SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

Menggagas Pendidikan Non-Dikotomik

Senin, 04 Agustus 2014 |



 

UPAYA PENINJAUAN kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pemikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu : Pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut.
          Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah, maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi.
          Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir[1] merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengelolaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini.
          Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair

Al-’ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak akan berkembang kecuali ada kebebasan).”
Kehidupan modern mengenal adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain.
          Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya.
          Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas.
          Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan


[1] DR Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Ahmadi membuat perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun 1993-1994 tentang Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham sekuler, masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas dijembatani dengan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan Duplet Ordo dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang komit dengan agamanya. Jika Belanda mampu melaksanakan Pendidikan Agama di perguruan tinggi dengan pendekatan religius, Indonesia dengan Pancasilanya sudah pasti lebih mampu. Ahmadi menolak dikotomi lembaga pendidikan Islam.

0 komentar:

Posting Komentar