SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

8.Sekilas Tentang PTAI

Sabtu, 06 September 2014 |



8
Sekilas Tentang PTAI



Realitas Historis
Realitas historis, aspirasi umat islam pada umumnya dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2) untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; dan (3) untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya (Azra, 1999).
     Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecenderungan-kecenderungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa literatur membahas beragam kecenderungan tersebut antara lain menyangkut:
     Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarahkan pada pendekatan non-mazhabi, sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. Adanya perkuliahan perbandingan Mazhab, Masail al-Fiqh, Pemikiran dalam Islam (Ilmu Kalam, Filsafat Islam, dan Tasawuf), dan Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, merupaka upaya pengembangan wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu untuk dikaitkan dengan problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman, dan sekaligus sebagai upaya melakukan pemudaran sektarianisme tersebut. Karena itu, jika di suatu Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) masih tumbuh dan berkembang sektarianisme, maka perkembangan studi keislaman dianggap belum berhasil untuk memudarkannya.
     Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif  ke arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Upaya ini diwujudkan antara lain dalam bentuk perpaduan antara empirik dan sumber wahyu untuk saling mengontrol, dalam arti wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kredibel  dan bermanfaat, dan dalam waktu yang sama hasil empirik akan mengontrol proses memahami wahyu. PPs IAIN Walisongo Semarang mengembangkan jargon: “humanisasi ilmu-ilmu sekuler yang empiris”.
     Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas. Dalam konteks yang ketiga ini, jika mencermati tujuan pengembangan PTAI yang pertama tersebut, maka pemahaman tentang ilmu-ilmu agama Islam tidak terlepas dari suasana historis yang mengitari the founding fathers-nya, yaitu mereka yang masih berhadapan dengan problem dikotomi ilmu pengetahuan, sehingga damarkasi ilmu hanya dilihat dari sumbernya, apakah ia bersumber dari wahyu (naqli) atau rasional manusia (aqli), yang pada gilirannya masing-masing berkembang sendiri-sendiri tanpa da kaitan secara terpadu.
     Perkembangan yang pesat di bidang ipteks agaknya menimbulkan kesenjangan antara iman dan intelek atau antara ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan yang bersumber dari upaya manusia, yang pada gilirannya menimbulkan pecahnya kepribadian manusia melalui berbagai sikap yang berlawanan dan bahkan konflik-konflik yang tajam. Fenomena semacam itu juga menjadi perbincangan dalam Konperensi Dunia Kedua mengenai pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islam abad pada tahun 1980. Konperensi ini antara lain memberikan rekomendasi agar ilmu pengetahuan rasional diajarkan dari sudut pandang Islami.
     Pemahama akan tujuan yang pertama tersebut berimplikasi pada tujuan kedua dan ketiga tersebut. Tujuan kedua adalah untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Makna dakwah Islam bukan lagi tereduksi menjadi dakwah dalam arti mengomunikasikan al-‘ulum al-naqliyah (perenial knowledge) saja, yang mencakup: studi al-Qur’an, studi sunnah (hadits),  sirah nabawiyah, tauhid, ushul fiqh dan fiqh, bahasa arab al-Qur’an, serta bidang-bidang studi tambahan yang meliputi: metafisika Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan Islam. Tetapi juga bagaimana al-‘ulum al-naqliyah (perenial knowledge) memberi spirit dan landasan, serta ancangan bagi pengembangan al-ulum al—‘aqliyah (acquired knowledge), yang mencakup: (1) Arts (ilmu-ilmu imajinatif), seperti: kesenian dan arsitektur Islam, bahasa-bahasa, kesusasteraan; (2) ilmu-ilmu intelektual, yang meliputi ilmu-ilmu sosial (teoritis), filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; (3) ilmu-ilmu kealaman, yang meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika, statiska, fisika, kimia, biologi, astronomi, ilmu-ilmu angkasa luar dan sebagainya; (4) ilmu-ilmu terapan, yang meliputi teknik dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan; (5) ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, ilmu-ilmu administrasi, ilmu-ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi dan sebagainya (Bilgrami & Asyraf, 1980).
     Sedangkan tujuan ketiga adalah untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman tentang ulama bukan lagi terbatas pada mereka yang hanya menguasai al-‘ulum al-naqliyah (perenial knowledge), tetapi juga mereka yang menguasai al-‘ulum al-‘aqliyah (acquired knowledge), serta menjadikan al-‘ulum al-naqliyah (perenial knowledge) sebagai landasan, spirit serta ancangan bagi dan mewarnai pengembangan al-‘ulum al-‘aqliyah (acquired knowledge) tersebut.
     Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka studi keislaman akan mengalami pemekaran makna, yaitu: Pertama, studi Islam sebagai sumber ajaran yang merupakan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al-Quran dan al-sunnah atau al-Hadits. Dalam bidang yang pertama ini, studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (al-Quran) dan al-hadits beserta seperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya, seperti ‘ulum al-Quran, ‘ulum al-hadits dan lain-lainnya.
     Kedua, studi Islam sebagai bagian dari pemikiran atau bagian dari fiqh dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, yaitu: Akidah-teologi (‘ilm al-kalam), hukum dalam arti luas (syariah), filsafat (hikmah/’irfan/falsafah), akhlak-sufisme (tashawwuf), dan ilmu pengetahuan-teknologi seni (‘ulum al-dunyawiyah), yang mencakup bidang-bidang yang cukup luas mulai dari IPA dan matematika hingga arsitektur dan astronomi.       Ketiga, studi Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan.  Dengan bersumber pada al-Quran dan al-sunnah, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad menyinari dunia, sebagaimana tercemin dalam jurusan tarbiyah dan dakwah.
     Kajian yang dikembangkan pada Perguruan Tinggi Agama Islam akhir-akhir ini tidak sekedar menekankan pada pengembangan ilmu pengetahuan ajaran Islam dalam pengertian al-‘ulum al-naqliyah atau ilmu-ilmu tanziliyah (bersumber wahyu), tetapi sekaligus menyangkut kajian al-‘ulum al-‘aqliyah atau ilmu-ilmu kauniyah (bersumber alam semesta ciptaan Tuhan) yang bersifat empiris. Pengembangan al-‘ulum al-naqliyah atau tanziliyah semata telah mendapat kritik, yaitu bahwa paradigm yang mendasarinya dianggap kurang relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pengembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi satu sektor tertentu dalam kehidupan Islam di Indonesia, yaitu memenuhi kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi mengenai agama Islam. Dengan demikian lebih mengabadikan faham dualisme atau dikotomi, dan melahirkan over specialization, bahkan terjadi isolasi akademik (Tilaar, 1998).
     Disamping itu, dengan paradigmanya tersebut dipandang tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, padahal lulusan PTAI yang diharapkan adalah mereka yang menguasai ipteks dan sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama (Islam).
     Karena itu, lulusan PTAI adalah sosok manusia yang diharapkan mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam arti, agar lulusan Perguaruan Tinggi Agama Islam mampu berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas. Dengan demikian, mereka tidak hanya dapat mengucapkan masya Allah ketika terkagum dengan temuan ipteks, atau mengucapkan astaghfirullah ketika temuan iptek membuat malapetaka.
     Di sisi lain, bangsa Indonesia sejak semula mengenal dan hidup dalam pluralisme. Masyarakat Indonesia yang pluralistik, baik dalam agama, ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya, adalah sangat rentan terhadap timbulnya perpecahan dan konflik-konflik sosial. Bahkan dalam agama Islam sendiri betapa pun akan berhadapan dengan keragaman internal (internal diversity). Karena itu, agama dalam kehidupan masyarakat majemuk dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integratif), dan dapat pula berperan sebagai faktor pemecah (disintegratif). Namun demikian, bangsa Indonesia sejak semula sudah bertekad untuk ber-Bhineka Tunggal Ika.

