SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

PESONA CANDI-CANDI

Senin, 25 Agustus 2014 |




PESONA CANDI-CANDI

"CANDI PRAMBANAN"

Pesona keindahannya sebagai peninggalan kebudayaan Hindu terbesar di Indonesia., bukan hanya dari bentuk bangunan, tata letaknya yang sungguh menakjubkan. Tetapi juga sejarah dan legendanya sangat unik dan menarik. Kompleks Candi Prambanan memiliki tiga bangunan utama yang indah setinggi 47 meter. Candi yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan Raja Mataram I atau Balitung Maha Sambu dari Wangsa Sanjaya sekitar tahun 850. Candi yang pernah ditinggalkan pendukungnya bermigrasi ke Jawa Timur karena letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 950, diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak tahun 1991.

CANDI AGUNG

Langit di atas Candi Agung, terang benderang. Matahari tak terhalang apapun. Awan atau pun pohon.  Mungkin awan sedang libur. Atau lagi melakukan perjalanan. Sama seperti yang kami lakukan. Abah, aku dan adikku menuruni tangga museum. Barusan  beberapa  saat yang lalu. Kami berada di dalamnya. Dalam sebuah ruang mirip kamar. Kamar di dalamnya ada tempat tidur. Katanya tempat tidur “Putri Junjung Buih”. Depan sebuah mahligai.
Tak terhalang apapun. Mataku tertuju pada tulisan “Telaga Darah”. Tak terkecuali Legawa, ia juga melihat tulisan itu. Ia lebih gesit dariku. Hati berteriak menyemangati kaki. Untuk mempercepat langkah, mengambil jalan itu. Tetap saja didahului Legawa. Abah dengan sigap mensejajarkan langkah. Meraih tangan kami. Dengan senyumnya yang khas. Ia berujar.
“Telaga ini disebut juga, Lubuk Badangsanak”
Sebuah telaga lebih mirip sumur. Sumur yang diberi atap sirap seukuran 3 kali 3 meter. Dan dikelilingi pagar kayu ulin setinggi kurang lebih 1 meter. Dekat dua tiang di depannya dipasang kain berwarna kuning. Disebelah kiri tiang bangunan bertuliskan Empu Mandastana. Serumpun bambu kuning tua nan lebat, tepat disebelah kanannya. Tak ada tulisan selain itu. Tak ada juru penerang. Tak ada penjelasan selain itu. Tak ada yang mendukung penjelasan Abah. Bahwa telaga ini dinamakan juga Lubuk Badangsanak. Tetapi Abah mencoba meyakinkan kami. Legawa duduk pada anak tangga, dekat jalan depan telaga. Dan aku berdiri dibelakangnya.  Dengan rasa ingin tahu.
Matahari di atas Candi Agung masih terang benderang. Tak terhalang apapun. Tak seperti rasa ingin tahu kami saat ini. Kitai saja di dekat telaga itu terdapat tulisan. Tulisan yang dapat menjelaskan, kepada kami, tentang sejarah telaga ini. Tentu semuanya menjadi terang benderang. Seterang matahari di atas Candi hari ini.
Legawa berdiri, sejajar denganku. Kami berjalan diikuti Abah dari belakang. Kali ini aku berinisiatif, mengambil jalur baru. Jalur baru ini bukan jalan biasa. Melainkan titian panjang dari kayu ulin. Titian ini menuju bangunan Candi.
“Jalur ini cukup nyaman, rapi lagi bersih,” menurutku
“Tapi sayang masih ada coretan” kata Legawa.
Memang sayang, situs ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan peduli. Yang berniat untuk menjaga dan melestarikannya.  Bukan tangan usil yang mencoret-coretnya. Coretan  dengan cat, spidol atau apapun. Coretan itu hanya berisi nama, atau kata-kata. Coretan yang tak bermanfaat. Akan lebih bermanfaat, jika kreativitas tersebut, digunakan untuk menulis keterangan pada setiap situs-situs ini.
Seperti telaga tadi, apa hubungannya dengan Empu Mkitastana. Dan mengapa diberi nama Telaga Darah. Mengapa juga disebut Lubuk Badangsanak.
Mpu Mkitastana adalah saudara Lambung Mangkurat. Dia mempunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan kecantikan putri Junjung Buih yang tiada  tara. Karna merasa kedua putra Mpu Mkitastana ini tidak sesuai untuk sang putri . Maka Lambung Mangkurat membunuh kedunya. Di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “ Lubuk Badangsanak atau Telaga Darah”
         
FILM 3 BOROBUDUR

Borobudur merupakan candi yang dibangun oleh raja Smaratungga di tahun 824 Masehi dan berdasarkan prasasti Kelurak, pembangunannya baru selesai pada tahun 847 Masehi oleh putrinya, Ratu Dyah Pramudawardhani. Candi ini ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di Jawa.
          Borobudur merupakan salah satu bukti kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia dalam ilmu pengetahua yang dan teknologi. Kejayaan yang sudah sepantasnya menjadi kebanggaan sekaligus inspirasi kita membangun masa depan bangsa.
          Pada tahun 1991, Borobudur ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia. Tahun 2012, Guiness World Records  Borobudur sebagai situs arkeologis Candi Buddha terbesar di Dunia.

CANDI AGUNG dan CANDI LARAS

Di sebelah Timur cahaya matahari mulai tampak. Semburatnya menembus diantara sempirai beringin tua. Kicauan burung bersahutan dari dahan pohon jambu ditepian sungai Muara Bahan. Bumi seperti terlahir kembali dengan segala warnanya. Memberi nuansa keindahan alam sampai sepajang sungai Anjir Sarapat.
Suasana alam yang semula sejuk mulai berangsur hangat. Kehangatan yang lembut tetapi seakan mau menembus dasar sungai yang bersih dan tenang. Setenang gerak sebuah jukung Hawaian yang mengikuti arus sungai Balkitaian menuju Tamban. Seorang bocah berusia belasan tahun mengayuh dayungnya mengikuti irama alam nan damai.
“krutok…krutok…krutok…krutok…”
Bunyi benturan dayung menyentuh sisi biduk kayu seakan bersahutan dengan suara satwa dan seranga di pinggiran hutan Borneo. Sesekali ditimpali bunyi denting sampe (alat musik suku Dayak Kayaan dan Kenyah mirip gitar berdawai tiga), yang membahana entah dari mana. Dari dalam hutan, dasar sungai, atau berasal dari dalam lubuk hatinya.
“Entahlah…,” gumam bocah itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mendamaikan hatinya yang sedang bergermuruh.
Bocah itu terus mendayung jukungnya. Sambil sesekali menimba air yang seakan mau menemani kesendiriannya di perahu kecil ini. Dia memang sendiri, hanya sebuah alat pancing, lunta (jala), menemaninya. Ketika bekal perjalanannya mulai menipis seperti beras dan beberapa ekor ikan kering, maka lunta itulah yang digunakannya, agar dirinya tidak terlunta-lunta, bagai orang yang  terbuang
Sekilas bocah ini sama dengan kakanakan kampung dibantaran sungai Muhur dan Alalak.  Pakaiannya lusuh, hanya salawar katuk dan baju tanpa lengan. Wajahnya  tidak terlalu nampak karena tertutupi topi purun yang lebar.
Tetapi jika diamati, ada yang terasa aneh pada bocah ini, terutama bagi yang kebetulan berpapasan dengannya dan mengamatinya dengan seksama. Si Tanggung ini terlihat bukan seperti anak-anak sekitar bataran sungai Muara Bahan,  Anjir Sarapat – Baladaian- Tamban- Muhur- Alalak- bahkan sampai Sungai Kuin. Wajahnya tampan, kulitnya bersih, gerakannya tenang serta tatapan matanya tampak berwibawa.
Di bantaran sungai ini, hampir setiap hari ia tidak alpa menyaksikan matahari menyemburatkan cahayanya diantara dedaunan, ranting, dahan pepohonan sepanjang sungai.  Entah berapa ratus kali pula ia memergoki rembulan mencumbui malam.
Entah berapa ratus kali ia mengikuti ritual alam ini. Entah berapa ribu kali biduk ini menendangkan irama anak nelayan. Irama pengembaraan di Muara Barito yang luas dan panjang. Seluas mata memandang hanya kumpulan eceng gondok (ilung) yang diombang-ambingkan gelombang.
Perawakannya tegap, berkulit putih bersih, serta berparas rupawan. Wajahnya tampak lebih dewasa dibanding usianya. Sepertinya bocah ini tidak terbiasa terpanggang terik matahari, terlihat dari kulit muka dan tanganya mulai memerah. 
