10.
Layak Hidup untuk Hidup Layak
“Hidup layak adalah hidup yang berbahagia,
Hidup yang Berakhlak Mulia, Hidup
dalam Pengabdian KepadaNya”
KURIKULUM pendidikan Islam
merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan
materi/pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan,
serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, mengimani dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Isi
kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain
pendidikan agama, tak terkecuali pendidikan agama Islam. Hal ini dimaksudkan
untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar[1].
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar[1].
Kualitas amal saleh ini akan
menentukan derajat ketaqwaan (prestasi rohani/iman) seseorang di hadapan Allah
Swt.
Kata “PAI” atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia. Tujuan
Pendidikan Agama Islam menurut Muhammad Munir[2], seperti yang dikutip Abdul Majid, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah: Pertama, tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya.
Kata “PAI” atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia. Tujuan
Pendidikan Agama Islam menurut Muhammad Munir[2], seperti yang dikutip Abdul Majid, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah: Pertama, tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya.
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu” (QS.Al-Maidah ( 5):3.
Di
antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam
datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw
bahwa:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
manusia”.
Kedua, tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah
“Di
antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirah dan peliharalah kami dari api neraka”.
Ketiga,
menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Seperti yang termaktup dalam Firman-Nya:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku”.
Peran Guru dalam Pembelajaran
Peran Guru dalam Pembelajaran
Proses pembelajaran akan efektif dan
bermakna jika dilaksanakan dengan metode tepat. Media yang relevan dan menarik.
Strategi yang jitu serta pendekatan yang akurat. Metode dapat diartikan
benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau
pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau
strategi yang dipilih. Pemilihan materi sebagai sumber belajar penting.
Pemilihan media, metode, strategi dan pendekatan jauh lebih penting. Tetapi
yang jauh lebih penting dan utama dari itu semua adalah bagaimana guru yang
membawakannya. Bagaimana guru masuk kelas dengan jiwanya, dengan kasih
sayangnya dan pola interaksi yang dibangunnya. Kemudian apakah akhirnya ia
mampu menjadikan dirinya layak menjadi guru bagi peserta didiknya. Syukri
Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa:
“Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min
al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi”
(Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih
penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri).
Ungkapan ini jelas menegaskan bahwa metode yang digunakan
guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dan pola interaksi dalam
pembelajaran. Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik
dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk meciptakan interaksi
antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Bagaimana
guru memainkan peran-perannya sebagai informator, demonstrator, fasilitator, mediator,
dinamisator, dan evaluator.
Masih
banyak peran-peran positif lainnya yang harus dimainkan guru agama ketika
melaksanakan pembelajaran. Guru agama memiliki peran untuk memberikan
“kesadaran” kepada peserta didik bahwa mereka telah dibekali naluri beragama atau
naluri bertauhid, naluri sosial, naluri suci, yang kita kenal dengan fitrah.
Sehingga guru agama harus berupaya menggugah kesadaran itu dengan motivasi dan
keteladanan. Memaksimalkan potensi dasar (gharizah)
yang telah mereka bawa sejak lahir. Potensi dasar inilah yang harus
ditemu-kenali, kemudian dimotivasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang berakhlak mulia. Seperti apa pribadi yang berakhlak mulia, rujukan ideal
adalah pribadi nabi Muhammad Saw, sebagai sumber risalah. Akan tetapi rujukan
terdekat peserta didik adalah pribadi guru-guru mereka. Sehingga guru harus
menempatkan dirinya sebagai agen perubahan itu sendiri, dalam rangka menyiapkan
peserta didik untuk kehidupan mereka kelak.
Materi Pembelajaran PAI
Kita telah memahami semua bahwa ajaran
pokok Islam itu meliputi masalah: Akidah
(Keimanan), Syari’ah (Keislaman), dan
Akhlak (Ihsan). Tiga ajaran pokok
kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, rukun Islam, dan akhlak. Dari
ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak.
Ketiga
kelompok di atas, kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu
al-Qur’an dan Hadits dan ditambah dengan sejarah (tarikh) Islam. Kerangka materi ini akahirnya disederhanakan sesuai
dengan tingkatan peserta didik. Kemudian ditambah materi yang berfungsi sebagai
alat (materi alat) yakni bahasa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, saraf, dan
balaghah untuk membaca dan memahami kandungan isi kitab-kitab yang berbahasa
Arab.
