17.
Renungan Proses Pembelajaran
(Guru Yang Baik)
Proses pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara
umum dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta
didik belajar selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan
terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik,
dan peserta didik dengan lingkungannya. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan
belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi
pendidik-peserta didik , dan/atau antar
peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan
kelas, serta penciptaan suasana agar betah di sekolah.
Sumber Belajar
Pemanfaatan lingkungan
sebagai sumber belajar dalam pendidikan Islam bukanlah hal baru. Lingkungan
tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa dapat belajar dari guru
dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah juga demikian halnya.
Pemanfaatan
lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara:
melakukan kerja sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam
kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan sebagainya.
Guru yang Baik
SORE
ITU, saya baru saja selesai menyampaikan materi untuk mata kuliah Psikologi
Belajar dengan tema diskusi “Bagaimana Manusia Belajar?” (Ini judul buku saya
sebelumnya, mohon maaf jika terkesan promosi). Seorang mahasiswa meminta
salinan materi tersebut, terutama pada bagian dialog manusia dengan
Tuhannya. Dialog tersebut diberi judul “Jemputan Terindah atau Terendah”
(Insya Allah pada halaman selanjutnya, kutipannya akan ditampilkan). Katanya ia
terkesan pada bagian itu. Astagfirullah, saya sedikit tersanjung. Tapi memang
cukup banyak yang larut, terharu dengan isi dialog tersebut. Ia ingin
menggunakan dialog tersebut di malam renungan, kegiatan pramuka. Katanya bagus
untuk muhasabah. Saya sedikit ragu bercampur khawatir jika materinya tidak
relevan dengan usia mereka juga momennya. Tapi ia memaksa untuk mendapatkan,
dan saya akhirnya mengalah. Lalu saya janjikan memberikan copynya esok hari.
Sore
esoknya, dia sudah menunggu saya keluar kelas Psikologi Belajar. Saya mau
serahkan, tapi katanya biar di ruang dosen saja. Saya setuju saja. Sampai
diruangan dosen, saya serahkan salinan dialog tersebut. Ia terima dan ucapkan
terimakasih, tapi tidak lantas beranjak dan melihat kursi di depan kami, dan
duduk setelah saya persilakan. Saya sebenarnya agak keburu waktu karena sudah
ketinggalan rakaat pertama pada sholat ashar berjamaah dengan dosen-dosen
lainnya. Sebab habis itu saya harus masuk kelas lagi.
Katanya
ada yang ingin ia tanyakan, wajahnya berubah serius.
“Ini tentang bapak”, katanya
Giliran
saya yang jadi serius,
“Ya Allah kesalahan apa yang barusan telah saya
lakukan?” batin saya.
“Ya, ada apa dengan saya?”.
“Begini Pak, bagaimana bapak bisa jadi bagini?”
“Maksudnya begini bagaimana?” saya lebih serius dan
khawatir berpangkat.
“Bagaimana caranya bapak bisa mengajar seperti ini,
agak berbeda Pak, saya minta amalan?” katanya
“Astagfirullah”, saya menarik nafas tapi tetap
berusaha tenang.
“Amalan...? amalan apa ya? saya tidak mengerti”.
Saya hanya mengerti kalau kita ditakdirkan menjadi guru ya jadilah guru yang
baik. Atau setidaknya kita senantiasa berusaha memperbaiki diri dan kinerja
kita. Bukankah guru baik satu dari tiga faktor utama yang menghantar anak untuk
bahagia”
“Hanya itu Pak?” katanya sedikit memaksa.
“Saya rasa hanya itu, karena guru juga orang tua
bagi anak didik dan anak-anaknya serta anak bangsa ini. Jadilah orang tua bijak
bukan orang tua bajak...,”
“Sebagai sesama
bagian lingkungan jadilah kita lingkungan yang peduli bukan yang acuh?
“Guru yang baik itu seperti apa? dan bagaimana
caranya Pak? Saya terkesima dengan pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama pernah dilontarkankan
oleh sejawat saya sesama guru kurang lebih 17 tahun yang lalu. Bahkan oleh
senior saya, beliau guru pamong saya ketika praktik lapangan sekitar 25 tahun
lalu. Sampai saat ini pertanyaan itu masih mengganggu pikiran saya. Pertanyaan itu bagaikan hantu...Saya hanya bisa
menjawabnya dengan senyum, bukan senyum manis, tetapi sedikit tawar, agak
kecut.
