SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

13. TRAGEDI DI NEGARA DAHA

Kamis, 28 Agustus 2014 |



 TRAGEDI DI NEGARA DAHA



AKU dan kakak terpukau mendapati diri kami diantara kapal-kapal kayu besar. Sebesar sekolah Adikku, Legawa yang baru mendapat perbaikan dari pemerintah. Sekolahnya bagus, muridnya di atas seratus. Kelasnya ada delapan. Tapi sayang guru kelasnya hanya tiga orang. Lain lagi di sekolah Adik temanku, muridnya ada tujuh, tapi guru negerinya ada sebelas orang. bukankah itu pemborosan? Aku bingung mengapa demikian? Pikirku mencoba mencari jawab.
            Belum aku menemukan jawabannya, kapal-kapal kayu besar disepanjang Sungai Negara itu telah merenggut perhatianku. Kapal-kapal itu dan Sungai Negara ini, menyimpan sejuta kisah, menyimpan sejuta rahasia. Rahasia sebuah keris sakti bernama “Karis Malila” yang dalam satu malam telah berhasil merenggut dua lembar nyawa. Nyawa seorang penghianat dan nyawa seorang raja, demi sebuah tahta. Demi sebuah ambisi akan kekuasaan. Ambisi yang tak tertahankan.
            “Ambisi yang telah melupakan nilai-nilai luhur!!!” kata abahku. Ia ikut menatap sungai. Sungai yang arusnya tenang. Setenang ceritanya tentang nilai-nilai yang mulai terabaikan.
            “Nilai-nilai kesetiaan, nilai persaudaraan, bahkan telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri,” tambahnya.
Nilai-nilai itu lebih cantik dari seorang putri. Ia lebih berkilau dari intan berlian. Ia lebih memukau dari apapun yang telah dimilikinya.
Demi sebuah kekuasaan, yang memukau pandangannya, Pangeran Temenggung, tega membunuh rajanya. Pangeran Mangkubumi kakaknya sendiri. Tersungkur bersimbah darah, ditengah malam sesaat setelah  istana tengah menggelar pesta perayaan. Seorang pelayan istana yang telah dipercaya, merenggut nyawanya dengan menusukkan keris tepat dijantungnya. “Keris Malila!!!” Bukan sembarang keris.
            “Bukankah pemilik keris sakti itu adalah Pangeran Tumenggung?”
            “Mengapa sampai jatuh ketangan Saban, seorang pelayan?”
            “Hingga disalah gunakan.”
            Pikirku mencoba mencari jawab. Baru saja logikaku mulai beranjak.
            Kabar kematian Saban sebagai pembunuh sudah tersebar. Saban mati seketika. Menghapus jejak. Dalang dibalik tragedi berdarah itu tak terungkap. Tragedi berdarah ini membuatku seperti melihat cahaya dibalik kegelapan. Karena memang, pasti ada suatu alasan.
            Entah kerena alasan apa. Raja Raden Sukarama sebelum mangkat sempat berwasiat untuk mewariskan tahta kepada cucunya, Raden Samudera. Padahal Raden Samudera hanyalah anak dari menantunya Raden Mantri Jaya dengan anak bungsunya Putri Galuh (Puteri Intan Sari). Wasiat itu tidak mendapat persetujuan anak-anaknya. Terutama Pangeran Temenggung anak keduanya. Sementara Pangeran Bagalung dan Pangeran Jayadewa hanya ikut menyaksikan kakak sulungnya Pangeran Mangkubumi yang diangkat menjadi raja.
            Tidak begitu lama setelah kematian kakaknya, Pangeran Tumenggung-pun akhirnya naik tahta Kerajaan Negara Daha. Tercapailah sudah ambisinya selama ini. Menggenggam tongkat kekuasaan. Mengenggam kekuasan hakikatnya menggenggam amanah. Amanah rakyatnya dan amanah Tuhannya.
            Amanah abahku kepada kami adalah menjaga adik-adikku, Adinda 3 tahun dipangkuan kakakku, dan Legawa 8 tahun di kiriku. Agar mereka tetap dalam perhatian, karena baru kali ini mereka berhadapan langsung dengan sungai besar. Sementara abah dan mama menjalankan amanah kakek untuk melamarkan seorang putri di bantaran Sungai Negara untuk pamanku.

0 komentar:

Posting Komentar