16.
SEKIRANYA SEKOLAH
Seluruh konsep pendidikan di sekolah itu
bisa dan harus ideal
(Dede Rosyada, 2004:26)
SEKIRANYA
SEKOLAH
“Bagaimana
manusia hidup dengan pandangannya, dengan sikapnya, serta dengan
keterampilannya bersama manusia lainnya, sekitarnya, alam semesta dan Sang
Pencipta?”
SELAMA
INI, bukankah kita masih memiliki pandangan bahwa sekolah merupakan tempat bagi
peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Belajar dan mempelajari banyak hal.
Tentang dirinya, orang tua, teman-teman dan orang lain. Bagaimana mereka
memahami diri, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sosial, dan
memanfaatkan alam semesta ini. Bagaimana peserta didik belajar melakukan
hubungan dengan Sang Pencipta.
Sekolah
adalah tempat dimana peserta didik dibentuk karakternya yang menjadi refleksi
dari tingkah laku moralitasnya. Bagaimana nilai-nilai moralitas, nilai
intelegensi, nilai spiritualnya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
mental dan jasmaninya. Agar manusia dapat memainkan perannya sebagai individu
yang unik dan makhluk sosial yang dapat berinteraksi dengan baik dalam
perbedaan.
Sekolah juga dipahami sebagai tempat peserta
didik belajar memahami hidupnya, tujuan kehidupannya serta akhir kehidupan di
alam bersama manusia yang lain. Bagaimana peserta didik hidup dengan
pandangannya, dengan sikapnya, serta dengan keterampilannya bersama manusia
lainnya, serta alam semesta ini dan Sang Pencipta.
Konsepsi sekolah bagi manusia
sejatinya bertujuan memanusiakan manusia dalam rangka menemu-kenali potensi
diri serta karakteristiknya untuk ditumbuh-kembangkan, dibimbing serta
diarahkan, sebagaimana kodratnya manusia. Manusia
yang memiliki jiwa dan raga, akal pikiran, kalbu dan perasaan, serta daya-daya
yang lain.
Konsep sekolah bagi manusia sebagai
proses memanusiakan manusia, bukan berarti membiarkan manusia sesuai
kehendaknya masing-masing (how to be),
dan bekerja atau beraktivitas sesuai keinginanya (how to do), sehingga setiap individu bebas menentukan keinginannya
sendiri dan melupakan bagaimana manusia harusnya hidup bersama. Bagaimana
manusia menyadari bahwa kehendaknya telah dibatasi oleh kehendak lain, kehendak
yang lebih luas, lebih besar dan lebih kuat. Bahwa kehendaknya harus sesuai
dengan kehendak yang lebih utama.
Bagaimana manusia hidup, sebagaimana
kehidupan ini diberikan kepadanya. Manusia mestinya hidup sesuai kehendak Yang
Menghidupkannya, Sang Pencipta, kehendak yang tidak pernah menzalimi kehendak
hamba-Nya. Dan Sang Pencipta telah memberikan ketentuan bahwa di dalam hidup
manusia ada pilihan. Pilihan itu diberikan untuk kepentingan manusia itu
sendiri, bukan kepentingan Sang Pencipta. Atas pilihan manusia mendapat
ganjaran. Pahala bagi yang taat dan dosa bagi yang membangkang.
Bahagia bagi yang mengabdi dan
menderita untuk yang ingkar. Tapi kadang manusia menganggap pilihannya adalah
hak azasinya sebagai manusia, apapun itu. Manusia lain harus menghormatinya,
bahkan Tuhannya tidak berhak mengaturnya. Atau manusia menganggap apa yang ia
lakukan telah merupakan kehendak Tuhan jadi tidak mungkin ada sanksinya. Ada
juga manusia menganggap dirinya Tuhan, bahkan menganggap Tuhan tidak ada.
Inilah sisi lain manusia. Ia dapat melakukan apa saja. Sesuai dengan keinginan
dan cita-citanya. JANGAN SAMPAI TERJADI ...
Jangan sampai juga terjadi dalam
praktik pendidikan disekolah kita seperti pendapat R.Tagore[1]
bahwa sekolah adalah penjara. Ups! jangan sampai terjadi. Sekolah jangan sampai
membuat anak didik tidak independen sebagai manusia otonom. Sekolah jangan
menyempitkan ruang gerak dan berpikir anak didik dalam beraktivitas. Sekolah
jangan membatasi setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh anak didik. Yang
jelas, aturan sekolah yang begitu kaku jangan sampai membuat anak didik merasa
strees.
Freire[2]
mengatakan bahwa sekolah harus menampilkan nilai-nilai progresif terhadap
perkembangan dan kemajuan pendidikan. Dengan demikian, seluruh elemen sekolah
harus dibangun atas dasar kepentingan anak didik dalam kehidupan. Bahkan, hal
penting yang juga harus diperhatikan adalah harus menjadi rumah kedua bagi anak
didik supaya mereka kerasan. Sekolah merupakan sebuah bagian dari pembentukan
nilai-nilai kesantunan sosial dan lain sebagainya. Freire kemudian mengatakan
bahwa sekolah harus memiliki wajah yang baik dan santun dalam proses belajar
mengajar.
A.S.Neil[3]
membawa kita kepada pendapatnya yang berbeda tentang sekolah yang mencerdaskan.
Dia berangkat dari sebuah tesis bahwa sekolah yang menyuruh anak-anak duduk
tenang dibangku dan mempelajari bidang-bidang studi yang tidak berguna adalah
sekolah buruk. Sekolah itu hanya baik bagi warga negara yang tidak kreatif,
yang ingin anak-anaknya tidak kreatif, yang menghendaki agar anak-anaknya patuh
membungkuk-bungkuk masuk peradaban yang tolak ukur kesuksesannya adalah uang.
Neil, kemudian menyampaikan pendapatnya mengenai sekolah yang disebut demonstratif,
yang menerapkan demokrasi. Dengan kata lain, sekolah bagi Niel adalah yang
memberikan kebebasan bagi anak-anak didik untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan
demikian, aturan-aturan yang memberikan
sebuah upaya disiplin diri, pengarahan, sugestii, pelatihan moral, dan lain
sebagainya harus dibuang jauh-jauh, sebab hal tersebut akan menjadikan
anak-anak didik berada dalam pengekangan..., Astaghfirullah!
0 komentar:
Posting Komentar