Pengembangan Kurikulum Pada  PTAI
Bertolak dari pemikiran tentang pengembangan PTAI tersebut, para ahli menyatakan bahwa kurikulum atau program pendidikan yang dikembangkan pada PTAI tersebut perlu bertolak dari beberapa pandangan dasar sebagai berikut:
1.    PTAI sebagai perguruan tinggi Islam mengemban misi sebagai lembaga pengembangan keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman yang bersifat rasional, dinamis, analisis kritis, empiris dan antisifatif, sekaligus sebagai lembaga keagamaan yang berusaha membangun sikap dan perilaku beragama yang loyal, memiliki komitmen (pemihakan) terhadap Islam, serta penuh dedikasi terhadap agama yang diyakini kebenarannya, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimiliki, dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama yang dinamis.
2.    PTAI sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan akademik, vokasional dan/ atau profesional, mengemban misi untuk menyiapkan calon-calon lulusan yang mampu mengintegrasikan “kepribadian ulama” dengan “intelektualitas-akademik dan/atau vokasional /profesionalitasnya“ dan mengintegrasikan “vokasional/ profesionalitas dan atau intelektualitas-akademik” dengan “kepribadian ulama” sesuai dengan bidang keahlian atau konsentrasi studi yang ditekuni, yang diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global.
3.    PTAI sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional berupaya menyiapkan calon lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional; dan
4.    PTAI juga merupakan lembaga dakwah yang mengemban misi pembinaan dan pengembangan masyarakat Islam dalam berbagai sektor kehidupan menuju kehidupan yang damai dan aman.
Keempat pandangan dasar tersebut akan berimplikasi pada orientasi pengembangan kurikulum yang menekankan pada: (1) upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang dilandasi oleh keilmuan yang kokoh; (2) upaya pemberian basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas dari Perguruan Tinggi Agama Islam, sekaligus sebagai landasan dan pendasaran bagi pengembangan bidang-bidang studi yang dikembangkan pada jurusan/program-program studi yang ada; (3) upaya penyaluran bakat, minat dan kemampuan akademik/vokasional dan/atau profesional dalam pengembangan bidang/konsentrasi studi yang bermanfaat bagi users, pembangunan masyarakat & studi lanjut; (4) upaya pencegahan timbulnya pengaruh negatif dari perkembangan iptek dan seni serta pengaruh negatif dari globalisasi baik di bidang budaya, etika maupun moral; (5) upaya pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa yang memiliki kemampuan dan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global; dan (6) upaya mewujudkan pendidikan sepanjang hayat (life long education).

