TRAGEDI DI NEGARA DAHA
AKU
dan kakak terpukau mendapati diri kami diantara kapal-kapal kayu besar. Sebesar
sekolah Adikku, Legawa yang baru mendapat perbaikan dari pemerintah. Sekolahnya
bagus, muridnya di atas seratus. Kelasnya ada delapan. Tapi sayang guru kelasnya
hanya tiga orang. Lain lagi di sekolah Adik temanku, muridnya ada tujuh, tapi
guru negerinya ada sebelas orang. bukankah itu pemborosan? Aku bingung mengapa
demikian? Pikirku mencoba mencari jawab.
Belum aku menemukan jawabannya, kapal-kapal
kayu besar disepanjang Sungai Negara itu telah merenggut perhatianku.
Kapal-kapal itu dan Sungai Negara ini, menyimpan sejuta kisah, menyimpan sejuta
rahasia. Rahasia sebuah keris sakti bernama “Karis Malila” yang dalam satu malam telah berhasil merenggut dua
lembar nyawa. Nyawa seorang penghianat dan nyawa seorang raja, demi sebuah
tahta. Demi sebuah ambisi akan kekuasaan. Ambisi yang tak tertahankan.
“Ambisi yang telah melupakan
nilai-nilai luhur!!!” kata abahku. Ia ikut menatap sungai. Sungai yang arusnya
tenang. Setenang ceritanya tentang nilai-nilai yang mulai terabaikan.
“Nilai-nilai kesetiaan, nilai
persaudaraan, bahkan telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri,”
tambahnya.
Nilai-nilai
itu lebih cantik dari seorang putri. Ia lebih berkilau dari intan berlian. Ia
lebih memukau dari apapun yang telah dimilikinya.
Demi
sebuah kekuasaan, yang memukau pandangannya, Pangeran Temenggung, tega membunuh
rajanya. Pangeran Mangkubumi kakaknya sendiri. Tersungkur bersimbah darah,
ditengah malam sesaat setelah istana
tengah menggelar pesta perayaan. Seorang pelayan istana yang telah dipercaya,
merenggut nyawanya dengan menusukkan keris tepat dijantungnya. “Keris Malila!!!” Bukan sembarang keris.
“Bukankah pemilik keris sakti itu
adalah Pangeran Tumenggung?”
“Mengapa sampai jatuh ketangan Saban,
seorang pelayan?”
“Hingga disalah gunakan.”
Pikirku mencoba mencari jawab. Baru
saja logikaku mulai beranjak.
Kabar kematian Saban sebagai
pembunuh sudah tersebar. Saban mati seketika. Menghapus jejak. Dalang dibalik
tragedi berdarah itu tak terungkap. Tragedi berdarah ini membuatku seperti
melihat cahaya dibalik kegelapan. Karena memang, pasti ada suatu alasan.
Entah kerena alasan apa. Raja Raden
Sukarama sebelum mangkat sempat berwasiat untuk mewariskan tahta kepada cucunya,
Raden Samudera. Padahal Raden Samudera hanyalah anak dari menantunya Raden
Mantri Jaya dengan anak bungsunya Putri Galuh (Puteri Intan Sari). Wasiat itu
tidak mendapat persetujuan anak-anaknya. Terutama Pangeran Temenggung anak
keduanya. Sementara Pangeran Bagalung dan Pangeran Jayadewa hanya ikut
menyaksikan kakak sulungnya Pangeran Mangkubumi yang diangkat menjadi raja.
Tidak begitu lama setelah kematian
kakaknya, Pangeran Tumenggung-pun akhirnya naik tahta Kerajaan Negara Daha.
Tercapailah sudah ambisinya selama ini. Menggenggam tongkat kekuasaan.
Mengenggam kekuasan hakikatnya menggenggam amanah. Amanah rakyatnya dan amanah Tuhannya.
Amanah abahku kepada kami adalah menjaga
adik-adikku, Adinda 3 tahun dipangkuan kakakku, dan Legawa 8 tahun di kiriku.
Agar mereka tetap dalam perhatian, karena baru kali ini mereka berhadapan
langsung dengan sungai besar. Sementara abah dan mama menjalankan amanah kakek
untuk melamarkan seorang putri di bantaran Sungai Negara untuk pamanku.
0 komentar:
Posting Komentar