SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

4. Belajar Berbeda dan Karakter Bangsa

Senin, 25 Agustus 2014 |




Longo di Solo dan Kundi Pedalaman Kalimantan




SAAT naskah ini aku selesaikan sambil memimpin rapat sekolah melakukan identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, kami kedatangan sebuah paket istimewa yang diantar Pak Pos. Paket tersebut dikirim oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya[1]. Paket tersebut terdiri satu Booklet, berisi tentang petunjuk penggunaan dan synopsis film serta uraian nilai-nilai yang dapat kita petik untuk diterapkan  dalam kehidupan. Dan sepuluh Paket SD yang masing-masing terdiri 3 buah DVD yang berisi film pendek bermuatan nilai-nilai karakter bangsa. Juga satu DVD berisi kompilasi documenter warisan budaya Indonesia yang sudah diakui dunia.
          Film pendek “Lungo,” mengisahkan seorang anak SD bernama Lungo yang hidup bersama ayahnya di Solo, Jawa Tengah. Sang ibu diceritakan meninggalkan ayahnya untuk merantau ke Jakarta. Lungo punya keinginan yang kuat untuk menjemput ibunya di Jakarta, oleh karena itu dia bekerja keras dan mengumpulkan uang demi menjemput ibunya. Nilai-nilai kerja keras, tekun mengejar cita-cita dan pantang menyerah. Mengingatkan aku dengan bukuku berjudul Kundi(Bocah Kundilan si Tarzan Penjual Patikala). Cerita tentang perjalanan hidup seorang bocah yang hidup dan tumbuh bersama seorang nenek disebuah hutan pedalaman Kalimantan Selatan. Ibu Kundi yang ditinggalkan ayahnya kawin lagi ketika ia berusia 2 tahun. Pada usia 4 tahun Kundi pun ditinggalkan ibunya merantau ke Kalimantan Timur. Ia dititipkan kepada neneknya yang tinggal di Hutan Kundilan.
          Bersama neneknya Kundi belajar hidup dan memahami lingkungan hutan. Sesekali ia keluar melihat kehidupan lain. Adakalanya ia heran mengapa anak seusianya berpakaian sedangkan ia hanya telanjang. Bahkan yang lebih besar darinya berpakaian sama dan beriringan menuju suatu tempat.
          Ia berlari kembali masuk hutan menemui neneknya di gubuk, dan menanyakan hal itu.
          “Mereka anak-anak sekolah Cucuku sayang,” jelas Nenek Kundi
          “Apa itu cekulah Nek?” tanya Kundi heran
          “Se ko lah... itu tempat belajar Cucuku pintar?” Neneknya menjelaskan perlahan.
          “Tempat be la jai, apa itu be la jai Nek?”  Kundi masih penasaran.
          “Belajar itu mencari ilmu supaya pintar,” Jawab Nenek.
          “Oh... supaya mereka menjadi Kundi ya Nek?” Kundi mengangguk-anggukkan kepalanya.
          “Mengapa begitu Kundi?” kini giliran Neneknya yang heran.
          “Bukankah Kundi sudah pintar, Nek?” jawab Kundi tegas.
          “Betul-betul cucuku pintar, kamu memang cucu nenek yang paling pintar.” Nenek Kundi meraih cucunya. Ia peluk cucu semata dengan erat dan penuh kasih sayang. Matanya basah begitu pula hatinya. Memandang Kundi, ia teringat dengan almarhum suaminya yang meninggal dalam usia muda. Ia juga teringat dengan anaknya yang dirantau. Ia hanya berharap kepada Yang Kuasa agar ia, anak dan cucunya tetap dalam lindungan. Ia mohon disehatkan badan dan dipanjangkan umur. Agar dapat menghantar Kundi hingga dewasa. Sebentar lagi Kundi harus bersekolah.
          Setahun kemudian Kundi sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi untuk sekolah. Ia ingin seperti mereka. Memakai pakaian yang sama, dengan gagah menuju sekolah. Belajar bersama supaya lebih pintar. Keluar hutan masuk sekolah. Ini tradisi baru yang mesti dijalani Kundi. Biasanya ia dan nenek keluar hutan masuk pasar untuk menjual hasil hutan, hasil kebun berupa umbi-umbian yang dinamakan “patikala” dan pucuk-pucukan. Hari ini nenek membawanya lebih banyak. Kundi juga semangat walau bebannya cukup berat. Ia sudah tahu bahwa hasil penjualannya akan dibelikan pakaian seragam sekolah.
          “Coba ke sini cu...!” pinta nenek sambil mempas kan pakaian pada punggung Kundi.
          “Ya nek...” Kundi seperti menahan nafas. Ia khawatir jika bergerak dan bernafas akan mempengaruhi ukuran baju. Ia begitu tegang walaupun hatinya senang. Seperti apa nanti kalau baju itu sudah melekat ditubuhnya. Sejenak pikirannya melayang, membayangkan betapa gagahnya ia nanti. Walaupun ini baju seragama bekas, tetapi bagi Kundi adalah barang mewah. Pkitangan Kundi tak pernah lepas pada pakaian itu, walaupun nenek masih melakukan tawar menawar. Kundi berdoa semoga uang nenek cukup untuk membelinya. Ia yakin itu pasti mahal, karena selama ini setiap ke pasar menjual “patikala” hanya cukup untuk membeli beras dan rempah-rempah dapur.
           Demikian sepenggal cerita tentang “Kundi” perjuangan hidupnya bersama nenek di pedalaman hutan Kalimantan Selatan. Seorang yang selalu ceria menjalani hidupnya ditengah keterbatasan. Uang jajan sekolah ia peroleh dengan menjual mangga kasturi (mangga kecil khas Kalimantan).


[1] Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gedung E lantai X Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270

0 komentar:

Posting Komentar