Entah berapa lama ia mengarungi bantaran sungai ini. Jika hujan lebat atau panas terasa terik dia mencari tempat untuk berteduh. Bila malam mulai menyapa ia mencari tempat untuk berteduh, kadang di bawah pohon, tetapi tidak jarang ada urang kampung bermurah hati mengijinkannya menginap. Dini hari ia berpamitan untuk memulai perjalanannya lagi. Itu semua karena penampilan, tutur kata dan pribadi bocah tanggung ini yang menyenangkan siapa saja yang dijumpainya.
Bocah ini mengumpulkan hasil tangkapan sambil mengayuh dan merapatkan jukungnya  di kampung Kuin.  Beberapa pasang mata, mengikuti gerak langkah kaki bocah ini. Tampak tegap dan pasti, dan langkah itu bukan langkah bocah kebanyakan.. Langkah itu terhenti di depan seorang  bapa paruh baya sambil menatap bocah tersebut dari ujung kaki hingga kepala.
Dia adalah seorang patih bernama Patih Masih. Orang terpkitang di wilayah Kuin dan sekitarnya. Merasakan  ketajaman tatapan mata bapak tersebut bocah ini spontan melepaskan topi purun  dan terlihatlah seluruh wajahnya.
“ Tuanku Pangeran?”  kalimat pertama yang terlontar dari bibir berkumis dan jenggot yang beberaqpa mulai memutih itu. Sebuah pertanyaan tetapi lebih bermakna untuk meyakinkan.
“Paman Patih”, bocah yang dipanggil Raden ini menjatuhkan diri dikaki Patih Masih.
“Bangunlah Tuanku, hamba jadi merasa risih.”
“Tolonglah paman, untuk sementara waktu sembunyikanlah dahulu identitas ulun dari urang kampung, demi keselamatan kita bersama.”
“Maafkan hamba Pangeran”, sambil menyudurkan  kelapa muda yang barusan dikupas.
“Lupakanlah paman, ini mungkin sudah garis tanganku,”  tangannya menerima buah kepala muda, dan menempelkan bibirnya pada kelapa yang dilubangi.
“Kami telah lama mengawasi Pangeran sejak memasuki kampung Balkitaian, khawatir kalau penyamarannya terbongkar,”
“Terima kasih Paman, saya cukup berhati-hati dalam hal ini, dan paman Arya Taranggana sangat membantu dalam menyiapkan segalanya”
“Hamba tidak menyangka jika wasiat Raja Sukarama, kakek Pangeran berbuah seperti ini.” Kerajaan Negara Daha diambang kehancuran jika angkara murka dan keserakahan tidak dihentikan.
Sebagaimana diketahui Maharaja Sukarama memerintah dikerajaan Negara Daha. merupakan keturunan ke-7 dari kerajaan Negaradipa yang diperintah oleh Pangeran Surianata dan Putri Junjung Buih.
Pangeran Samudera termenung, ia teringat dengan apa yang diucapkan paman Arya Taranggana, untuk segera menyelamatkan diri, keluar dari batas Kerajaan Negara Daha. Kala itu ia masih berusia 7 tahun. Tidak begitu mengerti mengapa ia harus meniggalkan kerajaan, tempat ia mengukir kenangan bersama kakeknya. Di lingkungan kerajaan yang telah lama membesarkannya. Tetapi berkat kesabaran Paman Arya Taranggana yang kala itu menjadi Mangkubumi, menjelaskan bahwa wasiat kakeknya Raja Sukarama yang mewariskan Tahta Kerajaan Negara Daha kelak kepadanya. Dan wasiat itu secara diam-diam tidak mendapat persetujuan dari paman-pamannya terutama Pangeran Tumanggung. Maka jadilah kini ia sebagai “Putera Mahkota yang Terbuang”.
Pangeran Samudera menyadari jika ia tidak menuruti nasehat paman Arya Taranggana, maka tamatlah riwayatnya. Dan kewajibannya untuk meneruskan garis keturunan abahnya Raden Mantri Jaya dan mamanya Putri Galuh (Puteri Intan Sari) juga menjadi sia-sia.
Putri Galuh merupakan putri bungsu Raja Sukarama, kakeknya. Dan keduanya telah tiada, dia menjadi yatim piatu sejak masih kakanak halus (balita). Kakeknyalah yang selama ini mendidiknya, merawat, membimbing, dan menyayangi sepenuh hati.
