SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



28.
Implikasi Tipologi Terhadap
Komponen Kurikulum PAI


Bertolak dari karakteristik PAI sebagaimana pembahasan kita sebelumnya, maka terdapat dimensi-dimensi yang bisa dikembangkan dalam perspektif tipologi perenial-esensialis mazhabi, modernis, perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif.          Namun demikian, ada pula dimensi-dimensi yang perlu dikembangkan dalam perspektif tipologi rekonstruksi sosial yang berlandaskan tauhid, terutama dalam membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sosial sekaligus. Melalui implementasi tersebut, maka kekokohan akidah peserta didik, komitmen dan loyalitasnya terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam, serta konsistensi iman, ilmu dan amalnya akan dapat teruji dan lebih fungsional, baik untuk diri dan masyarakat atau bangsanya.        Disamping itu, melalui teori tersebut akan dapat menumbuhkembangkan sikap dan nilai-nilai rasional-kritis, kreatif, mandiri, bebas dan terbuka, rasional-empiris, objektif-empiris, dan komitemen terhadap nilai-nilai amanah dan tanggung jawab individu dan sosial (kemasyarakatan), sikap solidaritas terhadap sesama serta terhadap makhluk lainnya, serta mampu mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Tuhannya.
Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi : tujuan, isi, strategi pembelajaran PAI dan evaluasinya.
Tipologi Perenial-Esensial Salafi
Sebagaimana uraian diatas, bahwa tipologi perenial esensialis salafi lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dengan demikian, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya :
Pertama, membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih; dan
Kedua, menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang.
          Dengan tujuan-tujuan semacam itu, maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali pada hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf. Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), atau baca Al-quran misalnya, dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan amaliah para salaf al-shalih. Adanya penyelewengan dibidang-bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolak ukur mereka. Inilah antara lain yang dimaksud dengan tajdid (pembauran) agama, sebagai “I’adatu ad-din ila ma kana’alaihi ‘ahdu al-salaf al-shalih”, yakni mengembangkan ajaran agama kepada keadaannya semula sebagaimana yang terjadi pada masa salaf al-shalih (zaman Nabi Muhammad, sahabat, dan tabi’in).
Metode-metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostik, tes prestasi belajar terstandarisasi, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang menyikini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli di bidangnya.  
Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
Dilihat dari karakteristiknya, tipologi Perenial-esensialis mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya kepada konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
Tujuan PAI dalam Tipologi
Bertolak dari karakteristik tipologi tersebut, maka tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya :
Pertama, membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interprestasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan (menurut klasifikasi Harun Nasution, 1992); dan
Kedua,menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun-menurun, karena penting diketahui oleh semua orang.
 Dengan tujuan-tujuan semacam itu, maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada masa pasca salaf. Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain) misalnya, dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, dan menyebarkan pemikiran akidah dan ubudiyah hasil karya imam-imam mazhab terdahulu serta mengamalkannya sejalan dengan pandangan mereka, tanpa ada keberanian untuk mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya, kecuali hanya memberikan syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya. Melanggar ajaran dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan pandangan para pendahulunya dianggap sebagai penyelewengan di bidang-bidang tersebut.
Metode – metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolak ukur pandangan imam-imam mazhabnya, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostik, tes prestasi belajar yang terstandarisasi, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli di bidangnya.      

