SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



29.
Andil Filsafat Pada
Kurikulum PAI


Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Dikalangan para ahli filsafat pendidikan pada umumnya, seperti Broudy (1961) menyatakan bahwa filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistematis tentang masalah-masalah pendidikan pada tingkatan filosofis, yaitu menyelidiki suatu persoalan pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, efistemologi, etika, logika, estetika maupun kombinasi dan semuanya itu.
Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat disederhanakan ke dalam tiga persoalan pokok, yaitu pandangan mengenai realita yang dipelajari oleh metafisika atau ontologi, pandangan mengenai pengatahuan yang di pelajari oleh epistemologi, dan pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk di dalamnya etika dan estetika.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia, manusia dan/atau masyarakat yang bagaimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam. Dibidang epistemologi diperlukan, antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenal dan memahami hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam.          Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan pendidikan Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Saw sendiri diutus hanya untuk memperbaiki dan menyempurnakan kemulian atau kebaikan akhlak (budi pekerti) umat manusia. Karena itu, perumusan tujuan pendidikan Islam yang tanpa memperhatikan prinsip-prinsip budi pekerti (akhlak) adalah hampa. Di samping itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, cultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah estitika yang mempelajari tentang hakikat keindahan, juga sangat dekat dan menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaanNya. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Di samping itu, pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Mendidik adalah seni, sehingga memerlukan cara pengungkapan bahasa, tutur kata dan perilaku yang baik dan indah. Dalam bidang logika, yang meletakkan landasan mengenai ajaran berfikir diperlukan oleh pendidikan kecerdasan. Pendidikan kecerdasan menghendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan tepat, sehingga memerlukan penguasaan logika dengan baik.
Hakikat pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli dapat ditilik dari ketiga persoalan tersebut (ontologi, epistemologi dan aksiologi). Langgulung (1988) misalnya, mendefinisikan pendidikan Islam ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu :
1.      Menganggap pendidikan sebagai pengembangan potensi.
2.      Cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya dan 
3.      Menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan budaya.
          Dari definisi tersebut akan muncul pertanyaan-pertanyaan ontologis sebagai berikut : apa saja potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia ? Dalam Al-quran dan hadits terdapat istilah Fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut ? potensi dan/atau fitrah apa dan mana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan/atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor saja ? Apa hakikat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya ? Apakah termasuk di dalamnya ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan hadits (Islam Ideal) ? Ataukah hanya ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam (Islam sejarah) yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya ?
Pertanyaan-pertanyaan epistemologis menyangkut hal-hal berikut : untuk mengembangkan potensi dan/atau fitrah serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi pendidikan Islam (kurikulum) yang perlu dididikkan? Dengan apa pendidikan Islam (metode) itu dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan dididik dalam pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini ataukah hanya manusia saja dan/atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam? Apakah semua manusia dapat memperoleh pendidikan Islam ataukah hanya manusia Muslim saja ?
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan aksiologis bermuara pada masalah: untuk apa potensi dan/atau fitrah manusia itu dikembangkan dalam pendidikan Islam ? untuk apa pula budaya itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan Islam ? Diarahkan ke mana pengembangan potensi dan/atau fitrah manusia serta pewarisan budaya tersebut ? Apa tujuan pendidikan Islam itu sendiri ?
Uraian tersebut menggambarkan bahwa filsafat pendidikan mengkhususkan masalah-masalah pendidikan sebagai objek kajian yang dilihat dari ketiga persoalan, yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis. Menurut Muklkhan (1993), jika filsafat menempatkan segala yang ada sebagai objek, filsafat pendidikan mengkhususkan pada pendidikan, dan filsafat pendidikan Islam, lebih khusus lagi kepada pendidikan Islam.
Pemahaman tersebut diatas diperkuat oleh pendapat-pendapat para ahli filsafat pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Barnadib (1987) misalnya, menyatakan bahwa : “Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan.”
Yahya Qohar (1983) menyatakan, “Filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan.” Atau menurut Ozmon & Craver (1995) : “Filsafat pendidikan dipandang sebagai aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan.”
Dikalangan para ulama yang memiliki perhatian terhadap filsafat pendidikan Islam, seperti al-Syaibany (1979) menyatakan bahwa : “Falsafah pendidikan tidak lain ialah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan”. Ia juga mengutip pendapat al-Najihi (1967) yang menyatakan bahwa “Falsafah pendidikan, yaitu aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan”. Karena itu, ia menyebut filosof pendidikan sebagai seorang yang menggunakan gaya falsafah dalam bidang pendidikan.
