2
Pluralisme
Masyarakat
Multietnik
PLURALISME, sebagaimana
kita bahas sebelumnya merupakan realitas yang harus kita terima sekaligus harus
kita syukuri. Berbeda yang disebabkan oleh keberagaman sebagai bentuk anugerah
yang tak ternilai dari Sang Pencipta. Idealnya demikian jika kita mau
melihatnya secara seimbang antara realitas sosio-kultural dan realitas sejarah.
Bahwa setiap konsep, setiap wacana, dan setiap realitas yang berkaitan dengan
keberagaman dan kemajemukan tersebut ditempatkan secara bijak. Dipahami secara
positif dan ditempatkan secara benar serta dikelola secara tepat. Keberagaman yang dapat ditransformasikan dalam
kesatuan yang utuh dan kuat. Berbeda tetapi saling menguatkan.
Senada dengan itu Boedhi Oetoyo (2013:1.57) mengemukakan
simpulannya bahwa pluralitas masyarakat bangsa Indonesia sebagai suatu realitas
sosio-kultural dan realitas sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang seimbang
dalam arti bahwa semua konsep, semua wacana, dan semua realitas mengenai pluralitas
suku-suku bangsa itu di tempatkan pada tingkatan yang sederajat. Dihubungkan
dengan sikap primordialistik dan realitas majemuk masyarakat Indonesia yang
melekat pada masyarakat daerah dan kebudayaan berbagai suku bangsa maka sifat
pluralitas dan sikap primordialistik itu haruslah ditempatkan sebagai bagian
dari tradisi atau realitas yang harus diterima eksistensinya, karena kenyataan
ini adalah merupakan warisan sejarah bangsa Indonesia. Di mana aspek-aspek
positif dari tradisi tersebut harus dikelola secara tepat dengan
mengesampingkan unsur-unsur yang bersifat destruktif sehingga tradisi daerah
dapat ditransformasikan menjadi tradisi kebangsaan yang kuat demi mempertebal
rasa nasionalisme bangsa.
Indonesia merupakan salah satu dari 17
negara yang memiliki keberagaman sosial budaya dalam masyarakatnya. Kondisi
yang cukup langka jika kita mau membandingkan dari 157 negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
keberagaman bahasa, agama, sosial, kasta, ras, budaya, suku dan etnik. Negara pluralis
yang memiliki beragam perbedaan, sebagai gambaran masyarakat yang multietnik yang terdapat pada negara manapun.
Masyarakat multietnik
memiliki beberapa karakteristik yang dapat kita lihat pada delapan tipe yang
digambarkan oleh Young sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(1988) dalam Boedhi Oetoyo (2013:1.4) bahwa di dunia ini setidaknya ada delapan
tipe masyarakat multietnik. Tipe Pertama,
terdapat disebagian besar negara-negara maju di Eropa Barat. Penduduknya
terdiri dari sejumlah suku bangsa, di mana salah satu suku bangsa itu merupakan
suku bangsa yang dominan, sedangkan sisanya adalah suku-suku bangsa minoritas.
Di sini, kebudayaan perkotaan yang telah berusia ratusan tahun. Di Eropa Timur,
ada juga negara-negara yang serupa dengan negara-negara yang terdapat di Eropa
Barat, di mana negara-negara di Eropa Timur itu masih mengkitalkan ekonomi
pertanian karena karena sector yang sangat penting. Contohnya adalah Hongaria
yang penduduknya didominasi oleh bangsa Magyar, juga negara-negara Polandia,
Rumania, Bulgaria, dan Albania.
Tipe Kedua,
ditemukan
di negara-negara yang ditinggali oleh keturunan para imigran yang berasal dari
Eropa hampir satu abad yang lampau dan menjadi dari penduduk atau suku bangsa
yang dominan. Kebudayaan nasional dan bahasa nasional dari negara-negara ini
adalah kebudayaan dan bahasa para imigran tadi. Penduduk pribumi maupun para
imigran yang bukan Bangsa Eropa yang datang kemudian, dipkitang sebagai warga
negara kelas dua atau sebagai penduduk minoritas yang tidak penting dan bahkan
ada beberapa suku pribumi yang dipunahkan. Beberapa negara tipe kedua ini
tergolong negara yang paling maju ekonominya
di dunia seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Kecuali itu ada
sejumlah negara yang tergolong kurang berkembang ekonominya seperti
negara-negara Amerika Latin dan negara-negara Afrika Selatan.
Tipe Ketiga, adalah
negara-negara yang wilayahnya merupakan daerah asal dari bangsa-bangsa yang
dipindahkan atau bermigrasi ke Amerika atau Eropa. Penduduk negara-negara ini,
pada umumnya, keturunan dari bangsa-bangsa yang dipindahkan atau bermigrasi tadi,
yang kemudian dikembalikan lagi ke daerah asalnya masing-masing oleh
kekuatan-kekuatan politik dari negara-negara maju di Amerika atau Eropa.