Guru yang Selalu
Memperbaiki
Diri dan
Kinerjanya
SAMPAI
SEKARANG jujur saya tidak tahu persis seperti apa guru yang baik itu. Di
berbagai kesempatan mengajar saya hanya bisa menyampaikan bahwa guru yang baik
adalah guru yang mengajar sambil belajar, belajar sambil mengajar, sebagai
proses memperbaiki diri. Jadi guru yang
baik adalah guru yang selalu memperbaiki diri sebagai mana mestinya guru.
Guru mempersiapkan dirinya dengan
kemampuan layaknya guru. Mempersiapkan dirinya sebagai salah satu sumber
belajar bukan satu-satu sumber belajar. Guru juga cermat memilih buku, orang,
peristiwa, lingkungan sebagai sumber belajar lainnya yang maha kaya. Tepat
menentukan media, akurat menggunakan metode, tanggap menyusun strategi dan
pendekatan pembelajaran.
Melengkapi
dirinya dengan beragam property agar mudah memainkan perannya sebagai guru dari
awal melangkahkan kaki masuk kelas sampai keluar. Perannya sebagai
administrator, informator, dinamisator, fasilitator, demonstrator, serta
evaluator. Agar mampu menemu-kenali serta menumbuh-kembangkan potensi belajar
yang mereka miliki.
Jika prasyarat di atas terlalu ideal,
setidaknya guru mempu menempatkan dirinya sebagai seorang yang pantas atau
layak dijadikan guru oleh peserta didiknya. Peserta didik merasa yakin dan
percaya bahwa kita betul-betul layak dijadikan guru, karena kita menempatkan
mereka sebagaimana layaknya peserta didik. Bagaimana kita mampu menciptakan
rasa percaya diantara mereka. Kepercayaan antara mereka dengan kita adalah
harga mati. Sebuah harga yang berbanding lurus dengan kasih sayang yang kita
berikan, tanpa syarat apapun.
Guru yang
Menjadi Anggota “P3” Ups!....
TAPI
pada kesempatan lainnya saya juga kerap bercanda dengan pernyataan bahwa guru
yang baik adalah guru mampu menjadi anggota “P3”, ups!...jangan salah persepsi,
yang di maksud “P3” disini adalah guru yang mampu memainkan perannya sebagai Praktisi, Peneliti dan sekaligus Penulis. Sebagai praktisi pembelajar, tidak mungkin menjadi guru yang baik
kalau tidak mengajar. dan bukan jua guru yang baik kalau ngajarnya tidak
mengalami perubahan. Sikapnya, pandangannya serta keterampilan dalam mendidik
termasuk menyelengarakan kegiatan pembelajaran. Caranya mendesain pembelajaran,
caranya melibatkan hati dan jiwanya pada setiap skenario pembelajaran. Bukankah
guru agen atau pelopor perubahan?
Sebagai
peneliti
guru hendaklah mencermati seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran dari awal
hingga akhir. Membuat rencana sebagai lesson
plan, melaksanakan proses terukur dan terkontrol dengan kegiatan yang
menyenangkan juga bermakna. Mampu melibatkan aktivitas peserta didiknya,
membuat peserta kelas sebagai subyek pembelajaran dan bersama-sama siswa
menempatkan materi sebagai objek pembelajaran.
Sebagai
penulis,
guru diharapkan memiliki keterampilan menulis terutama dalam hal menulis hasil
temuan, mencatat kejadian-kejadian baik yang terduga apalagi yang tidak
terduga. Serta tidak lupa mencatat upaya yang dilakukan. Selanjutnya melaporkan
dalam bentuk tulisan, minimal kepada dirinya sendiri. Sebagai landasan empirik
untuk dihubungkan dengan landasan ideal berupa konsep dan teori belajar. Guna
melakukan perbaikan pada kegiatan pembelajaran selanjutkan. Jika terdapat
beberapa kekeliruan atau hambatan untuk diatasi. Jika sudah berhasil tinggal
meningkatkan.
Guru Baik adalah
Guru yang
memahami
Profesinya sebagai 7 Hakikat
1.
Menjadi
Guru adalah Bentuk Ibadah;
2.
Menjadi
Guru adalah Bidang Pengabdian;
3.
Menjadi
Guru adalah Medan Perjuangan;
4.
Menjadi
Guru adalah Cara Terindah Menjemput Rejeki;
5.
Menjadi
Guru adalah Upaya Mengharmoniskan kehidupan;
6.
Menjadi
Guru adalah Cara Terbaik untuk Berbagi;
7.
Menjadi
Guru adalah Jalan Kebahagiaan
0 komentar:
Posting Komentar