Al-‘Ainain (1980) juga menyatakan bahwa : “Ta’rif falsafah at-tarbiyah biannaha an-nasyat al-fikri al-munazzam al-ladzi yattakhizu al-falsafah wasilat litanzim al-‘amaliyah at-tarbawiyyah watansiqiha wa taudih al-qiyam wa al-ahdaf al-lati tarnu ila tahqiqiha fisabil dabth al-‘amaliyah at-tarbawiyyah”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran yang teratur (sistematis) yang menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan pendidikan, dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan berlangsungnya pelaksanaan pendidikan secara tepat.
Walaupun pendapat-pendapat tersebut diatas memiliki gaya bahasa yang berbeda, tapi saling menjelaskan antara satu dengan lainnya dan berada dalam satu pengertian yang sama, yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan sistem berpikir filsafati yang diaplikasikan dalam memecahkan masalah pendidikan. Sebagai produk dari pemikiran (filsafat) pendidikan ini akan dapat memberikan kerangka orientasi atas pandangan dunia pendidikan.
Di sisi lain Langgulung (1988) mengemukakan bahwa “Filsafat pendidikan Islam adalah sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis yang diambil dari ajaran Islam atau sesuai dengan semangatnya dan mempunyai kepentingan terapan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.”
Pernyataan Langgulung tersebut agaknya dapat dipertemukan dengan pendapat-pendapat sebelumnya, karena untuk membangun sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis tersebut yang kemudian dapat dijadikan sebagai pedoman atau bimbingan dalam bidang pendidikan Islam, diperlukan sistem berpikir filsafat atau kaidah-kaidah falsafah.
Jika dikaitkan dengan pengertian-pengertian pendidikan Islam sebagaimana uraian terdahulu, maka filsafat pendidikan menurut Islam dapat berarti : (1) Filsafat pendidikan menurut Islam atau filsafat pendidikan yang Islami, yakni filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, atau yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-quran dan al-sunnah; (2) Filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam; dan (3) Filsafat pendidikan dalam Islam, atau proses aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan Islam yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah pendidikan Islam.
     Dengan demikian, apa yang membedakan antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan lainnya lebih terletak pangkal tolaknya. Filsafat pendidikan Islam bertolak dari ajaran dan nilai-nilai Islam, atau menurut Ma’arif (1991) berangkat dari cita-cita Al-quran serta perlunya kegiatan pendidikan di bumi yang berorientasi ke langit (orientasi transendental), atau menurut karim (1991) dan Rahardjo (1993) bertolak dari tauhid, menurut Mastuhu (1994) berangkat dari filsafat pendidikan theocentric. Tafsir (1995) juga menyimpulkan bahwa filsafat yang tepat digunakan sebagai landasan dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam ialah :
1.    Filsafat yang mampu mengakomodir pendapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah, dan teori-teori ilmu pendidikan Islam tidak boleh bertentangan dengan wahyu; dan
2.    Filsafat yang mampu mengintegrasikan pengetahuan (termasuk ilmu) dengan wahyu.
  Al-syaibany (1979) bukan mensyaratkan filsafat pendidikan Islam yang hendak dibina pada masyarakat Islam sebagai berikut : (1) Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya ia sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) Ia terkait dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi dan politiknya, begitu juga terkait dengan aspirasi, cita-cita, kebutuhan, dan masalah-masalah manusia didalamnya, sehingga ia tidak berada di awing-awang yang terasing dari realitas kebudayaan dan sosial; (3) Ia bersifat terbuka terhadap segala pengalaman kemanusiaan yang baik; (4) Ia didasarkan atas hasil dan pengalaman yang lama dan atas kajian yang mendalam dan luas terhadap berbagai faktor dan aspek kehidupan, serta terhadap berbagai ilmu, cabang-cabang pengetahuan dan pengalaman kemanuasiaan; (5) Ia harus bersifat universal yang mengambil ukuran berbagai faktor, spiritual, budaya, sosial, ekonomi, politik pendidikan dan psikologikal yang akan mempengaruhi proses dan usaha-usaha pendidikan; (6) Oleh sebab sumber filsafat elektif dan memilih yang sesuai dengan ruh Islam bermacam-macam, ia harus bersifat selektif dan yang memilih yang sesuai dengan ruh Islam; (7) Ia harus bebas dari segala pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasarnya, dan diantara prinsip-prinsip ini serta pelaksanaannya pada bidang pendidikan amali; (8) Ia harus bersifat realistik dan tidak terlalu idealistik; (9) Penentuan terakhir harus berjalan atas dasar kerja sama yang kolektif dan pakar-pakar ikut serta, demikian pula pekerja-pekerja, dan orang-orang yang menaruh minat terhadap pendidikan dan pengajaran; (10) Ia harus bersifat dinamis-fleksibel.
 Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan sistem berfikir filsafati yang diterapkan dalam memecahkan persoalan pendidikan Islam, dan sekaligus sebagai normative atau preskriptif, dalam arti filsafat pendidikan Islam memberikan arah, pedoman dan resep bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang tepat. Karena itu, walaupun pengembangannya bersifat terbuka, realistis, dinamis dan fleksibel, tetapi sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis-premisnya harus sesuai dengan semangat atau ruh ajaran Islam.
Di sisi lain, al-‘Ainain (1980) juga mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai sekelompok teori atau aliran (tipologi) pemikiran dibidang pendidikan. Dalam kajian filsafat pendidikan pada umumnya setidak-tidaknya dikenal adanya empat aliran, yaitu perenialisme, esensialisme, progressivisme dan rekonstruksi sosial. Perenialisme dan esensialisme berpandangan bahwa tugas pendidikan adalah melestarikan warisan nilai dan budaya manusia, termasuk di dalamnya agama. Progressivismme berpandangan bahwa tugas pendidikan adalah mengembangkan subjek didik agar dapat berkembang optimal. Rekonstruksi sosial berpandangan bahwa tugas pendidikan adalah membantu agar anak manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap masyarakatnya. Menurut Brameld, pembagian atas keempat aliran utama tersebut secara garis besar masih mengandung adanya overlapping. Karena itu tidak mungkin membedakan aliran-aliran itu secara dikotomis, kontradiktif atau secara diametral.
Apa yang dikemukakan oleh Brameld tersebut, agaknya dapat dibuktikan ketika para ahli mendefinisikan tentang pendidikan. Langgulung (1988) misalnya, mendefenisikan pendidikan Islam ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu :
1.    Mengganggap pendidikan sebagai pengembangan potensi;
2.    Cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya; dan
3.    Menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan budaya.
Ketiga pendekatan tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Hal yang mungkin adalah salah satunya mendapat penekanan lebih banyak, sedangkan yang lain tidak sebanyak itu. Namun, ia juga memegang peranan dalam aspek-aspek tertentu.
Dilihat dari keempat aliran tersebut diatas, maka secara sepintas pendekatan pertama tersebut “lebih dekat” dengan progressivisme, dalam arti fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi anak didik secara optimal, yang berupa kemampuan, minat, bakat, kecerdasan atau proses kognitif, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi selaras dengan tuntutan zamannya. Pendekatan kedua “lebih dekat” dengan perenialisme/essensialisme,dalam arti fungsi pendidikan adalah untuk mewariskan atau melestarikan nilai dan budaya. Pendekatan ketiga “lebih dekat” dengan rekonstruksi sosial, dalam arti fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi anak didik sehingga menjadi cakap dan kreatif sekaligus mampu bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan, dan membangun serta mengembangkan masyarakatnya. Mana yang lebih mendapat penekanan dalam pendidikan Islam tersebut, agaknya Langgulung belum menjelaskannya.
Al-Attas (1987) perpendapat bahwa pendidikan menurut Islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manusia yang diinginkan oleh pendidikan Islam adalah manusia yang mengenal dirinya (kemampuan, bakat, minat dan sebagainya) dan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud, serta mengadakan pengakuan atau mewujudkan kemampuan, bakat dan minatnya dalam kehidupannya serta menempatkan segala sesuatu dalam tatanan wujud sesuai dengan tempatnya masing-masing, untuk menuju kepada pengenalan dan pengakuan manusia akan Kekuasaan dan Keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud.
Dilihat dari definisi tersebut, maka pandangan al-Attas bergerak antara proggressivisme dan perenialisme/ essensialisme dalam pengembangan pendidikan Islam, karena tugas pendidikan menurutnya adalah mengembangkan potensi anak didik seoptimal mungkin, yakni pengembangan kemampuan, bakat, minat anak didik untuk diwujudkan dalam memecahkan problema kehidupan dan sekaligus pengembangan pemahaman akan kekuasaan dan keagunganNya dalam tatanan wujud.
Demikian pula al-Jamaly (1986), yang mendefinisikan pendidikan sebagai “upaya mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. “Dilihat dari definisi tersebut, pandangan al-Jamaly (1986) agaknya juga bergerak antara proggressivisme dan perenialisme/essensialisme dalam pengembangan pendidikan Islam. 

0 komentar:

Posting Komentar