Longo di Solo dan Kundi Pedalaman Kalimantan
SAAT naskah ini aku selesaikan sambil
memimpin rapat sekolah melakukan identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, kami
kedatangan sebuah paket istimewa yang diantar Pak Pos. Paket tersebut dikirim
oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya[1].
Paket tersebut terdiri satu Booklet,
berisi tentang petunjuk penggunaan dan synopsis film serta uraian nilai-nilai
yang dapat kita petik untuk diterapkan dalam
kehidupan. Dan sepuluh Paket SD yang masing-masing terdiri 3 buah DVD yang
berisi film pendek bermuatan nilai-nilai karakter bangsa. Juga satu DVD berisi
kompilasi documenter warisan budaya Indonesia yang sudah diakui dunia.
Film pendek “Lungo,” mengisahkan seorang
anak SD bernama Lungo yang hidup bersama ayahnya di Solo, Jawa Tengah. Sang ibu
diceritakan meninggalkan ayahnya untuk merantau ke Jakarta. Lungo punya
keinginan yang kuat untuk menjemput ibunya di Jakarta, oleh karena itu dia
bekerja keras dan mengumpulkan uang demi menjemput ibunya. Nilai-nilai kerja
keras, tekun mengejar cita-cita dan pantang menyerah. Mengingatkan aku dengan
bukuku berjudul “Kundi”
(Bocah Kundilan si Tarzan Penjual
Patikala).” Cerita tentang perjalanan hidup
seorang bocah yang hidup dan tumbuh bersama seorang nenek disebuah hutan pedalaman
Kalimantan Selatan. Ibu Kundi yang ditinggalkan ayahnya kawin lagi ketika ia berusia
2 tahun. Pada usia 4 tahun Kundi pun ditinggalkan ibunya merantau ke Kalimantan
Timur. Ia dititipkan kepada neneknya yang tinggal di Hutan Kundilan.
Bersama neneknya Kundi belajar hidup
dan memahami lingkungan hutan. Sesekali ia keluar melihat kehidupan lain.
Adakalanya ia heran mengapa anak seusianya berpakaian sedangkan ia hanya
telanjang. Bahkan yang lebih besar darinya berpakaian sama dan beriringan
menuju suatu tempat.
Ia berlari kembali masuk hutan menemui
neneknya di gubuk, dan menanyakan hal itu.
“Mereka anak-anak sekolah Cucuku
sayang,” jelas Nenek Kundi
“Apa itu cekulah Nek?” tanya Kundi
heran
“Se ko lah... itu tempat belajar
Cucuku pintar?” Neneknya menjelaskan perlahan.
“Tempat be la jai, apa itu be la jai
Nek?” Kundi masih penasaran.
“Belajar itu mencari ilmu supaya
pintar,” Jawab Nenek.
“Oh... supaya mereka menjadi Kundi ya
Nek?” Kundi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mengapa begitu Kundi?” kini giliran
Neneknya yang heran.
“Bukankah Kundi sudah pintar, Nek?”
jawab Kundi tegas.
“Betul-betul cucuku pintar, kamu memang
cucu nenek yang paling pintar.” Nenek Kundi meraih cucunya. Ia peluk cucu
semata dengan erat dan penuh kasih sayang. Matanya basah begitu pula hatinya. Memandang
Kundi, ia teringat dengan almarhum suaminya yang meninggal dalam usia muda. Ia juga
teringat dengan anaknya yang dirantau. Ia hanya berharap kepada Yang Kuasa agar
ia, anak dan cucunya tetap dalam lindungan. Ia mohon disehatkan badan dan
dipanjangkan umur. Agar dapat menghantar Kundi hingga dewasa. Sebentar lagi
Kundi harus bersekolah.
Setahun kemudian Kundi sudah tidak
bisa ditahan-tahan lagi untuk sekolah. Ia ingin seperti mereka. Memakai pakaian
yang sama, dengan gagah menuju sekolah. Belajar bersama supaya lebih pintar. Keluar
hutan masuk sekolah. Ini tradisi baru yang mesti dijalani Kundi. Biasanya ia
dan nenek keluar hutan masuk pasar untuk menjual hasil hutan, hasil kebun
berupa umbi-umbian yang dinamakan “patikala” dan pucuk-pucukan. Hari ini nenek
membawanya lebih banyak. Kundi juga semangat walau bebannya cukup berat. Ia
sudah tahu bahwa hasil penjualannya akan dibelikan pakaian seragam sekolah.
“Coba ke sini cu...!” pinta nenek
sambil mempas kan pakaian pada punggung Kundi.
“Ya nek...” Kundi seperti menahan
nafas. Ia khawatir jika bergerak dan bernafas akan mempengaruhi ukuran baju. Ia
begitu tegang walaupun hatinya senang. Seperti apa nanti kalau baju itu sudah
melekat ditubuhnya. Sejenak pikirannya melayang, membayangkan betapa gagahnya
ia nanti. Walaupun ini baju seragama bekas, tetapi bagi Kundi adalah barang
mewah. Pkitangan Kundi tak pernah lepas pada pakaian itu, walaupun nenek masih
melakukan tawar menawar. Kundi berdoa semoga uang nenek cukup untuk membelinya.
Ia yakin itu pasti mahal, karena selama ini setiap ke pasar menjual “patikala” hanya cukup untuk membeli
beras dan rempah-rempah dapur.
Demikian sepenggal cerita tentang “Kundi” perjuangan hidupnya bersama nenek di
pedalaman hutan Kalimantan Selatan. Seorang yang selalu ceria menjalani
hidupnya ditengah keterbatasan. Uang jajan sekolah ia peroleh dengan menjual mangga kasturi (mangga kecil khas
Kalimantan).
[1] Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Gedung E lantai X Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
0 komentar:
Posting Komentar