Standar Kompetensi Lulusan PTAI
Menurut Kepmendiknas 045/U/2002, bahwa kompetensi yang diharapkan dari lulusan sarjana S1 meliputi:
1.    Kompetensi utama, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh lulusan dari bidang studi tersebut yang kemudian disebut kurikulum inti.
2.    Kompetensi pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menunjang core competencies yang diharapkan.
3.    Kompetensi lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengkapi kedua kompetensi di atas.
Sedangkan core competencies untuk PTAI dirumuskan sebagai berikut:
1.    Kompetensi dasar, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh lulusan PTAI dari berbagai program studi apa pun atau disebut kurikulum inti PTAI.
2.    Kompetensi utama, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh lulusan program studi tertentu atau disebut kurikulum inti program tadi.
3.    Kompetensi pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menunjang  core competencies  yang diharapkan.
4.    Kompetensi lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengkapi ketiga kompetensi di atas.
Kompetensi-kompetensi tersebut diperlukan untuk: (1) memberikan basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai cirri khas dari perguruan tinggi agama Islam, sekaligus sebagai landasan dan pendasaran bagi pengembangan bidang-bidang studi yang dikembangkan pada jurusan/program-program studi yang ada; (2) memberikan kemampuan adaptasi terhadap ketidak pastian lapangan kerja, sifat pekerjaan, dan perkembangan masyarakat yang semakin tidak menentu; (3) mengantisipasi pekerjaan dengan persyaratan kompetensi yang sifatnya kompetitif dan tidak mengenal batas-batas fisik wilayah, Negara dan pemerintahan; (4) memfasilitasi proses pendidikan sepanjang hayat, dalam bentuk proses belajar menemukan method of inquiry seseorang.
Secara umum, kompetensi yang sangat dibutuhkan dalam percaturan pasar global yang harus ditekankan oleh PTAI karena menyangkut seluruh lulusan adalah:
1.    Kompetensi berbahasa Arab.
2.    Kompetensi dasar keislaman .
3.    Kompetensi berbahasa Inggris.
4.    Kompetensi menggunakan komputer.
5.    Kompetensi berkaitan dengan sikap kerja: keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, disiplin, kejujuran,ketelitian, tanggungjawab, kematangan emosi, inovatif, profesional.
6.    Kompetensi untuk bekerja sama dengan orang lain.
7.    Kompetensi mengekspresikan diri.
     Berdasarkan hasil-hasil dari berbagai pertemuan tentang kurikulum inti PTAI dan Program Studi sebagaimana uraian terdahulu, telah dirumuskan kompetensi dasar pada setiap program studi. Kompetensi dasar inilah yang dijadikan sebagai landasan pijak dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran pada setiap program studi.

