang sejarah telaga ini. Tentu semuanya
menjadi terang benderang. Seterang matahari di atas Candi hari ini.
Legawa berdiri, sejajar
denganku. Kami berjalan diikuti Abah dari belakang. Kali ini aku berinisiatif,
mengambil jalur baru. Jalur baru ini bukan jalan biasa. Melainkan titian panjang dari kayu ulin. Titian
ini menuju bangunan Candi.
“Jalur ini cukup
nyaman, rapi lagi bersih,” menurutku
“Tapi sayang masih ada
coretan” kata Legawa.
Memang sayang, situs ini membutuhkan sentuhan
tangan-tangan peduli. Yang berniat untuk menjaga dan melestarikannya. Bukan tangan usil yang mencoret-coretnya.
Coretan dengan cat, spidol atau apapun.
Coretan itu hanya berisi nama, atau kata-kata. Coretan yang tak bermanfaat.
Akan lebih bermanfaat, jika kreativitas tersebut, digunakan untuk menulis keterangan
pada setiap situs-situs ini.
Seperti telaga tadi,
apa hubungannya dengan Empu Mkitastana. Dan mengapa diberi nama Telaga Darah.
Mengapa juga disebut Lubuk Badangsanak.
Mpu Mkitastana
adalah saudara Lambung Mangkurat. Dia mempunyai dua orang anak yaitu Bambang
Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan kecantikan
putri Junjung Buih yang tiada tara.
Karna merasa kedua putra Mpu Mkitastana ini tidak sesuai untuk sang putri .
Maka Lambung Mangkurat membunuh kedunya. Di sebuah danau sekitar kerajaan
sehingga sekarang disebut “ Lubuk Badangsanak atau Telaga Darah”
FILM
3 BOROBUDUR
Borobudur merupakan candi yang dibangun oleh
raja Smaratungga di tahun 824 Masehi dan berdasarkan prasasti Kelurak,
pembangunannya baru selesai pada tahun 847 Masehi oleh putrinya, Ratu Dyah
Pramudawardhani. Candi ini ditemukan oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di
Jawa.
Borobudur merupakan salah satu bukti
kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia dalam ilmu pengetahua yang dan
teknologi. Kejayaan yang sudah sepantasnya menjadi kebanggaan sekaligus
inspirasi kita membangun masa depan bangsa.
Pada tahun 1991, Borobudur ditetapkan
UNESCO sebagai warisan dunia. Tahun 2012, Guiness
World Records Borobudur sebagai
situs arkeologis Candi Buddha terbesar di Dunia.
CANDI
AGUNG
dan CANDI LARAS
Di sebelah Timur cahaya
matahari mulai tampak. Semburatnya menembus diantara sempirai beringin tua.
Kicauan burung bersahutan dari dahan pohon jambu ditepian sungai Muara Bahan.
Bumi seperti terlahir kembali dengan segala warnanya. Memberi nuansa keindahan
alam sampai sepajang sungai Anjir Sarapat.
Suasana alam yang
semula sejuk mulai berangsur hangat. Kehangatan yang lembut tetapi seakan mau
menembus dasar sungai yang bersih dan tenang. Setenang gerak sebuah jukung Hawaian yang mengikuti arus sungai Balkitaian menuju Tamban.
Seorang bocah berusia belasan tahun mengayuh dayungnya mengikuti irama alam nan
damai.
“krutok…krutok…krutok…krutok…”
Bunyi benturan dayung
menyentuh sisi biduk kayu seakan bersahutan dengan suara satwa dan seranga di
pinggiran hutan Borneo. Sesekali ditimpali bunyi denting sampe (alat musik suku Dayak Kayaan dan Kenyah mirip gitar berdawai
tiga), yang membahana entah dari mana. Dari dalam hutan, dasar sungai, atau
berasal dari dalam lubuk hatinya.
“Entahlah…,” gumam
bocah itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mendamaikan hatinya yang
sedang bergermuruh.
Bocah itu terus
mendayung jukungnya. Sambil sesekali
menimba air yang seakan mau menemani kesendiriannya di perahu kecil ini. Dia
memang sendiri, hanya sebuah alat
pancing, lunta (jala), menemaninya.
Ketika bekal perjalanannya mulai menipis seperti beras dan beberapa ekor ikan
kering, maka lunta itulah yang
digunakannya, agar dirinya tidak terlunta-lunta, bagai orang yang “terbuang”
Sekilas bocah ini sama
dengan kakanakan kampung dibantaran
sungai Muhur dan Alalak. Pakaiannya lusuh, hanya salawar katuk dan baju tanpa lengan. Wajahnya
tidak terlalu nampak karena tertutupi topi purun yang lebar.
Tetapi jika diamati,
ada yang terasa aneh pada bocah ini, terutama bagi yang kebetulan berpapasan
dengannya dan mengamatinya dengan seksama. Si Tanggung ini terlihat bukan
seperti anak-anak sekitar bataran sungai Muara Bahan, Anjir Sarapat – Baladaian- Tamban- Muhur- Alalak-
bahkan sampai Sungai Kuin. Wajahnya tampan, kulitnya bersih, gerakannya tenang
serta tatapan matanya tampak berwibawa.
