SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

2 Pluralisme Masyarakat Multietnik

Senin, 25 Agustus 2014 |



2
Pluralisme Masyarakat
Multietnik




PLURALISME, sebagaimana kita bahas sebelumnya merupakan realitas yang harus kita terima sekaligus harus kita syukuri. Berbeda yang disebabkan oleh keberagaman sebagai bentuk anugerah yang tak ternilai dari Sang Pencipta. Idealnya demikian jika kita mau melihatnya secara seimbang antara realitas sosio-kultural dan realitas sejarah. Bahwa setiap konsep, setiap wacana, dan setiap realitas yang berkaitan dengan keberagaman dan kemajemukan tersebut ditempatkan secara bijak. Dipahami secara positif dan ditempatkan secara benar serta dikelola secara tepat.  Keberagaman yang dapat ditransformasikan dalam kesatuan yang utuh dan kuat. Berbeda tetapi saling menguatkan.

       Senada dengan itu Boedhi Oetoyo (2013:1.57) mengemukakan simpulannya bahwa pluralitas masyarakat bangsa Indonesia sebagai suatu realitas sosio-kultural dan realitas sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang seimbang dalam arti bahwa semua konsep, semua wacana, dan semua realitas mengenai pluralitas suku-suku bangsa itu di tempatkan pada tingkatan yang sederajat. Dihubungkan dengan sikap primordialistik dan realitas majemuk masyarakat Indonesia yang melekat pada masyarakat daerah dan kebudayaan berbagai suku bangsa maka sifat pluralitas dan sikap primordialistik itu haruslah ditempatkan sebagai bagian dari tradisi atau realitas yang harus diterima eksistensinya, karena kenyataan ini adalah merupakan warisan sejarah bangsa Indonesia. Di mana aspek-aspek positif dari tradisi tersebut harus dikelola secara tepat dengan mengesampingkan unsur-unsur yang bersifat destruktif sehingga tradisi daerah dapat ditransformasikan menjadi tradisi kebangsaan yang kuat demi mempertebal rasa nasionalisme bangsa.

      Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara yang memiliki keberagaman sosial budaya dalam masyarakatnya. Kondisi yang cukup langka jika kita mau membandingkan dari 157 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keberagaman bahasa, agama, sosial, kasta, ras, budaya, suku dan etnik. Negara pluralis yang memiliki beragam perbedaan, sebagai gambaran masyarakat yang multietnik  yang terdapat pada negara manapun.
        Masyarakat multietnik memiliki beberapa karakteristik yang dapat kita lihat pada delapan tipe yang digambarkan oleh Young sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1988) dalam Boedhi Oetoyo (2013:1.4) bahwa di dunia ini setidaknya ada delapan tipe masyarakat multietnik. Tipe Pertama, terdapat disebagian besar negara-negara maju di Eropa Barat. Penduduknya terdiri dari sejumlah suku bangsa, di mana salah satu suku bangsa itu merupakan suku bangsa yang dominan, sedangkan sisanya adalah suku-suku bangsa minoritas. Di sini, kebudayaan perkotaan yang telah berusia ratusan tahun. Di Eropa Timur, ada juga negara-negara yang serupa dengan negara-negara yang terdapat di Eropa Barat, di mana negara-negara di Eropa Timur itu masih mengkitalkan ekonomi pertanian karena karena sector yang sangat penting. Contohnya adalah Hongaria yang penduduknya didominasi oleh bangsa Magyar, juga negara-negara Polandia, Rumania, Bulgaria, dan Albania.
           Tipe Kedua, ditemukan di negara-negara yang ditinggali oleh keturunan para imigran yang berasal dari Eropa hampir satu abad yang lampau dan menjadi dari penduduk atau suku bangsa yang dominan. Kebudayaan nasional dan bahasa nasional dari negara-negara ini adalah kebudayaan dan bahasa para imigran tadi. Penduduk pribumi maupun para imigran yang bukan Bangsa Eropa yang datang kemudian, dipkitang sebagai warga negara kelas dua atau sebagai penduduk minoritas yang tidak penting dan bahkan ada beberapa suku pribumi yang dipunahkan. Beberapa negara tipe kedua ini tergolong negara yang paling maju ekonominya  di dunia seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Kecuali itu ada sejumlah negara yang tergolong kurang berkembang ekonominya seperti negara-negara Amerika Latin dan negara-negara Afrika Selatan.
          Tipe Ketiga, adalah negara-negara yang wilayahnya merupakan daerah asal dari bangsa-bangsa yang dipindahkan atau bermigrasi ke Amerika atau Eropa. Penduduk negara-negara ini, pada umumnya, keturunan dari bangsa-bangsa yang dipindahkan atau bermigrasi tadi, yang kemudian dikembalikan lagi ke daerah asalnya masing-masing oleh kekuatan-kekuatan politik dari negara-negara maju di Amerika atau Eropa. Contohnya adalah Liberia di Afrika Barat dan Israel, dua negara yang sedang berkembang ekonominya. Masyarakat multietnik di kedua negara tersebut terdiri dari bangsa-bangsa yang dipulangkan ke sana dan menjadi golongan yang berkuasa. Penduduk yang sudah ada lalu menjadi golongan minoritas di negara itu.
          Tipe Keempat, terdapat di negara-negara Asia dan Afrika yang memiliki peradaban kuno dan kerajaan-kerajaan tradisional, serta memiliki sejarah yang panjang. Suku-suku bangsa kerajaan adalah suku-suku bangsa yang berkuasa di dalam masyarakat, sedangkan suku-suku bangsa lainnya di wilayah negara-negara tersebut hanya menjadi penduduk minoritas. Hampir semua negara ini pernah dijajah oleh salah satu negara Eropa Barat, dan kini tergolong sebagai negara dan ekonomi yang sedang berkembang. Ketika keekuasaan penjajah tergeser habis Perang Dunia II, muncul negara-negara merdeka yang masih memiliki sistem kerajaan, seperti Maroko, Swazi, Kuwait, Oman, Qatar, Nepal, Laos, dan Malaysia. Namun ada pula negara-negara baru meredeka sudah menghapuskan sistem kerajaan yang ada sejak jaman penjajahan, seperti Libia, Madagaskar, dan Birma. Sebaliknya, ada negara-negra yang menjadi merdeka setelah sistem Kerajaan digulingkan oleh gerakan politik dan revolusi, seperti yang terjadi di Tunisia, Rwanda, Burundi, Mesir, Vietnam dan Kamboja.
          Tipe Kelima, terdapat pada beberapa negara saja yang ada di Afrika dan Asia yang juga memiliki peradaban kuno dan kerajaan tradisional dengan sejarah yang panjang pula. Di sini, suku bangsa yang berkuasa adalah suku bangsa kerajaan, sedangkan suku-suku bangsa lainnya tergolong sebagai suku minoritas. Hanya saja, berbeda dengan suku bangsa tipe keempat, negara-negara yang tergolong ke dalam tipe kelima ini tidak pernah dijajah oleh suatu negara Eropa Barat, kecuali mungkin oleh pendudukan militer yang tidak banyak membekas pada masyarakatnya. Sistem kerajaan tradisional di sini digulingkan oleh gerakan revolusi, seperti yang terjadi di Etiopia, Iran, Afganistan, dan Cina, atau seperti yang terjadi di Muangthai.           Tipe Keenam, terdapat di negara-negara yang mula-mula terbentuk oleh sistem kolonial. Penduduk yang dominan adalah para migrant yang dibawa kaum penjajah dari daerah-daerah Afrika atau Asia untuk dijadikan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan atau di pertambangan-pertambangan. Pada akhir jaman kolonial, keadulatan jatuh ke tangan para penduduk migrant tadi. Kebudayaan nasional dari negara yang baru ini adalah kebudayaan dari para penguasa yang datang ke daerah itu sebagai migran. Suku-suku bangsa pribumi di dalam negara-negara tersebut adalah penduduk yang kebudayaannya masih terkebelakang dan merupakan minoritas yang tidak berani. Contohnya Guyana, Jamaika, Barbados, Trinidat dan Suriname di Amerika Latin, serta Singapura di Asia Tenggara.