Mulai saat itu Pangeran tinggal menetap di Kuin. Ia menjadi anak angkat Patih Masih orang yang paling berpengaruh di wilayah itu. Tak seorangpun tahu kalau anak angkat Patih Masih ini seorang bangsawan. Seorang Pangeran, Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha. Setelah dewasa maka pengelolaan seluruh wilayah negeri Kuin ini diserahkan Patih Masih kepada anak angkatnya. Pengangkatannya menjadi pengelola bkitar mendapat banyak dukungan bak gayung bersambut.  Apalagi setelah mengetahui rahasia kalau anak angkat Patih Masih itu adalah Putera Mahkota.
Bkitar Masih bercahaya, Tak begitu lama Bkitar Masih menjadi kota bkitar yang paling ramai dikunjungi. Para pedangan asing mulai berdatangan untuk berniaga. Tak ketinggal warga udik dari hulu turut menjual hasil kebun dan sawahnya. adapula yang datang hanya menguji peruntungannya, siapa tahu di bkitar yang baru ini nasibnya akan berubah. mereka datang dari Negara Daha bahkan juga dari Negara Dipa.
Kabar kemajuan Bkitar Masih cepat tersiar sampai kepenjuru banua. Begitu pula rahasia keberadaan Pangeran Samudera mulai sampai ketelinga Raja Temenggung.  Raja Temenggung murka. Dengan membawa pasukan bersenjata, tentara kerajaan Negara Daha ini melakukan penyerangan ke Bkitar Masih. Peperangan di Muara Alalak tak terhindarkan lagi.
Banyak korban kedua belah pihak berjatuhan. Namun akhirnya pasukan Kerajaan Negara Dipa berhasil dipukul mundur oleh pasukan Pangeran Samudera yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Demak di Jawa Timur. Pasukan dipimpin oleh Fatahillah atas perintah Sultan Trenggono, Sultan Demak kala itu.
Setelah perang berakhir dengan kemenangan, Pangeran Samudera menetapi janji untuk memeluk agama Islam, kemudian diikuti oleh pembesaar lainnya. Khatib Bayan adalah ulama yang membantu prosesi peng-Islaman tersebut. Beliau adalah mubaligh yang secara khusus didatangkan dari Demak. Dan bersamaan dengan itu Pangeran Samudera berganti nama dengan “Sultan Suriansyah” dengan gelar “Penambahan Batu Habang”.
“Aa Cultan…aa Cultan…aa Cultan…jayatkan kakambannya, jayatkan kakambannya  (ikatkan selendangnya red)…aaaa …Cultan !”
Sultan terperanjat ketika melihat Adinda Galuh telah berada didepannya sambil merengek-rengek minta dipasangkan  kakambang habang dipinggangnya.
“Baiklah ding, maafkan kakak tadi ketiduran,” jawab Sultan sambil mengikatkan selendang dipinggang adiknya yang masih berusia 3 tahun. Tapi sudah mulai menyukai tarian lagu-lagu Banjar terutama lagu “Kakamban Habang” ciptaan  Anang Ardiansyah.
“Ketiduran?,” benarkah aku telah ketiduran setelah membaca buku “Pangeran Samudera  buku cerita Rakyat asal Kalimantan Selatan yang ditulis Syamsiar Seman dan Anggaini Antemas?”.
Buku itu aku pinjam dari perpustakaan sekolahku SD Negeri Banjang 2. Aku penasaran tentang namaku mengapa Sultan Suriansyah? Ternyata  itu gelar seorang raja? Dan bocah dalam cerita tadi adalah Pangeran Samudera,. Kalau begitu aku Pangeran Samudera. Mengapa abahku memberiku nama Sultan Suriansyah?
          Apa yang kita kemukakan di atas merupakan bagian dari produk kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia. Bangsa yang telah menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam perbedaan. Nilai-nilai yang dilkitasi oleh jatidiri dan karakter bangsa. Nilai-nilai luhur bangsa yang sudah semestinya menjadi referensi bagi setiap anak bangsa. Siapa pun dia dan apa pun profesinya dituntut partisipasi nyatanya. Sebesar dan sesederhana apa pun peran dan upayanya.[βểld@]

0 komentar:

Posting Komentar