Kompetensi Dasar Lulusan PTAI
Jenjang Strata-1
     Profil lulusan PTAI diharapkan untuk tidak sampai: (1) bersikap fanatisme buta; (2) bersikap intoleran; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Dalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan tertinggi/termulia (Q.S. al-Tin: 5, dan al-Isra’: 70), serta diciptakan dalam kesucian asal (fitrah), sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Di sisi lain, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai yang dlaif (Q.S. al-Nisa’: 28), sehingga setiap manusia mempunyai potensi salah.    Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada sikap dan perilaku lulusan PTAI yang berhak menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai pendapat serta pandangan orang lain, tidak berfaham kemutlakan (absolutisme), serta tidak mengembangkan sistem kultus individu, fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada Allah semata.
     Kehadiran lulusan PTAI juga diharapkan mampu menjadi pelopor dalam penciptaan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yang memiliki kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan pribadi mengandung makna seseorang muslim yang baik, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya sekaligus meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan kesalehan sosial mengandung makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosialnya dan sekaligus mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan taqwa terhadap Allah SWT.
     Di samping itu, menurut analisis para ahli bahwa ada beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa depan, yaitu: (1) kemajuan iptek dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia; (2) perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemampuan iptek; (3) kerja sama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan berusaha dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas Negara; dan (4) meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi (Tilaar, 2000).
     Berbagai kekuatan global tersebut menggaris bawahi perlunya lulusan PTAI untuk menjadi manusia yang unggul dalam imtaq dan ipteks, produktif dan kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bersama dan kesadaran bersama dalam alam demokratis. Sehubungan dengan masalah tersebut, dalam Islam terdapat pandangan yang universal, bahwa: (1) Tuhan akan mengangkat derajat (yang tinggi) terhadap orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (Q.S. al-Mujadalah: 11); (2) Islam adalah agama yang mengajarkan “orientasi kerja” (achievement orientation) (Q.S. al-Kahfi: 110), sebagaimana juga dinyatakan dalam ungkapan bahwa “penghargaan dalam Jahiliyah berdasarkan keturunan, sedangkan penghargaan dalam Islam berdasarkan amal”; (3) tinggi atau rendahnya derajat taqwa seseorang juga ditentukan oleh prestasi kerja atau kualitas amal saleh sebagai aktualisasi dari potensi imannya (Q.S. al-Hujurat: 13); (4) manusia harus dihormati sebagai manusia apa pun warna kulitnya, dari mana pun asalnya, apa pun agama yang diyakininya, sampai-sampai malaikat pun menghormatinya (Q.S. al-Baqarah: 34); (5) manusia diberi hak asasinya, yaitu: hak untuk hidup (Q.S. al-An’am: 151), hak persamaan derajat (Q.S. al-Hujurat: 13), hak memperoleh keadilan (Q.S. al-Maidah: 288), hak perlindungan harta milik (Q.S. al-Baqarah: 188), hak kebebasan beragama (Q.S. al-Baqarah: 256).
     Berkaitan dengan hal tersebut, maka disusunlah perangkat Kurikulum dan Hasil belajar Lulusan PTAI sebagai berikut:
Tujuan PTAI    : Menghasilkan sarjana Muslim yang memiliki kemampuan (kompetensi) akademik dan professional dalam bidang ilmu agama Islam serta mampu menerapkannya di masyarakat.
Kompetensi Lulusan   :
1.    Memiliki pengetahuan tentang Islam secara komprehensif;
2.    General Knowledge;
3.    Beriman, takwa dan akhlak mulia;
4.    Berkepribadian Indonesia;
5.    Sikap ilmiah;
6.    Profesional;
7.    Kewirausahaan;
8.    Memiliki keterampilan berbahasa Indonesia;
9.    Memiliki keterampilan berbahasa Arab dan Inggris;
10. Memiliki keterampilan dalam berpikir;
11. Memiliki keterampilan dalam mengolah informasi;
12. Memiliki keterampilan dalam mengelola sumber daya;
13. Memiliki keterampilan dalam bekerja sama dengan orang lain;
14. Memiliki keterampilan dalam memanfaatkan teknologi.