Tipologi Modernis
Berbeda halnya dengan kedua tipologi di atas, maka tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intellegent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Atas dasar itulah, maka tujuan pendidikan Agama Islam diorentasikan pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuha-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
Dengan tujuan semacam itu, maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Dalam pengembangan kurikulum PAI misalnya, Peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengindentifikasi masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba, dan lain-lain. Masalah-masalah yang telah diidentifikasi oleh peserta didik tersebut akan menjadi tema-tema pembelajaran PAI. Tema-tema tersebut bersifat tentatif, sehingga bagi peserta didik di kelas atau sekolah lainnya bisa jadi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
Asumsi yang perlu dipegangi dalam pembelajaran PAI adalah bahwa : Pertama, agama Islam adalah bahasanya seorang actor (pelaku), dalam arti bagaimana peserta didik mampu menjadi pelaku beragama (Islam) yang benar dan baik; Kedua, membina sikap loyalitas dan komitmen (kesetiaan, keterikatan emosional atau keberpihakan) terhadap kebenaran ajaran dan nilai-nilai agamanya; dan Ketiga,membina semangat dedikasi. Hal yang harus diperhatikan adalah pada tampilannya,  bukan bersikap eksklusif yang bersifat apologis yang berlebihan, sehingga sulit diwujudkan sikap toleran. Sebaliknya, justru berusaha membangun mentalitas beragama yang bersifat inklusif, memiliki semangat persatuan dan toleransi antar sesama ditengah-tengah masyarakat yang bersifat plural.
Bertolak dari asumsi tersebut para ahli menyimpulkan bahwa, peserta didik harus dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut, serta memecahkan masalah tersebut secara kreatif dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakatnya.
Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperativ activities atau cooperative learning, metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian dilapangan. Manajeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evalusi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik satu dengan yang lainnya, sehingga perlu dikembangkan kemampuan (kelebihan)-nya tersebut. Di samping itu juga menggunakan on-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilisator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.         
Tipologi Perenial-Esensial
Kontekstual-Falsifikatif
Sebagaimana uraian diatas, bahwa perennial-esensial kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.     Dilihat dari wataknya tersebut, maka tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan untuk :
Pertama, membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; dan 
Kedua, menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulunya yang dianggap mapan dalam ujian sejarah, karena itu penting diketahui oleh semua orang. Di lain pihak, tujuan pendidikan juga untuk memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan social dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah). Singkatnya, tujuan pendidikan menurut tipologi ini adalah melestrarikan nilai-nilai Ilahiyah  dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial kultural yang ada.        Pada tujuan-tujuan semacam itu, pengembangan kurikulum PAI selain ditekankan pada pelestarian doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama yang dipandang mapan sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf dan pasca salaf, juga ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya secara kritis dalam persepektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
Ketika kurikulum PAI yang menyangkut doktrin-doktrin ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain) atau nilai-nilai esensial dalam Islam yang teruji dalam sejarah, seperti tawadlu’, pentingnya jihad fi sabilillah, larangan hasud, dendam dan sebagainya, merupakan ajaran dan nilai-nilai yang harus dilestarikan, dipertahankan, dan disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, untuk diamalkannya dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Adanya penyelewengan di bidang-bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolak ukur mereka.
Namun demikian, dalam hal-hal yang bersifat actual peserta didik juga dilatih untuk menggali problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik yang berbeda konteksnya dengan yang dialami  oleh para pendahulunya. Ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Misalnya, peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasi masalah-masalah pengangguran, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba sebagai dampak dari proses globalisasi budaya dan etika, dan lain-lain. Masalah-masalah yang telah diidentifikasi oleh peserta didik tersebut akan menjadi tema-tema pembelajaran PAI.
Hal-hal yang bersifat doktriner, metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI adalah figur yang memiliki  otoritas tinggi, yang menyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli dibidangnya.
Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat antisipasi terhadap masalah-masalah  negative yang actual dimasyarakat, maka peserta didik dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah-masalah  tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks social dan budaya masyarakatnya. Karena itu, metode-metode pembelajaran yang dikembangkan adalah cooperative activities atau cooperative learning, contextual teaching and learning (CTL), metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah). Manajeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda diantara satu dengan lainnya, sehingga perlu dikembangkan kemampuan (kelebihannya) tersebut. Disamping itu juga menggunakan on-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus-menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.
Dengan demikian, dalam agama Islam terdapat hal-hal yang bersifat doktrin, supra rasional, nilai-nilai esensial dan universal atau root value, dan ada pula hal-hal yang berada dalam wilayah akal serta nilai-nilai yang bersifat instrumental dan local. Dalam hal yang pertama, digunakan model perenial esensial salafi dan perennial esensialis mazhabi, sedangkan dalam hal yang kedua digunakan model modernis.                             
Tipologi Rekonstruksi Sosial
Berlandaskan Tauhid
Model pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial sangat cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit sosial. Sedangkan sekolah    yang bisa menerapkannya adalah mereka yang telah mengembangkan pendekatan andragogis, dan guru PAI yang ada didalamnya berobsesi untuk tidak sekedar berfungsi sebagai ustadz, mu’allim, murabby, mursyid dan mudarris, tetapi juga berfungsi sebagai muaddib, yakni orang yang mampu meyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Karena itu, guru PAI tersebut sekaligus menjadi aktivis sosial atau sebagai da’i di masyarakat, yang melekat pada dirinya aspek-aspek ideas, ketokohan dan keteladanan, serta siap melakukan gerakan sosial amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut tipologi rekonstruksi sosial, bahwa pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkannya melalui da’wah bil-hal, baik yang terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya ataupun lainnya, dan mengajarkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam melakukan islah (perbaikan) dan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga dapat terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peserta didik perlu dibekali kemampuan-kemampuan:
Pertama, mendeteksi masalah-masalah atau isu-isu yang berkembang di masyarakat untuk selanjutnya diangkat menjadi tema-tema proyek atau kaji tindak;
Kedua, melek berpikir kritis (critical literacy);
Ketiga, bagaimana strategi dan teknik berhubungan dengan masyarakat;
Keempat, bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaboratif;
Kelima, menghargai atau toleran terhadap yang lain;
Keenam, cara kerja untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik.   Oleh sebab itulah sekolah/perguruan tinggi digunakan sebagai sarana atau wahana untuk melakukan perubahan sosial, dan sebagian besar waktu kegiatan belajar pendidikan agama Islam lebih diarahkan ke luar kelas, setidak-tidaknya pada satu semester tertentu. Jika waktu belajar pendidikan agama Islam intra-kurikuler disekolah sebanyak 3 jam pelajaran misalnya, maka dalam satu semester bisa digabung menjadi 3 jam x 20 kali tatap muka = 60 jam. Jika dalam sehari membutuhkan waktu belajar selama 4 jam efektif, maka dibutuhkan 15 hari para peserta didik diterjunkan ke masyarakat yang menghadapi masalah sesuai dengan tema atau proyek yang diangkat. Segala persiapan untuk terjun ke masyarakat dapat dilakukan pada kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.
                   Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi pandangan aliran interaksional, kurikulum rekonstruksi social mengharapkan peserta didik dapat berinteraksi, bekerja sama dengan Guru PAI, peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
                   Guru PAI berperan sebagai project director, yang mampu memimpin dan mengarahkan transformasi, serta menjadi agen perubahan, dan bersama dengan peserta didiknya berusaha membentuk masyarakat baru. Agar peranannya menjadi lebih efektif, maka Guru PAI seyogyanya menjadi aktivis sosial atau da’i  yang senantiasa mengajak orang lain tanpa bosan an lelah kepada kebajikan atau petunjuk-petunjuk ilahi, menyuruh masyarakat kepada ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar.
                   Cara pembelajaran PAI dapat menggunakan metode-metode simulasi, bermain peranan (role-playing), internship atau menerjunkan peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek, serta belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen kelasnya diupayakan untuk tidak terlalu terikat pada belajar di dalam kelas an sich, tetapi justru lebih banyak di luar kelas, tidak membedakan jenis kelamin da ras, berusaha menciptakan suasana think-tank, serta membangun masyarakat (community building).
                   Interaksi guru dan peserta didik dalam pembelajaran PAI lebih bersifat dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kaloboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia. Pada tatanan operasionalnya, dapat dikembangkan peace education sebagai model pendidikan. Peace education adalah model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu mengatasi konflik atau masalahnya sendiri dengan cara kreatif dan tidak dengan cara kekerasan. Pelaksanannya dapat berupa belajar kelompok (learning together), sehingga peserta didik terlatih memecahkan persoalan-persoalan bersama, dengan berbagai model transaksi social psikologisnya. Melalui belajar kelompok, peserta didik akan terletih untuk menekan egoismenya dan terlatih untuk menghargai hak-hak orang lain.
          Evaluasi pembelajaran PAI menekankan pada evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih maju dan meningkatkan secara berkelanjutan, serta kemampuannya untuk membangun masyarakat yang lebih baik dengan memerankan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan kemampuan, minat, bakat dan pestasi belajarnya secara terus menerus melalui pemberian umpan balik. Di samping itu, karena PAI berwawasan rekonstruksi social lebih menekankan pada belajar kelompok yang dinamis, kooperatif, maka evaluasi atau penilaiannya juga dilakukan secara kooperatif.

0 komentar:

Posting Komentar