Gemar mengarung ombak samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa…”
Itulah
penggelan lagu, yang sering aku nyanyikan. Semasa di Taman Kanak-Kanak dulu.
Lagu itu sering menjadi irama hatiku, ketika sedang ikut kakek naik jukung. Di aliran
sungai yang sudah ada entah sejak kapan. Aku dan Legawa, waktu libur selalu
ikut kakek pergi ke sawah bercocok tanam. Atau memetik hasilnya. Untuk makan
siang biasanya kami mencari ikan, di sungai tua ini. Sungai Terasi demikian nama sungai tua ini. Terketak di Pulau Kadap
desa Kaludan, kampung kelahiran kakekku.
“Di
sini dahulu abahnya Si Irus, paman Rapii menemukan sebuah jukung sudur purbakala. Jukung itu sangat panjang, mencapai 14,5
meter dan lebarnya lebih 1,5 meter,” kata kakek menunjuk ke arah tepian sungai
Tarasi.
“Wow…
besar sekali, tapi gimana keadaannya kek?”
“Masih
dalam keadaan utuh, yah walaupun sudah sangat tua sekali,” jawab kakek sambil
memainkan penanggak menjalankan jukung.
“Berapa tahun
umurnya kek?’’ tanya Legawa, yang selalu tertarik tentang umur suatu benda,
atau suatu tempat.
“Tidak
tahunan lagi Cu, tetapi sudah berumur tidak kurang 5 abad, atau 500 tahunan,”
“Wow…tuha
- nyaaaa,” keluar logat asli Legawa kalau kaget.
“Mengapa
bisa sekuat itu kek?” bukannya aku ragu, tetapi…
“Jukung
sudur itu terbuat dari kayu Taras Cangal,
tergolong kayu kuat kala itu,”
“Siapa
yang mampu menghitung umurnya Kek?”
“Menurut
hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh…pusat…apa yah…dari Yogyakarta, coba
nanti kamu tanyakan kepada abahmu. Nanti kalau kita sudah sampai di ladang,”
“Darimana
abah tahu kek, bukankah beliau bukan penduduk sini?” tanyaku agak heran.
“Jukung itu
ditemukan,kalau tidak salah tahun 1994. Setahun setelah abahmu bertugas disini.
Atau beberapa bulan setelah melamar ibumu. Dan kebetulannya lagi saudara abahmu,
yang juga wartawan, surat kabar harian daerah ini, yang meliput peristiwa itu.
Peristiwa penemuan jukung tersebut, oleh warga desa Kaludan,,” Kakek
meyakinkan.
“Seminggu
sebelum abahmu menikahi ibumu. Jukungnya pernah juga tenggelam disini. Bersama
paman dan teman-temannya,” kisah kakek mengingatkanku kepada cerita abah. Kata
abah Jukung Sudur Sungai Tarasi itu
bisa kita lihat di Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru.
Sungai Tarasi merupakan urat nadi
perekonomian masyarakat. Terutama masyarakat desa Banjang dan desa Kaludan.
Sungai ini menjadi sumber mata pencaharian warga kampung ini. Bercocok tanam
dan mencari ikan. Beragam spesies ikan bisa ditemukan di sungai ini. Jukung
sudur itulah sarana penduduk beraktivitas di sungai ini. Maklum di daerahku tak
terhitung banyaknya jumlah sungai. Pantas jika mendapat julukan pulau seribu
sungai.
Pulau seribu sungai, itulah julukan
untuk Kalimantan. Pulau dimana aku tinggal.
Aku tinggal bagian selatan pulau Borneo ini. Di Kalimantan Selatan,
sungai Barito merupakan sungai terpanjang dan terbesar. Panjangnya antara 750
km sampai 900 km. Mata airnya berasal dari pedalaman tengah, Kalimantan. Dan
sungai ini dihubungkan oleh sebuah anjir
(kanal atau sungai buatan). Dengan dua buah sungai besar di sebelah Barat yaitu
sungai Kapuas dan sungai Kahayan. Panjangnya masing-masing 600 km. Bagian barat
bermuara ke Laut Jawa, Sedangkan dibagian timur bermuara ke Selat Makassar. Sehingga
bagi masyarakat di pulau ini, angkutan air seperti jukung, kelotok, perahu, sampai
kapal sudah
tidak
asing lagi.
Klotok Barang, dari
namanya kita sudah bisa mengetahui fungsi jukung yang satu ini. Ukurannya
cukup beragam dari kecil, sedang, hingga besar dengan ukuran panjang antara
9 – 17 meter.
Jukung Nelayan,
jukung penangkap ikan di kawasan Laut Jawa ini, teruji melaut selama 3 – 4 minggu.
Meskipun tanpa penyeimbang. Penapihnya bisa sampai 7 dan 9 keping papan.
Jukung ini dilengkapi juga 4 ruang penyimpan ikan. Juga kamar mesin, kamar
berkapasitas 4 orang, dek kedap air untuk menyimpan makanan. Perahu ini
juga telah dilengkapi teknologi informasi, berupa radio penerima dan
pengirim berita.