          Tipe Ketujuh, adalah terdapat di negara-negara dengan batas-batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme. Suku-suku bangsa yang tinggal dalam negara seperti itu oleh pengalaman yang sama, yaitu pernah dijajah oleh salah satu bangsa dari Eropa Barat. Semua suku bangsa merasa dirinya mempunyai kedudukan yang sama sebagai suatu negara yang baru merdeka dan sedang berkembang, hal-hal yang terkait dengan pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideology nasional, dan kebudayaan nasional merupakan bagian yang penting di dalam pembangunan nasionalnya. Contohnya Nigeria, Zaire, Kamerun, Kenya, dan Uganda yang berada di Afrika, sedangkan yang berada di Asia adalah Yordania dan Philipina.
          Tipe Kedelapan, seperti halnya tipe ketujuh, negara-negara dengan tipe ini adalah negara-negara dengan batas-batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme. Suku-suku bangsa yang tinggal di dalamnya di satukan oleh pengalaman yang sama yaitu pernah dijajah oleh suatu bangsa dari Eropa Barat. Semua suku bangsa menganggap dirinya sama tinggi kedudukan dan derajatnya sehingga pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideologi nasional, dan kebudayaan nasional merupakan bagian dari upaya pembangunan nasionalnya. Hanya saja, bedanya dengan negara-negara pada tipe ketujuh adalah bahwa ada beberapa suku bangsa di sini yang memiliki peradaban yang sangat tua serta memiliki sejarah kebudayaan yang panjang sehingga ada persamaan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang secara esensial sama dengan kebudayaan-kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang ada. Kadang-kadang bahkan ada suatu bahasa nasional yang dipahami oleh sebagian besar warga dari mayoritas suku bangsa di negara yang bersangkutan. Contoh dari negara-negara ini adalah Tanzania, Aljazair, Syria, Irak, Pakistan, India, Sri Langka, Indonesia. Di Eropa juga ada negara-negara seperti itu, yaitu Czeskoslavakia dan Yugoslavia, dua negara yang sedang berkembang, serta Belgia dan Swiss, dua negara dengan ekonomi yang telah maju. (Lihat tulisan Koentjaraningrat Masyarakat dan Kebudayaan, 1988).
          Demikianlah delapan tipe masyarakat multietnik yang memiliki beberapa karakteristik sebagaimana digambarkan oleh Young tadi. Kita telah mendapat gambaran bahwa Indonesia merupakan salah satu dari dua belas negara yang memiliki karakter yang digolongkan pada tipe kedelapan. Negara-negara dengan tipe ini dengan batas-batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme. Suku-suku bangsa yang memiliki pengalaman yang sama bahwa pernah dijajah oleh bangsa Eropa Barat. Setiap suku bangsa merasa memiliki kedudukan dan derajat yang sama pula sehingga pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideologi nasional, dan kebudayaan nasional merupakan bagian dari upaya pembangunan nasionalnya. Hanya saja, bedanya dengan negara-negara pada tipe ketujuh adalah bahwa ada beberapa suku bangsa di sini yang memiliki peradaban yang sangat tua serta memiliki sejarah kebudayaan yang panjang sehingga ada persamaan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang secara esensial sama dengan kebudayaan-kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang ada. Kadang-kadang bahkan ada suatu bahasa nasional yang dipahami oleh sebagian besar warga.
          Kemajemukan atau pluralisme juga dapat dicirikan pada dua bentuk sudut pkitang yaitu secara horizontal dan secara vertikal (Boedhi Oetoyo, 2013; Mutakin Pasya, 2003; Rajab,1996). Masyarakat secara horizontal dilihat dari kenyataan yang menunjukkan adanya satuan-satuan sosial yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi, serta unsur-unsur Kedaerahan lainnya.
          Perbedaan secara horizontal ini diartikan sebagai perbedaan yang tidak diukur berdasarkan kualitas dari unsur-unsur yang membentuk keragaman tersebut. Contohnya, perbedaan bahasa daerah tidak diartikan bahwa bahasa daerah dari suatu suku bangsa A, misalnya, itu lebih baik dan lebih hebat dari bahasa daerah suku bangsa B. Atau tradisi suku bangsa Z itu lebih buruk dan tidak bernilai dibanding tradisi suku bangsa X. Bukan itu yang dimaksudkan.
          Sedangkan dilihat dari sudut pkitang vertikal bahwa pemahaman kemajemukan itu dipkitang atas dasar perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal, yaitu bahwa perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas dan bobotnya. Misalnya perbedaan dalam aspek ekonomi akan ditkitai dengan adanya kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi, menegah, dan kelompok-kelompok dengan ekonomi lemah. Kemudian juga ada kelompok masyarakat dengan pendidikan yang tinggi, menengah, rendah, dan kelompok buta huruf.  Lalu ada kelompok masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, ada daerah-daerah dengan sumber daya alam yang meliimpah tetapi ada juga daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Ada daerah-daerah yang memiliki sumber daya manusia yang besar dan berkualitas, tetapi juga yang tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Beberapa daerah telah memiliki sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi yang sangat maju, tetapi ada juga daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas tersebut dan sangat tertinggal kemajuan sosial ekonominya. Pluralisme agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat mestinya kita pahami sebagai kekayaan yang sangat berharga.[βểld@]

0 komentar:

Posting Komentar