Di bantaran sungai ini,
hampir setiap hari ia tidak alpa menyaksikan matahari menyemburatkan cahayanya
diantara dedaunan, ranting, dahan pepohonan sepanjang sungai. Entah berapa ratus kali pula ia memergoki
rembulan mencumbui malam.
Entah berapa ratus kali
ia mengikuti ritual alam ini. Entah berapa ribu kali biduk ini menendangkan
irama anak nelayan. Irama pengembaraan di Muara Barito yang luas dan panjang.
Seluas mata memandang hanya kumpulan eceng gondok (ilung) yang diombang-ambingkan gelombang.
Perawakannya tegap,
berkulit putih bersih, serta berparas rupawan. Wajahnya tampak lebih dewasa
dibanding usianya. Sepertinya bocah ini tidak terbiasa terpanggang terik
matahari, terlihat dari kulit muka dan tanganya mulai memerah.
Entah berapa lama ia
mengarungi bantaran sungai ini. Jika hujan lebat atau panas terasa terik dia
mencari tempat untuk berteduh. Bila malam mulai menyapa ia mencari tempat untuk
berteduh, kadang di bawah pohon, tetapi tidak jarang ada urang kampung bermurah hati mengijinkannya menginap. Dini hari ia
berpamitan untuk memulai perjalanannya lagi. Itu semua karena penampilan, tutur
kata dan pribadi bocah tanggung ini yang menyenangkan siapa saja yang
dijumpainya.
Bocah ini mengumpulkan
hasil tangkapan sambil mengayuh dan merapatkan jukungnya di kampung
Kuin. Beberapa pasang mata, mengikuti
gerak langkah kaki bocah ini. Tampak tegap dan pasti, dan langkah itu bukan
langkah bocah kebanyakan.. Langkah itu terhenti di depan seorang bapa paruh baya sambil menatap bocah tersebut
dari ujung kaki hingga kepala.
Dia adalah seorang
patih bernama Patih Masih. Orang terpkitang di wilayah Kuin dan sekitarnya.
Merasakan ketajaman tatapan mata bapak
tersebut bocah ini spontan melepaskan topi purun
dan terlihatlah seluruh wajahnya.
“ Tuanku
Pangeran?” kalimat pertama yang
terlontar dari bibir berkumis dan jenggot yang beberaqpa mulai memutih itu.
Sebuah pertanyaan tetapi lebih bermakna untuk meyakinkan.
“Paman Patih”, bocah
yang dipanggil Raden ini menjatuhkan diri dikaki Patih Masih.
“Bangunlah Tuanku,
hamba jadi merasa risih.”
“Tolonglah paman, untuk
sementara waktu sembunyikanlah dahulu identitas ulun dari urang kampung,
demi keselamatan kita bersama.”
“Maafkan hamba
Pangeran”, sambil menyudurkan kelapa
muda yang barusan dikupas.
“Lupakanlah paman, ini
mungkin sudah garis tanganku,” tangannya
menerima buah kepala muda, dan menempelkan bibirnya pada kelapa yang dilubangi.
“Kami telah lama
mengawasi Pangeran sejak memasuki kampung Balkitaian, khawatir kalau
penyamarannya terbongkar,”
“Terima kasih Paman,
saya cukup berhati-hati dalam hal ini, dan paman Arya Taranggana sangat
membantu dalam menyiapkan segalanya”
“Hamba tidak menyangka
jika wasiat Raja Sukarama, kakek Pangeran berbuah seperti ini.” Kerajaan Negara
Daha diambang kehancuran jika angkara murka dan keserakahan tidak dihentikan.
Sebagaimana diketahui
Maharaja Sukarama memerintah dikerajaan Negara Daha. merupakan keturunan ke-7
dari kerajaan Negaradipa yang diperintah oleh Pangeran Surianata dan Putri
Junjung Buih.
Pangeran Samudera
termenung, ia teringat dengan apa yang diucapkan paman Arya Taranggana, untuk
segera menyelamatkan diri, keluar dari batas Kerajaan Negara Daha. Kala itu ia
masih berusia 7 tahun. Tidak begitu mengerti mengapa ia harus meniggalkan
kerajaan, tempat ia mengukir kenangan bersama kakeknya. Di lingkungan kerajaan
yang telah lama membesarkannya. Tetapi berkat kesabaran Paman Arya Taranggana
yang kala itu menjadi Mangkubumi, menjelaskan bahwa wasiat kakeknya Raja
Sukarama yang mewariskan Tahta Kerajaan Negara Daha kelak kepadanya. Dan wasiat
itu secara diam-diam tidak mendapat persetujuan dari paman-pamannya terutama
Pangeran Tumanggung. Maka jadilah kini ia sebagai “Putera Mahkota yang
Terbuang”.