Jukung Tiung,
dibuat tidak mengutamakan kerapian
atau kehalusan, melainkan lebih mengutamakan kekuatan dan daya angkut. Jukung
ini difungsikan untuk mengangkut barang dalam jumlah banyak. Biasanya tidak
dilengkapi mesin karena digandeng oleh kapal tunda.
Jukung Raksasa,
sebagaimana tersirat dari namanya perahu iini berukuran mencapai 23,5 meter
dengan lebar 5 meter. Penapihnya mencapai 15 keping papan dibagian tengah,
dan 16-18 keping pada bagian haluan dan buritan. Memiliki dek dengan 2
lantai.
Motorbot,
sarana air angkutan cepat ini dikembangkan dari bakal jukung. Kecepatannya
bisa mencapai 12 sampai 16 knot,
karena dilengkapi dengan mesin disel 6 silinder. Panjang keseluruhannya
bisa mencapai 16 – 25 meter. Lebar 2,3 sampai 3 meter. Kapal ini mampu
menampung penumpang antara 75 orang untuk ukuran kecil dan 140 orang untuk
kapal berukuran besar.
Masih ingatkah kamu bahwa knot adalah satuan ukuran kecepatan
geraakan kapal dalam mil laut per jam (1 knot = 1852 m)
|
Ini
merupakan pemandangan biasa. Alat transportasi air ini telah sejak lama
digunakan masyarakat pulau Kalimantan. Bahkan konon, telah digunakan sejak
zaman besi pada abad ke -7 Masehi hingga kini. Hingga kini, yang membuat aku
merasa bangga bahwa nenek moyangku suku Ma’anyan
yang bermukim didataran rendah Barito telah pernah melakukan perjalanan (migrasi)
sampai ke Madagaskar, sekitar tahun 600. Di duga mereka melalui Sumatera, ke
India, terus ke Arabia, akhirnya tiba di Afrika, lalu menemukan pulau
Madagaskar. Kemudian menetap disana, sebagai penghuni pulau yang belum
berpenduduk tersebut. Pulau Madagaskar merupakan pulau ke 4 terbesar di dunia setelah
Pulau Kalimantan. Pulau ini berada di kawasan Banua Afrika. Sebuah perjalanan
yang sangat panjang yang telah dilakukan suku Ma’anyan.
Tapi
mengunakan apa ya mereka berimigrasi? Jukung, perahu, atau kapal? Besar atau
kecil? Bagaimana dengan Jukung Penes?
Jukung Penes merupakan kapal atau
perahu yang dibuat dari bangun jukung. Jukung adalah istilah yang digunakan
oleh seluruh masyarakat dataran rendah Barito dan digunakan untuk semua jenis
perahu/badan kapal. Mulai sekitar 50 tahun silam ketika mesin kapal belum
diperkenalkan.
Ada baiknya kuperkenalkan
jenis-jenis Jukung kepada kalian. tapi sebelumnya akan aku perkenalkan dulu
kawanku Kakek Erik Petersen asal Denmark. Dia adalah seorang arsitek perencana
yang memilih menetap di Kalimantan Selatan. Orang asing yang sangat terkesan
dengan industri pembuatan kapal, perahu dan jukung di daerahku. Dari dia aku mengenal banyak tentang
jenis-jenis jukung ini. Cara membuat, jenis kayu, dan ukuran jukung serta peralatan
yang digunakan. Tidak hanya itu saja, kepadaku juga diceritakannya tentang
perjalanaan (migrasi) pernah dilakukan oleh nenek moyangku suku Ma’anyan. Yang
tadi telah aku ceritakan dan kenalkan kepadamu.
Aku mengenal Erik Petersen dari
Prof.M.P.Lambut, seorang Guru Besar dalam bidang Pendidikan Sastra Budaya,
dosen tetap pada Program S-1 Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNLAM. Aku dan dia
mempunyai perasaan bersalah yang sama. Kami merasa hanya memberi perhatian yang
tidak berarti dan terkesan sambil lalu. Padahal ini merupakan warisan leluhur yang
tak ada duanya di dunia. Kami sama-sama merasa malu dengan Erik, dia jauh-jauh
dari Negeri Kincir-Belanda hanya untuk ditertawakan, hanya untuk dianggap
sebagai orang “aneh” . Dan itu dilakukannya hanya untuk mengenalkan “Jukung” kepada dunia.
Ia kenalkan belasan jenis jukung
kepada dunia melalui naskahnya yang berjudul “JUKUNG BOATS from the Barito Basin, Borneo”, Akhir tahun 2000
lalu. Tidak hanya itu, dengan susah payah ia harus melampaui birokrasi
kepabeanan Indonesia, untuk mengangkut jukung Borneo. Agar dapat mengikuti
pameran Viking Ship Museum Roskilde di
Denmark-Belanda. Sehingga wajah pengrajin jukung dan kapal di kawasan
Alalak terpampang di sana. Di sana yang menjelaskan adalah seorang Erik
Petersen. Kawanku itu.
