SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

16. SEKIRANYA SEKOLAH

Senin, 08 September 2014 |



16.
SEKIRANYA SEKOLAH
Seluruh konsep pendidikan di sekolah itu
bisa dan harus ideal
(Dede Rosyada, 2004:26)


SEKIRANYA SEKOLAH
“Bagaimana manusia hidup dengan pandangannya, dengan sikapnya, serta dengan keterampilannya bersama manusia lainnya, sekitarnya, alam semesta dan Sang Pencipta?”



SELAMA INI, bukankah kita masih memiliki pandangan bahwa sekolah merupakan tempat bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Belajar dan mempelajari banyak hal. Tentang dirinya, orang tua, teman-teman dan orang lain. Bagaimana mereka memahami diri, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sosial, dan memanfaatkan alam semesta ini. Bagaimana peserta didik belajar melakukan hubungan dengan Sang Pencipta.
Sekolah adalah tempat dimana peserta didik dibentuk karakternya yang menjadi refleksi dari tingkah laku moralitasnya. Bagaimana nilai-nilai moralitas, nilai intelegensi, nilai spiritualnya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan mental dan jasmaninya. Agar manusia dapat memainkan perannya sebagai individu yang unik dan makhluk sosial yang dapat berinteraksi dengan baik dalam perbedaan.
          Sekolah juga dipahami sebagai tempat peserta didik belajar memahami hidupnya, tujuan kehidupannya serta akhir kehidupan di alam bersama manusia yang lain. Bagaimana peserta didik hidup dengan pandangannya, dengan sikapnya, serta dengan keterampilannya bersama manusia lainnya, serta alam semesta ini dan Sang Pencipta.
          Konsepsi sekolah bagi manusia sejatinya bertujuan memanusiakan manusia dalam rangka menemu-kenali potensi diri serta karakteristiknya untuk ditumbuh-kembangkan, dibimbing serta diarahkan, sebagaimana kodratnya manusia.    Manusia yang memiliki jiwa dan raga, akal pikiran, kalbu dan perasaan, serta daya-daya yang lain.
          Konsep sekolah bagi manusia sebagai proses memanusiakan manusia, bukan berarti membiarkan manusia sesuai kehendaknya masing-masing (how to be), dan bekerja atau beraktivitas sesuai keinginanya (how to do), sehingga setiap individu bebas menentukan keinginannya sendiri dan melupakan bagaimana manusia harusnya hidup bersama. Bagaimana manusia menyadari bahwa kehendaknya telah dibatasi oleh kehendak lain, kehendak yang lebih luas, lebih besar dan lebih kuat. Bahwa kehendaknya harus sesuai dengan kehendak yang lebih utama.
          Bagaimana manusia hidup, sebagaimana kehidupan ini diberikan kepadanya. Manusia mestinya hidup sesuai kehendak Yang Menghidupkannya, Sang Pencipta, kehendak yang tidak pernah menzalimi kehendak hamba-Nya. Dan Sang Pencipta telah memberikan ketentuan bahwa di dalam hidup manusia ada pilihan. Pilihan itu diberikan untuk kepentingan manusia itu sendiri, bukan kepentingan Sang Pencipta. Atas pilihan manusia mendapat ganjaran. Pahala bagi yang taat dan dosa bagi yang membangkang.
          Bahagia bagi yang mengabdi dan menderita untuk yang ingkar. Tapi kadang manusia menganggap pilihannya adalah hak azasinya sebagai manusia, apapun itu. Manusia lain harus menghormatinya, bahkan Tuhannya tidak berhak mengaturnya. Atau manusia menganggap apa yang ia lakukan telah merupakan kehendak Tuhan jadi tidak mungkin ada sanksinya. Ada juga manusia menganggap dirinya Tuhan, bahkan menganggap Tuhan tidak ada. Inilah sisi lain manusia. Ia dapat melakukan apa saja. Sesuai dengan keinginan dan cita-citanya. JANGAN SAMPAI TERJADI ...
          Jangan sampai juga terjadi dalam praktik pendidikan disekolah kita seperti pendapat R.Tagore[1] bahwa sekolah adalah penjara. Ups! jangan sampai terjadi. Sekolah jangan sampai membuat anak didik tidak independen sebagai manusia otonom. Sekolah jangan menyempitkan ruang gerak dan berpikir anak didik dalam beraktivitas. Sekolah jangan membatasi setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh anak didik. Yang jelas, aturan sekolah yang begitu kaku jangan sampai membuat anak didik merasa strees.
          Freire[2] mengatakan bahwa sekolah harus menampilkan nilai-nilai progresif terhadap perkembangan dan kemajuan pendidikan. Dengan demikian, seluruh elemen sekolah harus dibangun atas dasar kepentingan anak didik dalam kehidupan. Bahkan, hal penting yang juga harus diperhatikan adalah harus menjadi rumah kedua bagi anak didik supaya mereka kerasan. Sekolah merupakan sebuah bagian dari pembentukan nilai-nilai kesantunan sosial dan lain sebagainya. Freire kemudian mengatakan bahwa sekolah harus memiliki wajah yang baik dan santun dalam proses belajar mengajar.
          A.S.Neil[3] membawa kita kepada pendapatnya yang berbeda tentang sekolah yang mencerdaskan. Dia berangkat dari sebuah tesis bahwa sekolah yang menyuruh anak-anak duduk tenang dibangku dan mempelajari bidang-bidang studi yang tidak berguna adalah sekolah buruk. Sekolah itu hanya baik bagi warga negara yang tidak kreatif, yang ingin anak-anaknya tidak kreatif, yang menghendaki agar anak-anaknya patuh membungkuk-bungkuk masuk peradaban yang tolak ukur kesuksesannya adalah uang. Neil, kemudian menyampaikan pendapatnya mengenai sekolah yang disebut demonstratif, yang menerapkan demokrasi. Dengan kata lain, sekolah bagi Niel adalah yang memberikan kebebasan bagi anak-anak didik untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, aturan-aturan yang memberikan sebuah upaya disiplin diri, pengarahan, sugestii, pelatihan moral, dan lain sebagainya harus dibuang jauh-jauh, sebab hal tersebut akan menjadikan anak-anak didik berada dalam pengekangan..., Astaghfirullah!


[1] Moh. Yamin, 2012. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, Jogjakarta: Diva Press (Anggota IKAPI) hlm.204.
[2] Moh.Amin, op.cit.,hlm.205
[3] op.cit 205

0 komentar:

Posting Komentar