Pangeran Samudera
menyadari jika ia tidak menuruti nasehat paman Arya Taranggana, maka tamatlah
riwayatnya. Dan kewajibannya untuk meneruskan garis keturunan abahnya Raden
Mantri Jaya dan mamanya Putri Galuh (Puteri Intan Sari) juga menjadi sia-sia.
Putri Galuh merupakan
putri bungsu Raja Sukarama, kakeknya. Dan keduanya telah tiada, dia menjadi
yatim piatu sejak masih kakanak halus
(balita). Kakeknyalah yang selama ini mendidiknya, merawat, membimbing, dan
menyayangi sepenuh hati.
Mulai saat itu Pangeran
tinggal menetap di Kuin. Ia menjadi anak angkat Patih Masih orang yang paling
berpengaruh di wilayah itu. Tak seorangpun tahu kalau anak angkat Patih Masih
ini seorang bangsawan. Seorang Pangeran, Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha.
Setelah dewasa maka pengelolaan seluruh wilayah negeri Kuin ini diserahkan
Patih Masih kepada anak angkatnya. Pengangkatannya menjadi pengelola bkitar
mendapat banyak dukungan bak gayung bersambut.
Apalagi setelah mengetahui rahasia kalau anak angkat Patih Masih itu
adalah Putera Mahkota.
Bkitar Masih bercahaya,
Tak begitu lama Bkitar Masih menjadi kota bkitar yang paling ramai dikunjungi.
Para pedangan asing mulai berdatangan untuk berniaga. Tak ketinggal warga udik
dari hulu turut menjual hasil kebun dan sawahnya. adapula yang datang hanya
menguji peruntungannya, siapa tahu di bkitar yang baru ini nasibnya akan
berubah. mereka datang dari Negara Daha bahkan juga dari Negara Dipa.
Kabar kemajuan Bkitar
Masih cepat tersiar sampai kepenjuru banua. Begitu pula rahasia keberadaan
Pangeran Samudera mulai sampai ketelinga Raja Temenggung. Raja Temenggung murka. Dengan membawa pasukan
bersenjata, tentara kerajaan Negara Daha ini melakukan penyerangan ke Bkitar
Masih. Peperangan di Muara Alalak tak terhindarkan lagi.
Banyak korban kedua
belah pihak berjatuhan. Namun akhirnya pasukan Kerajaan Negara Dipa berhasil
dipukul mundur oleh pasukan Pangeran Samudera yang dibantu oleh pasukan
Kerajaan Demak di Jawa Timur. Pasukan dipimpin oleh Fatahillah atas perintah
Sultan Trenggono, Sultan Demak kala itu.
Setelah perang berakhir
dengan kemenangan, Pangeran Samudera menetapi janji untuk memeluk agama Islam,
kemudian diikuti oleh pembesaar lainnya. Khatib Bayan adalah ulama yang
membantu prosesi peng-Islaman tersebut. Beliau adalah mubaligh yang secara
khusus didatangkan dari Demak. Dan bersamaan dengan itu Pangeran Samudera
berganti nama dengan “Sultan Suriansyah” dengan gelar “Penambahan Batu Habang”.
“Aa Cultan…aa Cultan…aa
Cultan…jayatkan kakambannya, jayatkan kakambannya (ikatkan selendangnya red)…aaaa …Cultan !”
Sultan terperanjat
ketika melihat Adinda Galuh telah berada didepannya sambil merengek-rengek
minta dipasangkan kakambang habang dipinggangnya.
“Baiklah ding, maafkan
kakak tadi ketiduran,” jawab Sultan sambil mengikatkan selendang dipinggang
adiknya yang masih berusia 3 tahun. Tapi sudah mulai menyukai tarian lagu-lagu
Banjar terutama lagu “Kakamban Habang”
ciptaan Anang Ardiansyah.
“Ketiduran?,” benarkah
aku telah ketiduran setelah membaca buku “Pangeran
Samudera” buku cerita Rakyat asal
Kalimantan Selatan yang ditulis Syamsiar Seman dan Anggaini Antemas?”.
Buku itu aku pinjam
dari perpustakaan sekolahku SD Negeri Banjang 2. Aku penasaran tentang namaku
mengapa Sultan Suriansyah? Ternyata itu
gelar seorang raja? Dan bocah dalam cerita tadi adalah Pangeran Samudera,.
Kalau begitu aku Pangeran Samudera. Mengapa abahku memberiku nama Sultan
Suriansyah?
Apa
yang kita kemukakan di atas merupakan bagian dari produk kebudayaan dan peradaban
bangsa Indonesia. Bangsa yang telah menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam
perbedaan. Nilai-nilai yang dilkitasi oleh jatidiri dan karakter bangsa.
Nilai-nilai luhur bangsa yang sudah semestinya menjadi referensi bagi setiap
anak bangsa. Siapa pun dia dan apa pun profesinya dituntut partisipasi nyatanya.
Sebesar dan sesederhana apa pun peran dan upayanya.[βểld@]
0 komentar:
Posting Komentar