Kawanku itu juga mengenalkan
kepadaku bahwa jukung sekitar 2.000 tahun silam digunakan sebagai peti mati, sebagai
simbol perjalanan roh ke negeri ke negeri roh, negerinya orang mati. Hal ini
bisa saksikan di gua Niah kawasan Negara-Hulu Sungai Selatan Kandangan.
Suku balian Ngadju juga menggunakan
jukung untuk mengantar roh mayat ke alam roh. Seperti yang terlihat pada
lukisan gua, yang mirip dengan gambar “banama
– tingang”, Sebuah artepak dengan nilai sejarah dan seni yang tinggi.
Beberapa Arkeolog melakukan penelitian diantaranya:
Pusat Penelitian Nuklir dan Badan Tenaga Atom Nasional dari Yogyakarta.
menyatakan bahwa jukung sudur yang ditemukan di sungai tarasi tersebut
dibuat oleh rakyat pribumi antara tahun 1410-1570 M
Kayu Cangal (Hopers-Sangal, latin red.) jenis kayu
kuat di bawah kayu ulin/kayu besi (Euisideroxylon Zwageri)
Taras adalah sebutan untuk yang kondisi kayu
padat dengan berat jenis tinggi, tak lapuk kena hujan tak lekang kena
panas.
|
Berikut
ku kenalkan jenis-jenis Jukung Sudur Ma’ayan dan Jukung Barito:
Jukung sudur merupakan jenis jukung, telah ada sekitar
2500 tahun lalu yang pembuatannya mengunakan perkakas dari batu.
Jukung sudur dibentuk dari setengah batang kayu bulat yang dikeruk
bagian dalamnya. Panjangnya sekitar 7 meter dan garis tengahnya 66 cm dengan
ketebalan tidak kurang 25 cm.
Dikampungku jenis jukung ini pernah ditemukan dengan panjang mencapai
14,5 meter.
Dinamakan “Jukung Sudur Sungai Tarasi”. Dengan dasar yang rata jukung
ini dapat bergerak walau kedalaman 10 cm. Untuk menggerakannya hanya
menggunakan penanjak dari kayu atau bambu. Fantastis bukan? Itulah bentuk
aslinya.
Jukung Rangkan, ramping, ringan, dan dapat digunakan di
hulu sungai yang berarus deras. Jukung rangkan adalah jukung sudur yang diberi
penapih agar tidak mudah kemasukan air.
Jukung
Patai, jenis jukung
Barito paling sederhana. Badan jukung yang ditinggikan pada bagian haluan dan
buritan, serta bibir jukung yang diperkuat dengan kayu setebal 1 cm. Walau
masih menggunakan penanjak, pada buritan dipasang kemudi untuk mengemudikan
perahu ini.
Jukung
Hawaian, perahu Barito
ini memerlukan pengolahan lebih lanjut. Pada haluan dan buritan diberi
sambungan dinamakan sampung lalu penapihnya dari sekeping papan. Jukung ini
mulai menggunakan pengayuh (dayung). Perahu ini merupakan sarana transportasi
keluarga yang bermukim dibantaran sungai. Karena itu diberi lantai dari bambu untuk tempat duduk. Jukung ini
masih banyak kita temukan di sekitar sungai Lok Baintan Banjar
Jukung
Alkon, jukung yang
panjangnya 7 – 9 meter ini mulai menggunakan mesin/motor dengan kemudi yang
dilengkapi baling-baling, serta pembuangan air pada bagian buritan perahu.
Semua kelengkapan itu memudahkan beroperasi pada semua bagian sungai kecuali
kawasan hulu yang berarus deras.
Jukung
Rombong, jukung ini
khusus menjual makanan dan minuman layak kedai atau warung. Keberadaan jukung
ini sangat membantu para pengunjung pasar termasuk masyarakat hunian pinggiran
sungai. Jenis beratap ini banyak kita
temui di pasar terapung pasar Kuin.
Jukung
Klotok, merupakan
perahu penumpang yang dilengkapi mesin. Klotok dengan panjang 9 hingga 11 meter
dengan lebar 1,9 meter. Perahu ini juga menawarkan kenyamanan pada penumpang
dengan memberi tempat duduk dan atap
serta penapih mencapai 3 bidang papan.
Feri, merupakan jukung pengangkut alat
trasportasi darat seperti sepeda motor, mobil, truk dsb untuk menyeberangi
sungai atau perairan. Feri terbuat dari dua buah jukung yang diletakkan
bersisian dan disatukan dengan sebuah dek berbentuk persegi panjang. Panjang
feri ini berkisar antara 11 sampai 20 meter dengan lebar antara 4,5 sampai 8
meter. Salah satu feri ini dilengkapi mesin, sebaggai motor pengeraknya.
0 komentar:
Posting Komentar