8
Sekilas Tentang PTAI
Realitas
Historis
Realitas
historis, aspirasi umat islam pada umumnya dalam pengembangan Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk
melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat
yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2) untuk melaksanakan
pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; dan (3) untuk melakukan reproduksi
dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi
negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan
dan sebagainya (Azra, 1999).
Pada perkembangan selanjutnya terdapat
kecenderungan-kecenderungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan
yang berkembang di masyarakat. Beberapa literatur membahas beragam kecenderungan
tersebut antara lain menyangkut:
Pertama, tuntutan akan studi keislaman
yang mengarahkan pada pendekatan non-mazhabi, sehingga menghasilkan pemudaran
sektarianisme. Adanya perkuliahan perbandingan Mazhab, Masail al-Fiqh,
Pemikiran dalam Islam (Ilmu Kalam, Filsafat Islam, dan Tasawuf), dan
Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, merupaka upaya pengembangan
wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu untuk dikaitkan
dengan problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman, dan sekaligus
sebagai upaya melakukan pemudaran sektarianisme tersebut. Karena itu, jika di
suatu Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) masih tumbuh dan berkembang
sektarianisme, maka perkembangan studi keislaman dianggap belum berhasil untuk
memudarkannya.
Kedua, menyangkut pergeseran dari studi
keislaman yang bersifat normatif ke arah
yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Upaya ini diwujudkan antara lain
dalam bentuk perpaduan antara empirik dan sumber wahyu untuk saling mengontrol,
dalam arti wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat, dan dalam waktu yang sama
hasil empirik akan mengontrol proses memahami wahyu. PPs IAIN Walisongo
Semarang mengembangkan jargon: “humanisasi ilmu-ilmu sekuler yang empiris”.
Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan
yang lebih luas. Dalam konteks yang ketiga ini, jika mencermati tujuan
pengembangan PTAI yang pertama tersebut, maka pemahaman tentang ilmu-ilmu agama
Islam tidak terlepas dari suasana historis yang mengitari the founding
fathers-nya, yaitu mereka yang masih berhadapan dengan problem dikotomi
ilmu pengetahuan, sehingga damarkasi ilmu hanya dilihat dari sumbernya, apakah
ia bersumber dari wahyu (naqli) atau rasional manusia (aqli),
yang pada gilirannya masing-masing berkembang sendiri-sendiri tanpa da kaitan
secara terpadu.
Perkembangan yang pesat di bidang ipteks
agaknya menimbulkan kesenjangan antara iman dan intelek atau antara ilmu
pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan yang bersumber dari upaya manusia,
yang pada gilirannya menimbulkan pecahnya kepribadian manusia melalui berbagai
sikap yang berlawanan dan bahkan konflik-konflik yang tajam. Fenomena semacam
itu juga menjadi perbincangan dalam Konperensi Dunia Kedua mengenai pendidikan
Islam yang diselenggarakan di Islam abad pada tahun 1980. Konperensi ini antara
lain memberikan rekomendasi agar ilmu pengetahuan rasional diajarkan dari sudut
pandang Islami.
Pemahama akan tujuan yang pertama tersebut
berimplikasi pada tujuan kedua dan ketiga tersebut. Tujuan kedua adalah untuk
melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Makna dakwah Islam
bukan lagi tereduksi menjadi dakwah dalam arti mengomunikasikan al-‘ulum
al-naqliyah (perenial knowledge) saja, yang mencakup: studi al-Qur’an,
studi sunnah (hadits), sirah
nabawiyah, tauhid, ushul fiqh dan fiqh, bahasa arab al-Qur’an, serta
bidang-bidang studi tambahan yang meliputi: metafisika Islam, perbandingan
agama, dan kebudayaan Islam. Tetapi juga bagaimana al-‘ulum al-naqliyah
(perenial knowledge) memberi spirit dan landasan, serta ancangan bagi
pengembangan al-ulum al—‘aqliyah (acquired knowledge), yang mencakup:
(1) Arts (ilmu-ilmu imajinatif), seperti: kesenian dan arsitektur Islam,
bahasa-bahasa, kesusasteraan; (2) ilmu-ilmu intelektual, yang meliputi
ilmu-ilmu sosial (teoritis), filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah,
peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; (3)
ilmu-ilmu kealaman, yang meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika,
statiska, fisika, kimia, biologi, astronomi, ilmu-ilmu angkasa luar dan
sebagainya; (4) ilmu-ilmu terapan, yang meliputi teknik dan teknologi,
kedokteran, pertanian dan kehutanan; (5) ilmu-ilmu praktis, meliputi:
perdagangan, ilmu-ilmu administrasi, ilmu-ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu
kerumahtanggaan, ilmu komunikasi dan sebagainya (Bilgrami & Asyraf, 1980).
Sedangkan tujuan ketiga adalah untuk
melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman tentang ulama bukan lagi
terbatas pada mereka yang hanya menguasai al-‘ulum al-naqliyah (perenial
knowledge), tetapi juga mereka yang menguasai al-‘ulum al-‘aqliyah
(acquired knowledge), serta menjadikan al-‘ulum al-naqliyah (perenial
knowledge) sebagai landasan, spirit serta ancangan bagi dan mewarnai
pengembangan al-‘ulum al-‘aqliyah (acquired knowledge) tersebut.
Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka
studi keislaman akan mengalami pemekaran makna, yaitu: Pertama, studi
Islam sebagai sumber ajaran yang merupakan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam
al-Quran dan al-sunnah atau al-Hadits. Dalam bidang yang pertama ini, studi
Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata kuliah
sumber ajaran (al-Quran) dan al-hadits beserta seperangkat ilmu yang terkait
langsung dengannya, seperti ‘ulum al-Quran, ‘ulum al-hadits dan
lain-lainnya.
Kedua, studi Islam sebagai bagian
dari pemikiran atau bagian dari fiqh dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran
Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, yaitu:
Akidah-teologi (‘ilm al-kalam), hukum dalam arti luas (syariah),
filsafat (hikmah/’irfan/falsafah), akhlak-sufisme (tashawwuf), dan ilmu
pengetahuan-teknologi seni (‘ulum al-dunyawiyah), yang mencakup
bidang-bidang yang cukup luas mulai dari IPA dan matematika hingga arsitektur
dan astronomi. Ketiga, studi
Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan dan diterapkan dalam
kehidupan. Dengan bersumber pada
al-Quran dan al-sunnah, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran,
ajaran Islam kemudian diamalkan dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk
peradaban Islam yang telah berabad-abad menyinari dunia, sebagaimana tercemin
dalam jurusan tarbiyah dan dakwah.
Kajian yang dikembangkan pada Perguruan
Tinggi Agama Islam akhir-akhir ini tidak sekedar menekankan pada pengembangan ilmu
pengetahuan ajaran Islam dalam pengertian al-‘ulum al-naqliyah atau
ilmu-ilmu tanziliyah (bersumber wahyu), tetapi sekaligus menyangkut
kajian al-‘ulum al-‘aqliyah atau ilmu-ilmu kauniyah (bersumber
alam semesta ciptaan Tuhan) yang bersifat empiris. Pengembangan al-‘ulum
al-naqliyah atau tanziliyah semata telah mendapat kritik, yaitu
bahwa paradigm yang mendasarinya dianggap kurang relevan lagi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pengembangunan nasional, karena
bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi satu sektor tertentu dalam kehidupan
Islam di Indonesia, yaitu memenuhi kebutuhan akan sarjana-sarjana yang
mendapatkan pengetahuan tinggi mengenai agama Islam. Dengan demikian lebih
mengabadikan faham dualisme atau dikotomi, dan melahirkan over
specialization, bahkan terjadi isolasi akademik (Tilaar, 1998).
Disamping itu, dengan paradigmanya tersebut
dipandang tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang kompetitif
dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi,
padahal lulusan PTAI yang diharapkan adalah mereka yang menguasai ipteks dan
sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama (Islam).
Karena itu, lulusan PTAI adalah sosok
manusia yang diharapkan mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh
bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam
arti, agar lulusan Perguaruan Tinggi Agama Islam mampu berkiprah dalam forum
manapun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas. Dengan
demikian, mereka tidak hanya dapat mengucapkan masya Allah ketika terkagum
dengan temuan ipteks, atau mengucapkan astaghfirullah ketika temuan
iptek membuat malapetaka.
Di sisi lain, bangsa Indonesia sejak semula
mengenal dan hidup dalam pluralisme. Masyarakat Indonesia yang pluralistik,
baik dalam agama, ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya, adalah sangat
rentan terhadap timbulnya perpecahan dan konflik-konflik sosial. Bahkan dalam
agama Islam sendiri betapa pun akan berhadapan dengan keragaman internal (internal
diversity). Karena itu, agama dalam kehidupan masyarakat majemuk dapat
berperan sebagai faktor pemersatu (integratif),
dan dapat pula berperan sebagai faktor pemecah (disintegratif). Namun demikian, bangsa Indonesia sejak semula sudah
bertekad untuk ber-Bhineka Tunggal Ika.
Pengembangan
Kurikulum Pada PTAI
Bertolak dari
pemikiran tentang pengembangan PTAI tersebut, para ahli menyatakan bahwa kurikulum
atau program pendidikan yang dikembangkan pada PTAI tersebut perlu bertolak
dari beberapa pandangan dasar sebagai berikut:
1.
PTAI
sebagai perguruan tinggi Islam mengemban misi sebagai lembaga pengembangan
keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman yang bersifat rasional, dinamis,
analisis kritis, empiris dan antisifatif, sekaligus sebagai lembaga keagamaan
yang berusaha membangun sikap dan perilaku beragama yang loyal, memiliki
komitmen (pemihakan) terhadap Islam, serta penuh dedikasi terhadap agama yang
diyakini kebenarannya, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimiliki,
dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama yang dinamis.
2.
PTAI
sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan akademik,
vokasional dan/ atau profesional, mengemban misi untuk menyiapkan calon-calon
lulusan yang mampu mengintegrasikan “kepribadian ulama” dengan
“intelektualitas-akademik dan/atau vokasional /profesionalitasnya“ dan
mengintegrasikan “vokasional/ profesionalitas dan atau
intelektualitas-akademik” dengan “kepribadian ulama” sesuai dengan bidang
keahlian atau konsentrasi studi yang ditekuni, yang diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang
semakin global.
3.
PTAI
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional berupaya menyiapkan
calon lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar
mutu nasional dan internasional; dan
4.
PTAI
juga merupakan lembaga dakwah yang mengemban misi pembinaan dan pengembangan
masyarakat Islam dalam berbagai sektor kehidupan menuju kehidupan yang damai
dan aman.
Keempat pandangan dasar tersebut akan berimplikasi
pada orientasi pengembangan kurikulum yang menekankan pada: (1) upaya
peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang dilandasi
oleh keilmuan yang kokoh; (2) upaya pemberian basic competencies
ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas dari Perguruan Tinggi Agama Islam,
sekaligus sebagai landasan dan pendasaran bagi pengembangan bidang-bidang studi
yang dikembangkan pada jurusan/program-program studi yang ada; (3) upaya
penyaluran bakat, minat dan kemampuan akademik/vokasional dan/atau profesional
dalam pengembangan bidang/konsentrasi studi yang bermanfaat bagi users,
pembangunan masyarakat & studi lanjut; (4) upaya pencegahan timbulnya
pengaruh negatif dari perkembangan iptek dan seni serta pengaruh negatif dari
globalisasi baik di bidang budaya, etika maupun moral; (5) upaya pengembangan
sumber daya manusia dan sumber daya bangsa yang memiliki kemampuan dan
keunggulan kompetitif dan komparatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global; dan (6) upaya mewujudkan
pendidikan sepanjang hayat (life long education).
Standar Kompetensi
Lulusan PTAI
Menurut
Kepmendiknas 045/U/2002, bahwa kompetensi yang diharapkan dari lulusan sarjana
S1 meliputi:
1.
Kompetensi
utama, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh
lulusan dari bidang studi tersebut yang kemudian disebut kurikulum inti.
2.
Kompetensi
pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk
menunjang core competencies yang diharapkan.
3.
Kompetensi
lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengkapi kedua kompetensi di
atas.
Sedangkan core
competencies untuk PTAI dirumuskan sebagai berikut:
1.
Kompetensi
dasar, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh
lulusan PTAI dari berbagai program studi apa pun atau disebut kurikulum inti
PTAI.
2.
Kompetensi
utama, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh
lulusan program studi tertentu atau disebut kurikulum inti program tadi.
3.
Kompetensi
pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk
menunjang core competencies yang diharapkan.
4.
Kompetensi
lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengkapi ketiga kompetensi
di atas.
Kompetensi-kompetensi
tersebut diperlukan untuk: (1) memberikan basic competencies ilmu-ilmu
keislaman sebagai cirri khas dari perguruan tinggi agama Islam, sekaligus
sebagai landasan dan pendasaran bagi pengembangan bidang-bidang studi yang
dikembangkan pada jurusan/program-program studi yang ada; (2) memberikan
kemampuan adaptasi terhadap ketidak pastian lapangan kerja, sifat pekerjaan,
dan perkembangan masyarakat yang semakin tidak menentu; (3) mengantisipasi
pekerjaan dengan persyaratan kompetensi yang sifatnya kompetitif dan tidak
mengenal batas-batas fisik wilayah, Negara dan pemerintahan; (4) memfasilitasi
proses pendidikan sepanjang hayat, dalam bentuk proses belajar menemukan method
of inquiry seseorang.
Secara
umum, kompetensi yang sangat dibutuhkan dalam percaturan pasar global yang
harus ditekankan oleh PTAI karena menyangkut seluruh lulusan adalah:
1.
Kompetensi
berbahasa Arab.
2.
Kompetensi
dasar keislaman .
3.
Kompetensi
berbahasa Inggris.
4.
Kompetensi
menggunakan komputer.
5.
Kompetensi
berkaitan dengan sikap kerja: keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, disiplin, kejujuran,ketelitian, tanggungjawab, kematangan emosi, inovatif,
profesional.
6.
Kompetensi
untuk bekerja sama dengan orang lain.
7.
Kompetensi
mengekspresikan diri.
Berdasarkan hasil-hasil dari berbagai
pertemuan tentang kurikulum inti PTAI dan Program Studi sebagaimana uraian
terdahulu, telah dirumuskan kompetensi dasar pada setiap program studi.
Kompetensi dasar inilah yang dijadikan sebagai landasan pijak dalam pelaksanaan
pendidikan dan pembelajaran pada setiap program studi.
Kompetensi Dasar
Lulusan PTAI
Jenjang Strata-1
Profil lulusan PTAI diharapkan untuk tidak
sampai: (1) bersikap fanatisme buta; (2) bersikap intoleran; dan (3)
memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional.
Dalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu bahwa manusia
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan tertinggi/termulia (Q.S.
al-Tin: 5, dan al-Isra’: 70), serta diciptakan dalam kesucian asal (fitrah),
sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Di sisi lain, manusia juga
diciptakan oleh Allah sebagai yang dlaif (Q.S. al-Nisa’: 28), sehingga setiap
manusia mempunyai potensi salah. Pandangan
semacam ini akan berimplikasi pada sikap dan perilaku lulusan PTAI yang berhak
menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai pendapat serta
pandangan orang lain, tidak berfaham kemutlakan (absolutisme), serta tidak mengembangkan sistem kultus individu,
fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada Allah
semata.
Kehadiran lulusan PTAI juga diharapkan
mampu menjadi pelopor dalam penciptaan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yang
memiliki kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan pribadi
mengandung makna seseorang muslim yang baik, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki,
meningkatkan serta mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya sekaligus
meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan
kesalehan sosial mengandung makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki
kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosialnya dan
sekaligus mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau
memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman
dan taqwa terhadap Allah SWT.
Di samping itu, menurut analisis para ahli
bahwa ada beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa depan,
yaitu: (1) kemajuan iptek dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru
dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia; (2) perdagangan bebas yang
ditunjang oleh kemampuan iptek; (3) kerja sama regional dan internasional yang
telah menyatukan kehidupan berusaha dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas
Negara; dan (4) meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta
kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran
bersama dalam alam demokrasi (Tilaar, 2000).
Berbagai kekuatan global tersebut menggaris
bawahi perlunya lulusan PTAI untuk menjadi manusia yang unggul dalam imtaq dan
ipteks, produktif dan kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bersama dan kesadaran bersama dalam alam
demokratis. Sehubungan dengan masalah tersebut, dalam Islam terdapat pandangan
yang universal, bahwa: (1) Tuhan akan mengangkat derajat (yang tinggi) terhadap
orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (Q.S. al-Mujadalah: 11); (2)
Islam adalah agama yang mengajarkan “orientasi kerja” (achievement
orientation) (Q.S. al-Kahfi: 110), sebagaimana juga dinyatakan dalam
ungkapan bahwa “penghargaan dalam Jahiliyah berdasarkan keturunan, sedangkan
penghargaan dalam Islam berdasarkan amal”; (3) tinggi atau rendahnya derajat
taqwa seseorang juga ditentukan oleh prestasi kerja atau kualitas amal saleh
sebagai aktualisasi dari potensi imannya (Q.S. al-Hujurat: 13); (4) manusia
harus dihormati sebagai manusia apa pun warna kulitnya, dari mana pun asalnya,
apa pun agama yang diyakininya, sampai-sampai malaikat pun menghormatinya (Q.S.
al-Baqarah: 34); (5) manusia diberi hak asasinya, yaitu: hak untuk hidup (Q.S.
al-An’am: 151), hak persamaan derajat (Q.S. al-Hujurat: 13), hak memperoleh
keadilan (Q.S. al-Maidah: 288), hak perlindungan harta milik (Q.S. al-Baqarah:
188), hak kebebasan beragama (Q.S. al-Baqarah: 256).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka
disusunlah perangkat Kurikulum dan Hasil belajar Lulusan PTAI sebagai berikut:
Tujuan PTAI : Menghasilkan sarjana Muslim yang memiliki
kemampuan (kompetensi) akademik dan professional dalam bidang ilmu agama Islam
serta mampu menerapkannya di masyarakat.
Kompetensi Lulusan :
1.
Memiliki
pengetahuan tentang Islam secara komprehensif;
2.
General
Knowledge;
3.
Beriman,
takwa dan akhlak mulia;
4.
Berkepribadian
Indonesia;
5.
Sikap
ilmiah;
6.
Profesional;
7.
Kewirausahaan;
8.
Memiliki
keterampilan berbahasa Indonesia;
9.
Memiliki
keterampilan berbahasa Arab dan Inggris;
10.
Memiliki
keterampilan dalam berpikir;
11.
Memiliki
keterampilan dalam mengolah informasi;
12.
Memiliki
keterampilan dalam mengelola sumber daya;
13.
Memiliki
keterampilan dalam bekerja sama dengan orang lain;
14.
Memiliki
keterampilan dalam memanfaatkan teknologi.
Indikator Kompetensi :
1.
Memahami
ajaran Islam yang normatif dan empiris: akidah, syariah, akhlak, serta sejarah
dan peradaban Islam;
2.
Memahami
pokok-pokok Ilmu Pengetahuan Sosial, IPA, dan humaniora;
3.
Menjalankan
perintah Allah dan menjauhi laranganNya; Berpikir, berbicara, dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam; Memiliki rasa tanggungjawab, harga
diri, integritas, mampu bersosialisasi, saling menghormati;
4.
Beragama,
memiliki rasa kebangsaan, kebhinekaan, demokratis,rasa solidaritas sosial;
5.
Cinta
ilmu pengetahuan, cinta kebenaran, rasional, kritis, objektif, menghargai
pendapat orang lain;
6.
Mampu
melaksanakan pekerjaan secara efektif dan efisien serta memiliki komitmen
terhadap mutu hasil pekerjaan;
7.
Inovatif,
ulet, kreatif, pantang menyerah, adaptif, responsif, mandiri, mempunyai
keinginan untuk maju, berani menanggung resiko;
8.
Mampu
menyajikan isi pikiran secara lisan dengan sistematis dan mudah dipahami;
9.
Mampu
menulis karya ilmiah dengan sistematis dan menggunakan bahasa Indonesia dengan
benar dan baku;
10.
Mampu
memahami isi buku teks berbahasa Arab/Inggris tanpa banyak kesulitan;
11.
Berpikir
ilmiah: mampu memecahkan masalah melalui pendekatan ilmiah;
12.
Mengambil
keputusan: mampu memilih salah satu dari berbagai alternatif;
13.
Berpikir
kreatif: mampu menemukan alternatif baru dalam memecahkan masalah;
14.
Mampu
mencari, mengolah, dan menyajikan informasi secara sistematis, kritis, dan
objektif;
15.
Mampu
mengelola waktu, manusia, uang dan barang;
16.
Mampu
bekerja dalam tim, memimpin, dan bergaul dengan masyarakat;
17.
Mampu
memilih mengoperasikan dan memelihara perangkat teknologi.
KHB tersebut bersifat tentatif, artinya
masing-masing PTAI dapat menambah dan mengurangi, asal relevan dengan visi dan
misi PTAI serta kondisi kontekstual kekinian. KHB PTAI ini sekaligus juga
sebagai tolak ukur keberhasilan dan kegagalan penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran di PTAI, di samping tolak ukur lainnya.
Ukuran
Keberhasilan PTAI
Berdasarkan visi dan misi PTAI, menurut
hemat kami, tujuan pendidikan tinggi agama Islam adalah:
1.
Menyiapkan
mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau
profesional di bidang ilmu agama Islam yang dapat menerapkan, mengembangkan,
dan atau ,memperkaya khasanah ilmu agama Islam dan teknologi dan atau
kebudayaan Islam.
2.
Mengembangkan,
dan menyebarluaskan ilmu agama Islam, teknologi yang bernafaskan Islam dan atau
kebudayaan Islam untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya
kebudayaan nasional.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi agama Islam adalah untuk
menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat
serta untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan budaya Islam guna meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional.
Berdasarkan tujuan pendidikan tinggi agama Islam
tersebut, maka keberhasilan pendidikan tinggi agama Islam diukur berdasarkan
tercapainya kedua tujuan tersebut, di samping diukur berdasarkan KHB di atas.
Apakah pendidikan tinggi agama Islam telah mampu menghasilkan ahli-ahli agama
yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat ? Apakah pendidikan tinggi agama
Islam telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu,
teknologi, seni, dan kebudayaan Islam? Ahli-ahli agama dapat diukur dengan
tingkat penguasaan dasar-dasar keagamaan dan bahsa Arab yang diwujudkan dengan
kesediaan dalam melakukan da’wah Islamiyah. Sedang sumbangan yang berarti dapat
diukur dengan karya yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan
bagi masyarakat luas.
0 komentar:
Posting Komentar