Indikator Kompetensi :
1.    Memahami ajaran Islam yang normatif dan empiris: akidah, syariah, akhlak, serta sejarah dan peradaban Islam;
2.    Memahami pokok-pokok Ilmu Pengetahuan Sosial, IPA, dan humaniora;
3.    Menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya; Berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam; Memiliki rasa tanggungjawab, harga diri, integritas, mampu bersosialisasi, saling menghormati;
4.    Beragama, memiliki rasa kebangsaan, kebhinekaan, demokratis,rasa solidaritas sosial;
5.    Cinta ilmu pengetahuan, cinta kebenaran, rasional, kritis, objektif, menghargai pendapat orang lain;
6.    Mampu melaksanakan pekerjaan secara efektif dan efisien serta memiliki komitmen terhadap mutu hasil pekerjaan;
7.    Inovatif, ulet, kreatif, pantang menyerah, adaptif, responsif, mandiri, mempunyai keinginan untuk maju, berani menanggung resiko;
8.    Mampu menyajikan isi pikiran secara lisan dengan sistematis dan mudah dipahami;
9.    Mampu menulis karya ilmiah dengan sistematis dan menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan baku;
10.          Mampu memahami isi buku teks berbahasa Arab/Inggris tanpa banyak kesulitan;
11.          Berpikir ilmiah: mampu memecahkan masalah melalui pendekatan ilmiah;
12.          Mengambil keputusan: mampu memilih salah satu dari berbagai alternatif;
13.          Berpikir kreatif: mampu menemukan alternatif baru dalam memecahkan masalah;
14.          Mampu mencari, mengolah, dan menyajikan informasi secara sistematis, kritis, dan objektif;
15.          Mampu mengelola waktu, manusia, uang dan barang;
16.          Mampu bekerja dalam tim, memimpin, dan bergaul dengan masyarakat;
17.          Mampu memilih mengoperasikan dan memelihara perangkat teknologi.

     KHB tersebut bersifat tentatif, artinya masing-masing PTAI dapat menambah dan mengurangi, asal relevan dengan visi dan misi PTAI serta kondisi kontekstual kekinian. KHB PTAI ini sekaligus juga sebagai tolak ukur keberhasilan dan kegagalan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di PTAI, di samping tolak ukur lainnya.

Ukuran Keberhasilan PTAI
     Berdasarkan visi dan misi PTAI, menurut hemat kami, tujuan pendidikan tinggi agama Islam adalah:
1.    Menyiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional di bidang ilmu agama Islam yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan atau ,memperkaya khasanah ilmu agama Islam dan teknologi dan atau kebudayaan Islam.
2.    Mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu agama Islam, teknologi yang bernafaskan Islam dan atau kebudayaan Islam untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi agama Islam adalah untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat serta untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan budaya Islam guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional.
Berdasarkan tujuan pendidikan tinggi agama Islam tersebut, maka keberhasilan pendidikan tinggi agama Islam diukur berdasarkan tercapainya kedua tujuan tersebut, di samping diukur berdasarkan KHB di atas. Apakah pendidikan tinggi agama Islam telah mampu menghasilkan ahli-ahli agama yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat ? Apakah pendidikan tinggi agama Islam telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu, teknologi, seni, dan kebudayaan Islam? Ahli-ahli agama dapat diukur dengan tingkat penguasaan dasar-dasar keagamaan dan bahsa Arab yang diwujudkan dengan kesediaan dalam melakukan da’wah Islamiyah. Sedang sumbangan yang berarti dapat diukur dengan karya yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat luas. 

0 komentar:

Posting Komentar