Contohnya adalah Liberia di Afrika Barat dan Israel, dua negara yang sedang
berkembang ekonominya. Masyarakat multietnik di kedua negara tersebut terdiri
dari bangsa-bangsa yang dipulangkan ke sana dan menjadi golongan yang berkuasa.
Penduduk yang sudah ada lalu menjadi golongan minoritas di negara itu.
Tipe Keempat,
terdapat
di negara-negara Asia dan Afrika yang memiliki peradaban kuno dan
kerajaan-kerajaan tradisional, serta memiliki sejarah yang panjang. Suku-suku
bangsa kerajaan adalah suku-suku bangsa yang berkuasa di dalam masyarakat,
sedangkan suku-suku bangsa lainnya di wilayah negara-negara tersebut hanya
menjadi penduduk minoritas. Hampir semua negara ini pernah dijajah oleh salah
satu negara Eropa Barat, dan kini tergolong sebagai negara dan ekonomi yang
sedang berkembang. Ketika keekuasaan penjajah tergeser habis Perang Dunia II,
muncul negara-negara merdeka yang masih memiliki sistem kerajaan, seperti
Maroko, Swazi, Kuwait, Oman, Qatar, Nepal, Laos, dan Malaysia. Namun ada pula
negara-negara baru meredeka sudah menghapuskan sistem kerajaan yang ada sejak
jaman penjajahan, seperti Libia, Madagaskar, dan Birma. Sebaliknya, ada
negara-negra yang menjadi merdeka setelah sistem Kerajaan digulingkan oleh
gerakan politik dan revolusi, seperti yang terjadi di Tunisia, Rwanda, Burundi,
Mesir, Vietnam dan Kamboja.
Tipe Kelima, terdapat pada
beberapa negara saja yang ada di Afrika dan Asia yang juga memiliki peradaban
kuno dan kerajaan tradisional dengan sejarah yang panjang pula. Di sini, suku
bangsa yang berkuasa adalah suku bangsa kerajaan, sedangkan suku-suku bangsa
lainnya tergolong sebagai suku minoritas. Hanya saja, berbeda dengan suku
bangsa tipe keempat, negara-negara yang tergolong ke dalam tipe kelima ini
tidak pernah dijajah oleh suatu negara Eropa Barat, kecuali mungkin oleh
pendudukan militer yang tidak banyak membekas pada masyarakatnya. Sistem
kerajaan tradisional di sini digulingkan oleh gerakan revolusi, seperti yang
terjadi di Etiopia, Iran, Afganistan, dan Cina, atau seperti yang terjadi di
Muangthai. Tipe Keenam,
terdapat
di negara-negara yang mula-mula terbentuk oleh sistem kolonial. Penduduk yang
dominan adalah para migrant yang dibawa kaum penjajah dari daerah-daerah Afrika
atau Asia untuk dijadikan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan atau di
pertambangan-pertambangan. Pada akhir jaman kolonial, keadulatan jatuh ke
tangan para penduduk migrant tadi. Kebudayaan nasional dari negara yang baru
ini adalah kebudayaan dari para penguasa yang datang ke daerah itu sebagai migran.
Suku-suku bangsa pribumi di dalam negara-negara tersebut adalah penduduk yang
kebudayaannya masih terkebelakang dan merupakan minoritas yang tidak berani.
Contohnya Guyana, Jamaika, Barbados, Trinidat dan Suriname di Amerika Latin,
serta Singapura di Asia Tenggara.
Tipe Ketujuh,
adalah
terdapat di negara-negara dengan batas-batas wilayah yang ditentukan oleh
sejarah kolonialisme. Suku-suku bangsa yang tinggal dalam negara seperti itu
oleh pengalaman yang sama, yaitu pernah dijajah oleh salah satu bangsa dari
Eropa Barat. Semua suku bangsa merasa dirinya mempunyai kedudukan yang sama
sebagai suatu negara yang baru merdeka dan sedang berkembang, hal-hal yang
terkait dengan pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideology
nasional, dan kebudayaan nasional merupakan bagian yang penting di dalam
pembangunan nasionalnya. Contohnya Nigeria, Zaire, Kamerun, Kenya, dan Uganda
yang berada di Afrika, sedangkan yang berada di Asia adalah Yordania dan
Philipina.
