UPAYA PENINJAUAN kembali
peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pemikiran jernih,
dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban
politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan
pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat dilakukan, maka
akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu : Pengelolaan pendidikan Islam yang
selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen
Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut.
Pertama,
situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio
politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan
politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para
tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan
Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan
sejarah, maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Sekarang Pancasila
sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common
platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai
politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak
memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai
representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai
satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi.
Kedua,
dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh
Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir[1]
merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi
sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern
mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci
keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengelolaan
pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini.
Ketiga, secara
teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari
tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair
“Al-’ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak
akan berkembang kecuali ada kebebasan).”
Kehidupan modern mengenal
adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan
pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan
sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus
terlepas dari tekanan institusi lain.
Keempat,
wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian
luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua
bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri
karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya.
Kelima, dalam
menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan
masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag
sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan
yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat
dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh
Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan
kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag
tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas.
Keenam, kalau kita sepakat perlunya
mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam
pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik,
sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan
[1]
DR Ahmadi dalam pidato
pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang. Ahmadi membuat
perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun 1993-1994 tentang
Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham sekuler, masalah
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas
dijembatani dengan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan Duplet Ordo
dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang komit dengan agamanya. Jika Belanda
mampu melaksanakan Pendidikan Agama di perguruan tinggi dengan pendekatan
religius, Indonesia dengan Pancasilanya sudah pasti lebih mampu. Ahmadi menolak
dikotomi lembaga pendidikan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar