14.
Implementasi Kurikulum
Antikorupsi di Era Galau
Pesan
memberantas KKN melalui Kurikulum telah disampaikan oleh Indonesian Corruption Watch- ICW melalui websitenya[1]
sebagaimana dapat kita kemukakan bahwa, sekolah atau perguruan tinggi sebagai
lembaga pendidikan diyakini sebagai tempat ideal atau terbaik untuk menyebarkan
dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Karena siswa dan mahasiswa yang kelak
akan menjadi tulabng punggung bangsa ini kedepan. Mulai saat ini, sejak dini
telah ditanamkan sikap membenci serta menjauhi praktik korupsi. Lebih dari itu
harapannya adalah turut aktif memusuhi dan memeranginya.
Strategi yang umumnya dilakukan adalah
dengan mengintervensi proses pembelajaran secara tidak tidak langsung melalui
penerapan kurikulum antikorupsi. Saat ini setidaknya ada tiga perguruan tinggi
yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, diantaranya Universitas Islam
Negeri (UIN)-Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata-Semarang; dan IAIN
Arraniry-Banda Aceh.
Terobosan baru melawan praktik korupsi
dengan mengembangkan Kurikulum Antikorupsi, sudah semestinya disambut baik,
akan tetapi jika diimplementasikan secara luas tentunya harus dipertimbangkan
matang-matang. Ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangannya, di
antaranya adalah institusi pendidikan seperti sekolah merupakan lembaga yang
sangat sensitif. Perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh terhadap
banyak hal. Pertama, dari aspek
teknis, yakni berkenaan dengan kejelasan
implementasi kurikulum kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran
baru/ khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi,
seperti Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab, apa pun
pilihannya akan menimbulkan konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks. Apabila
pilihannya mata pelajaran baru , maka akan muncul buku teks baru tentang
antikorupsi. Namun, jika pilihannya mengintegrasikan mata pelajaran yang
dianggap relevan otomatis materi antikorupsi tersebut akan dimasukkan sebagai
muatan baru. Akhirnya kita tentu dapat menyimpulkan bahwa apapun pilihannya,
semuanya tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengadaan buku-buku
tersebut.
Masalahnya tidak berhenti disini, kita
akan menentukan siapa yang menjadi penanggung beban biaya tersebut? Orang tua
murid, malah menambah masalah. Selama ini orang tua sudah direpotkan dengan
pembelian berbagai jenis buku teks yang relatif mahal. Kalaupun ditanggung
pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai
antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Kedua, pada aspek guru. Kurikulum
tidak ada artinya tanpa guru. Sudah keniscayaan, agar kurikulum
antikorupsi dapat diimplementasikan maka, guru harus terlebih dahulu
mengetahui dan memahami tentang mata pelajaran atau materi muatan baru
tentang tentang antikorupsi tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa setidaknya
akan ada pendidikan dan pelatihan. Bercermin pada penerapan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK); Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
Kurikulum 2013 hanya untuk sosialisasi, tidak sedikit menghabiskan biaya dan
waktu.
Ketiga, sebagai catatan selanjutnya adalah berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada
kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi
pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya
pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit.
Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran
pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik
menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai
tersebut. Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan
menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu
mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi
tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan
jasmani atau olahraga.
Keempat, selain itu, proses
pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional:
guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan
ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala
sekolah mesti menjadi model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian.
Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh
subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang
dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata
usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang
penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut
menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah mengajarkan
bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari
kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang
kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi
dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh
murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam
keseharian guru atau kepala sekolah.
Kelima, kurikulum antikorupsi tidak
akan berarti apa-apa, jika institusi
pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih
dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat
dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat
sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga
ketimpangan kekuasaan.
Keenam, berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun
tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika
praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya,
seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui
setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif
menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan
rumah (PR) yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan.
Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi
ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid.
Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari
orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di
institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan
sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah
menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu
semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan
sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi,
karena memang itu khitahnya. Wallahu a’lam.
|
[1]icwweb: Minggu, 17 September 2006 12:28:40; Ade Irawan, manajer divisi monitoring
pelayanan publik, indonesia corruption watch/sekretaris koalisi pendidikan. Tulisan
ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006
0 komentar:
Posting Komentar