Prinsip Materi PAI
Ada beberapa hal yang menjadi
pertimbangan dalam merumuskan materi-materi Pendidikan Agama Islam ke dalam
kurikulum. Para ahli mengemukakan pendapat-pendapat mereka, namun dikesempatan
ini, kita kemukakan pendapat Al-Abrasyi[3] sebagai
berikut:
Pertama, mata
pelajaran ditujukan untuk mendidik rohani atau hati. Artinya, materi itu
berhubungan dengan kesadaran aqidah (keyakinan);
Kedua, mata
pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup, yaitu ilmu fiqh
dan akhlak.
Ketiga , mata
pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung kelezatan ilmiah, yaitu sesuatu
ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui;
Keempat, mata
pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan.
Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara
pandang hidup yang luas; dan
Kelima. mata
pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu
yang dipelajari berguna untuk ilmu.
Evaluasi dalam Pembelajaran PAI
Kita
mengenal dua bentuk evaluasi dalam pembelajaran, yaitu evaluasi proses
pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi merupakan kegiatan
mengumpulkan data dan fakta yang dilakukan secara sistematis untuk mendapatkan informasi
yang tentang pencapaian sesuatu.
Para ahli seperti Stufflebeam,[4] mengungkapkan
bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan
informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Sedangkan Wayan
Nurkancana & Sumartana, mengatakan bahwa evaluasi adalah suatu tindakan
atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan,
baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya.
Evaluasi
digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai.
Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana
dan Sumartana[5],
bahwa evalusi berfungsi, sebagai berikut:
Pertama, untuk mengetahui taraf kesiapan
peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta
didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
Kedua, untuk mengetahui seberapa jauh
hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan.
Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau
belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya
tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya;
Ketiga, mengetahui apakah suatu mata
pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus
mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi
yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik
menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secara
keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah
dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran;
Keempat, untuk mendapatkan bahan-bahan
informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis
jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut; Kelima, untuk mendapatkan bahan-bahan informasi untuk menentukan
apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan
hasil evalusi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna
dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
Keenam, untuk
membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya
atau belum;
Ketujuh, untuk menafsirkan apakah
peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk
melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Hasil evaluasi bermakna dan
diperlukan oleh banyak pihak. Evaluasi bermakna dan diperlukan oleh semua
komponen pendidikan terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah,
serta pemerintah. Hasil evaluasi juga akan menentukan upaya atau langkah
kebijakan yang akan ditempuh komponen-komponen tersebut di atas.
Karakteristik Kurikulum PAI
Setiap kurikulum
yang dikembangkan mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama
Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi,[6]
seperti yang dikutip Abdul Majid menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam
harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
Pertama,
memiliki
sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan
untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan
fitrah manusia sebagai mana diisyaratkan hadits qudsi sebegai berikut:
“hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkan mereka”;
Kedua,harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan
ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus
menjadi landasan kebangkitan Islam, bauk dalam aspek intelektual, pengalaman,
fisikal, maupun sosial.
Ketiga,harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal
karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas
kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
Keempat,
memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang ralistis,
menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum
pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik
secara personal maupun kolektif (sosial).
Kelima, tidak bertentangan
dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam
yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak
teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti
untuk kemanfaatan manusia.
Keenam, rancangan
kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan
peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam
merupakan cermin masyarakat;
Ketujuh, harus memilih
metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan
suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
Kedelapan, kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
Kedelapan, kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
Kesembilan, harus sesuai
dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih
bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah
dicapai ole peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat
penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis
kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
Kesepuluh, memperhatikan
aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung
seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang Islami,
etis dan anggun. Sedangkan menurut Syaibani[7],seperti
yang diikuti Muhaimin dan Abd Mujib, menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum
pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar
sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
[1] Muhaimin, 2001. Paradigma
Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Bandung: Rosdakarya. Hlm. 75.
[2] Majid,
Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi;
Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 74.
[3] Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:
Rosdakarya. Hlm.66-67.
[4] Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya:
Usaha Nasional. Hlm. 1.
[5] Nurkancana, Ibid. 3-6.
[6]
Majid,
Op.Cit. Hlm. 78-80.
[7]
Muhaimin,
dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka
Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Hal 187-197.
0 komentar:
Posting Komentar