3
Belajar
Cara Berbeda
(Di
Tengah Fenomenologi Pluralisme)
PLURALISME merupakan realitas yang harus kita pahami dan tidak bisa
kita pungkiri telah terjadi pada masyarakat Indonesia yang multietnik.
Pluralisme sendiri acap diartikan sebagai bentuk keberagaman atau
keanekaragaman. Dalam konteks apapun pluralisme sering digunakan untuk
menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan keragaman itu sendiri. Apakah
itu dalam konteks agama maupun budaya. Secara konsep, pluralisme menuntun kita
bagaimana mengelola perbedaan secara positif. Serta mengarahkan kita untuk
menghindari ketegangan yang dapat menimbulkan konflik yang terkait dengan
golongan, kelompok, atau paham yang berbeda.
Pluralisme
adalah perbedaan yang bersifat dinamis bukan statis. Perbedaan yang dapat
membawa perubahan dalam kehidupan sosial dalam tatanan masyarakat yang dinamis.
Kehidupan masyarakat yang berbeda sekaligus dinamis namun menjadi perekat bagi
elemen-elemennya. Siapapun yang telah hidup mereka layak untuk terus hidup walaupun
berbeda. Mereka layak bahagia meskipun berbeda bahasa, agama, strata sosial,
ras, warna kulit, suku bangsa, dan budaya.
Pluralisme
atau kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari dua sudut pkitang yaitu
secara horizontal dan secara vertikal. Masyarakat secara horizontal dilihat
dari kenyataan yang menunjukkan adanya satuan-satuan sosial yang keragamannya
dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi, serta
unsur-unsur kedaerahan lainnya. Sedangkan mengelompokkan vertikal umumnya digambarkan dengan adanya
stratifikasi sosial, ekonomi, dan politik. (Boedhi Oetomo, 2013:1.24).
Keberagaman agama, budaya, ras,
bahasa, dan adat istiadat merupakan investasi yang sangat berharga bagi
persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Menonjolkan ke-bhinneka-an bersamaan dengan ke-eka-annya.
Menghindari perbedaan yang berpotensi menonjolkan persaingan antar kelompok
atau golongan. Pemerintah dan negara dituntut hadir dalam memainkan perannya
dalam memfasilitasi, mengakomodasi kepentingan elemen-elemen masyarakat yang
berbeda-beda tersebut. Memainkan perannya sebagai mediator dengan pendekatan
persuasif. Menanamkan nilai-nilai kerukunan dalam kebersamaan.
Pluralisme
masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Nasikum (1984), Pertama, karena kondisi
geografis Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan luas 3 juta mil
persegi merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya atas terciptanya
pluralitas suku bangsa di Indonesia. Awalnya, ini terjadi ketika nenek moyang bangsa
Indonesia itu datang dari daerah Tiongkok Selatan kira-kira 2000 tahun sebelum
Masehi, kondisi geografis itu telah memaksa mereka untuk tinggal di daerah yang
terpisah-pisah dan terisolasi satu sama lain.
Isolasi geografis inilah menyebabkan
orang-orang itu menempati setiap pulau dari kepulauan Nusantara yang kemudian
tumbuh menjadi kesatuan suku-suku bangsa tersendiri. Sebagai suatu suku bangsa,
mereka memiliki budaya dan bahasa sendiri. Mereka juga mengembangkan sistem
kepercayaan sendiri dengan mitos di dalamnya.
Kedua,
adalah
faktor letak geografis Indonesia di antara Samudra Indonesia dan Samudra
Pasifik yang menyebabkan terciptanya pluralitas agama. Atas hal ini pengaruh
berbagai kebudayaan asing dengan mudahnya masuk ke Indonesia melalui para
pedagang atau perantau asing. Lihat saja pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha
dari India yang masuk kira-kira abad ke-4 Masehi, dan akhirnya berbaur dengan
kebudayaan asli Indonesia. Kemudian masuk pengaruh kebudayaan Islam pada abad
ke-13 dan mencapai hegemoninya pada
abad ke-15. Di daerah-daerah dimana pengaruh Hindu dan Budha tidak begitu kuat
pengaruh Hinduisme dan Budhisme, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi
sinkritisme antara Islam, Hindu, dan Budha, termasuk dengan kepercayaan asli
yaitu animism-dinamisme.
Masuknya kebudayaan Barat ditandai
dengan masuknya orang Purtugis ke Indonesia karena kebutuhan akan rempah-rempah
dari Indonesia. Kegiatan misionaris Katolik juga ikut menyertai mereka. Ketika
Belanda berhasil mendesak orang Portugis maka pengaruh agama Kristen masuk juga
ke Indonesia, meskipun pengaruh Kristen Protestan itu hanya pada daerah-daerah
yang tidak begitu kuat dipengaruhi oleh agama-agama Katolik, Islam, Hindu dan
Budha. Inilah yang menyebabkan adanya pluralitas agama di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Ketiga,
dalam kaitan ini Nasikum (1984) menjelaskan bahwa Islam modernis terdapat di
daerah-daerah yang dianggap strategis dalam jalur perdaganggan internasional,
terutama di daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Golongan
Kristen (Katolik dan Protestan) berada di daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Utara, Tapanuli, serta sedikit daerah Kalimantan Tengah, dimana
golongan minoritas Kristen tersebar hampir disetiap daerah perkotaan di Pulau
Jawa. Sedangkan Hiindu Bali (Hindu Dharma) terdapat di Pulau Bali.
Keempat,
perbedaan iklim dan struktur tanah juga menurut Nasikun (1984), sangat
berpengaruh terhadap terciptanya pluralitas regional Indonesia. Perbedaan curah
hujan dan kesuburan tanah sangat mempengaruhi terciptanya lingkungan ekologis
yang berbeda di Indonesia dimana di Jawa dan di Bali banyak persawahan (wet rice cultivation), sedangkan ladang
(shifting cultivation) terdapat di
luar Pulau Jawa. Perbedaan lingkungan ekologis itu pula yang mempengaruhi
terjadinya perbedaan dalam sector kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya
antara Jawa dan Luar Jawa.
Dihubungkan dengan sikap primordialistik dan realitas majemuk
masyarakat Indonesia yang melekat pada masyarakat daerah dan kebudayaan
berbagai suku bangsa, hal ini mengundang pertanyaan mengenai bagaimana bangsa
Indonesia dapat mengantisipasi dampak dari berbagai proses transformasi agar
tidak menjadi ancaman terhadap ketahanan berbangsa dan bernegara, dalam hal ini
ancaman terhadap ketahanan nasional? Bagaimana Indonesia belajar berbeda? [βểld@]
0 komentar:
Posting Komentar