SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

10.Layak Hidup untuk Hidup Layak

Sabtu, 06 September 2014 |



10.
Layak Hidup  untuk  Hidup Layak
“Hidup layak adalah hidup yang berbahagia,
Hidup yang Berakhlak Mulia, Hidup
dalam Pengabdian KepadaNya”

KURIKULUM pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi/pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
          Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama, tak terkecuali pendidikan agama Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
          Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar[1].
          Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi rohani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata “PAI” atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia.
Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia. Tujuan
Pendidikan Agama Islam menurut Muhammad Munir[2], seperti yang dikutip Abdul Majid, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah: Pertama, tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya.
          Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu” (QS.Al-Maidah ( 5):3.
         
Di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.

Kedua, tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah

 “Di antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirah dan peliharalah kami dari api neraka”.

Ketiga, menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti yang termaktup dalam Firman-Nya:
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku”.

Peran Guru dalam Pembelajaran
Proses pembelajaran akan efektif dan bermakna jika dilaksanakan dengan metode tepat. Media yang relevan dan menarik. Strategi yang jitu serta pendekatan yang akurat. Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih. Pemilihan materi sebagai sumber belajar penting. Pemilihan media, metode, strategi dan pendekatan jauh lebih penting. Tetapi yang jauh lebih penting dan utama dari itu semua adalah bagaimana guru yang membawakannya. Bagaimana guru masuk kelas dengan jiwanya, dengan kasih sayangnya dan pola interaksi yang dibangunnya. Kemudian apakah akhirnya ia mampu menjadikan dirinya layak menjadi guru bagi peserta didiknya. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa:

Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi
(Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri).

          Ungkapan ini jelas menegaskan bahwa metode yang digunakan guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dan pola interaksi dalam pembelajaran. Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk meciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Bagaimana guru memainkan peran-perannya sebagai informator, demonstrator, fasilitator, mediator, dinamisator, dan evaluator.
          Masih banyak peran-peran positif lainnya yang harus dimainkan guru agama ketika melaksanakan pembelajaran. Guru agama memiliki peran untuk memberikan “kesadaran” kepada peserta didik bahwa mereka telah dibekali naluri beragama atau naluri bertauhid, naluri sosial, naluri suci, yang kita kenal dengan fitrah. Sehingga guru agama harus berupaya menggugah kesadaran itu dengan motivasi dan keteladanan. Memaksimalkan potensi dasar (gharizah) yang telah mereka bawa sejak lahir. Potensi dasar inilah yang harus ditemu-kenali, kemudian dimotivasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Seperti apa pribadi yang berakhlak mulia, rujukan ideal adalah pribadi nabi Muhammad Saw, sebagai sumber risalah. Akan tetapi rujukan terdekat peserta didik adalah pribadi guru-guru mereka. Sehingga guru harus menempatkan dirinya sebagai agen perubahan itu sendiri, dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk kehidupan mereka kelak.

Materi Pembelajaran PAI
Kita telah memahami semua bahwa ajaran pokok Islam itu  meliputi masalah: Akidah (Keimanan), Syari’ah (Keislaman), dan
Akhlak (Ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, rukun Islam, dan akhlak. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak.

          Ketiga kelompok di atas, kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits dan ditambah dengan sejarah (tarikh) Islam. Kerangka materi ini akahirnya disederhanakan sesuai dengan tingkatan peserta didik. Kemudian ditambah materi yang berfungsi sebagai alat (materi alat) yakni bahasa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, saraf, dan balaghah untuk membaca dan memahami kandungan isi kitab-kitab yang berbahasa Arab.


Prinsip Materi PAI
          Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam merumuskan materi-materi Pendidikan Agama Islam ke dalam kurikulum. Para ahli mengemukakan pendapat-pendapat mereka, namun dikesempatan ini, kita kemukakan pendapat Al-Abrasyi[3] sebagai berikut:
Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik rohani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran aqidah (keyakinan);
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup, yaitu ilmu fiqh dan akhlak.
Ketiga , mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung kelezatan ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui;
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas; dan
Kelima. mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu.
Evaluasi dalam Pembelajaran PAI
Kita mengenal dua bentuk evaluasi dalam pembelajaran, yaitu evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi merupakan kegiatan mengumpulkan data dan fakta yang dilakukan secara sistematis untuk mendapatkan informasi yang tentang pencapaian sesuatu.
          Para ahli seperti Stufflebeam,[4] mengungkapkan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Sedangkan Wayan Nurkancana & Sumartana, mengatakan bahwa evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya.
          Evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana[5], bahwa evalusi berfungsi, sebagai berikut:
          Pertama, untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
          Kedua, untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya;
          Ketiga, mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secara keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran;
          Keempat, untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut; Kelima, untuk mendapatkan bahan-bahan informasi untuk menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan hasil evalusi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
          Keenam, untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum;
          Ketujuh, untuk menafsirkan apakah peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Hasil evaluasi bermakna dan diperlukan oleh banyak pihak. Evaluasi bermakna dan diperlukan oleh semua komponen pendidikan terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah, serta pemerintah. Hasil evaluasi juga akan menentukan upaya atau langkah kebijakan yang akan ditempuh komponen-komponen tersebut di atas.

Karakteristik Kurikulum PAI
Setiap kurikulum yang dikembangkan mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi,[6] seperti yang dikutip Abdul Majid menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
Pertama, memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagai mana diisyaratkan hadits qudsi sebegai berikut: “hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkan mereka”;
Kedua,harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, bauk dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal, maupun sosial.
Ketiga,harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
Keempat, memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang ralistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
Kelima, tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan manusia.
Keenam, rancangan kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin masyarakat;
Ketujuh, harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
Kedelapan, kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
Kesembilan, harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai ole peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
Kesepuluh, memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang Islami, etis dan anggun. Sedangkan menurut Syaibani[7],seperti yang diikuti Muhaimin dan Abd Mujib, menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.


[1] Muhaimin, 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 75.
[2] Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya. Hlm. 74.

[3] Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya. Hlm.66-67.

[4] Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional. Hlm. 1.

[5] Nurkancana, Ibid. 3-6.


[6] Majid, Op.Cit. Hlm. 78-80.

[7] Muhaimin, dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Hal 187-197.

0 komentar:

Posting Komentar