Tipe Kedelapan, seperti halnya
tipe ketujuh, negara-negara dengan tipe ini adalah negara-negara dengan
batas-batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme. Suku-suku bangsa
yang tinggal di dalamnya di satukan oleh pengalaman yang sama yaitu pernah
dijajah oleh suatu bangsa dari Eropa Barat. Semua suku bangsa menganggap
dirinya sama tinggi kedudukan dan derajatnya sehingga pembentukan identitas
nasional, solidaritas nasional, ideologi nasional, dan kebudayaan nasional
merupakan bagian dari upaya pembangunan nasionalnya. Hanya saja, bedanya dengan
negara-negara pada tipe ketujuh adalah bahwa ada beberapa suku bangsa di sini
yang memiliki peradaban yang sangat tua serta memiliki sejarah kebudayaan yang panjang
sehingga ada persamaan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang secara
esensial sama dengan kebudayaan-kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang ada.
Kadang-kadang bahkan ada suatu bahasa nasional yang dipahami oleh sebagian
besar warga dari mayoritas suku bangsa di negara yang bersangkutan. Contoh dari
negara-negara ini adalah Tanzania,
Aljazair, Syria, Irak, Pakistan, India, Sri Langka, Indonesia. Di Eropa
juga ada negara-negara seperti itu, yaitu Czeskoslavakia dan Yugoslavia, dua
negara yang sedang berkembang, serta Belgia dan Swiss, dua negara dengan
ekonomi yang telah maju. (Lihat tulisan Koentjaraningrat Masyarakat dan Kebudayaan, 1988).
Demikianlah delapan tipe masyarakat multietnik yang memiliki beberapa
karakteristik sebagaimana digambarkan oleh Young tadi. Kita telah mendapat
gambaran bahwa Indonesia merupakan salah satu dari dua belas negara yang
memiliki karakter yang digolongkan pada tipe kedelapan. Negara-negara dengan
tipe ini dengan batas-batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme. Suku-suku
bangsa yang memiliki pengalaman yang sama bahwa pernah dijajah oleh bangsa
Eropa Barat. Setiap suku bangsa merasa memiliki kedudukan dan derajat yang sama
pula sehingga pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideologi
nasional, dan kebudayaan nasional merupakan bagian dari upaya pembangunan
nasionalnya. Hanya saja, bedanya dengan negara-negara pada tipe ketujuh adalah
bahwa ada beberapa suku bangsa di sini yang memiliki peradaban yang sangat tua
serta memiliki sejarah kebudayaan yang panjang sehingga ada persamaan
unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang secara esensial sama dengan
kebudayaan-kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang ada. Kadang-kadang bahkan
ada suatu bahasa nasional yang dipahami oleh sebagian besar warga.
Kemajemukan atau pluralisme juga dapat
dicirikan pada dua bentuk sudut pkitang yaitu secara horizontal dan secara
vertikal (Boedhi Oetoyo, 2013; Mutakin Pasya, 2003; Rajab,1996). Masyarakat
secara horizontal dilihat dari kenyataan yang menunjukkan adanya satuan-satuan
sosial yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat
istiadat atau tradisi, serta unsur-unsur Kedaerahan lainnya.
Perbedaan secara horizontal ini
diartikan sebagai perbedaan yang tidak diukur berdasarkan kualitas dari
unsur-unsur yang membentuk keragaman tersebut. Contohnya, perbedaan bahasa daerah
tidak diartikan bahwa bahasa daerah dari suatu suku bangsa A, misalnya, itu
lebih baik dan lebih hebat dari bahasa daerah suku bangsa B. Atau tradisi suku
bangsa Z itu lebih buruk dan tidak bernilai dibanding tradisi suku bangsa X.
Bukan itu yang dimaksudkan.
Sedangkan dilihat dari sudut pkitang
vertikal bahwa pemahaman kemajemukan itu dipkitang atas dasar
perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal, yaitu bahwa perbedaan dari
unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas
dan bobotnya. Misalnya perbedaan dalam aspek ekonomi akan ditkitai dengan
adanya kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi,
menegah, dan kelompok-kelompok dengan ekonomi lemah. Kemudian juga ada kelompok
masyarakat dengan pendidikan yang tinggi, menengah, rendah, dan kelompok buta
huruf. Lalu ada kelompok masyarakat yang
tidak memiliki keterampilan, ada daerah-daerah dengan sumber daya alam yang
meliimpah tetapi ada juga daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam.
Ada daerah-daerah yang memiliki sumber daya manusia yang besar dan berkualitas,
tetapi juga yang tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Beberapa
daerah telah memiliki sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi yang
sangat maju, tetapi ada juga daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki
fasilitas tersebut dan sangat tertinggal kemajuan sosial ekonominya. Pluralisme
agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat mestinya kita pahami sebagai
kekayaan yang sangat berharga.[βểld@]
0 komentar:
Posting Komentar