SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

Belajar Cara Berbeda (Di Tengah Fenomenologi Pluralisme)

Senin, 25 Agustus 2014 |



3

Belajar Cara Berbeda
(Di Tengah Fenomenologi  Pluralisme)











PLURALISME merupakan realitas yang harus kita pahami dan tidak bisa kita pungkiri telah terjadi pada masyarakat Indonesia yang multietnik. Pluralisme sendiri acap diartikan sebagai bentuk keberagaman atau keanekaragaman. Dalam konteks apapun pluralisme sering digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan keragaman itu sendiri. Apakah itu dalam konteks agama maupun budaya. Secara konsep, pluralisme menuntun kita bagaimana mengelola perbedaan secara positif. Serta mengarahkan kita untuk menghindari ketegangan yang dapat menimbulkan konflik yang terkait dengan golongan, kelompok, atau paham yang berbeda.
          Pluralisme adalah perbedaan yang bersifat dinamis bukan statis. Perbedaan yang dapat membawa perubahan dalam kehidupan sosial dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Kehidupan masyarakat yang berbeda sekaligus dinamis namun menjadi perekat bagi elemen-elemennya. Siapapun yang telah hidup mereka layak untuk terus hidup walaupun berbeda. Mereka layak bahagia meskipun berbeda bahasa, agama, strata sosial, ras, warna kulit, suku bangsa, dan budaya.
          Pluralisme atau kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari dua sudut pkitang yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Masyarakat secara horizontal dilihat dari kenyataan yang menunjukkan adanya satuan-satuan sosial yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi, serta unsur-unsur kedaerahan lainnya. Sedangkan mengelompokkan  vertikal umumnya digambarkan dengan adanya stratifikasi sosial, ekonomi, dan politik. (Boedhi Oetomo, 2013:1.24).
          Keberagaman agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat merupakan investasi yang sangat berharga bagi persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Menonjolkan ke-bhinneka-an bersamaan dengan ke-eka-annya. Menghindari perbedaan yang berpotensi menonjolkan persaingan antar kelompok atau golongan. Pemerintah dan negara dituntut hadir dalam memainkan perannya dalam memfasilitasi, mengakomodasi kepentingan elemen-elemen masyarakat yang berbeda-beda tersebut. Memainkan perannya sebagai mediator dengan pendekatan persuasif. Menanamkan nilai-nilai kerukunan dalam kebersamaan.
          Pluralisme masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Nasikum (1984), Pertama, karena kondisi geografis Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan luas 3 juta mil persegi merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya atas terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Awalnya, ini terjadi ketika nenek moyang bangsa Indonesia itu datang dari daerah Tiongkok Selatan kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, kondisi geografis itu telah memaksa mereka untuk tinggal di daerah yang terpisah-pisah dan terisolasi satu sama lain.
          Isolasi geografis inilah menyebabkan orang-orang itu menempati setiap pulau dari kepulauan Nusantara yang kemudian tumbuh menjadi kesatuan suku-suku bangsa tersendiri. Sebagai suatu suku bangsa, mereka memiliki budaya dan bahasa sendiri. Mereka juga mengembangkan sistem kepercayaan sendiri dengan mitos di dalamnya.
          Kedua, adalah faktor letak geografis Indonesia di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik yang menyebabkan terciptanya pluralitas agama. Atas hal ini pengaruh berbagai kebudayaan asing dengan mudahnya masuk ke Indonesia melalui para pedagang atau perantau asing. Lihat saja pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India yang masuk kira-kira abad ke-4 Masehi, dan akhirnya berbaur dengan kebudayaan asli Indonesia. Kemudian masuk pengaruh kebudayaan Islam pada abad ke-13 dan mencapai hegemoninya pada abad ke-15. Di daerah-daerah dimana pengaruh Hindu dan Budha tidak begitu kuat pengaruh Hinduisme dan Budhisme, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi sinkritisme antara Islam, Hindu, dan Budha, termasuk dengan kepercayaan asli yaitu animism-dinamisme.
          Masuknya kebudayaan Barat ditandai dengan masuknya orang Purtugis ke Indonesia karena kebutuhan akan rempah-rempah dari Indonesia. Kegiatan misionaris Katolik juga ikut menyertai mereka. Ketika Belanda berhasil mendesak orang Portugis maka pengaruh agama Kristen masuk juga ke Indonesia, meskipun pengaruh Kristen Protestan itu hanya pada daerah-daerah yang tidak begitu kuat dipengaruhi oleh agama-agama Katolik, Islam, Hindu dan Budha. Inilah yang menyebabkan adanya pluralitas agama di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
          Ketiga, dalam kaitan ini Nasikum (1984) menjelaskan bahwa Islam modernis terdapat di daerah-daerah yang dianggap strategis dalam jalur perdaganggan internasional, terutama di daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Golongan Kristen (Katolik dan Protestan) berada di daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, serta sedikit daerah Kalimantan Tengah, dimana golongan minoritas Kristen tersebar hampir disetiap daerah perkotaan di Pulau Jawa. Sedangkan Hiindu Bali (Hindu Dharma) terdapat di Pulau Bali.
          Keempat, perbedaan iklim dan struktur tanah juga menurut Nasikun (1984), sangat berpengaruh terhadap terciptanya pluralitas regional Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah sangat mempengaruhi terciptanya lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia dimana di Jawa dan di Bali banyak persawahan (wet rice cultivation), sedangkan ladang (shifting cultivation) terdapat di luar Pulau Jawa. Perbedaan lingkungan ekologis itu pula yang mempengaruhi terjadinya perbedaan dalam sector kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya antara Jawa dan Luar Jawa.
          Dihubungkan dengan sikap primordialistik dan realitas majemuk masyarakat Indonesia yang melekat pada masyarakat daerah dan kebudayaan berbagai suku bangsa, hal ini mengundang pertanyaan mengenai bagaimana bangsa Indonesia dapat mengantisipasi dampak dari berbagai proses transformasi agar tidak menjadi ancaman terhadap ketahanan berbangsa dan bernegara, dalam hal ini ancaman terhadap ketahanan nasional? Bagaimana Indonesia belajar berbeda? [βểld@]

0 komentar:

Posting Komentar