SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

11.Prinsip dan Orientasi Kurikulum PAI

Sabtu, 06 September 2014 |



11.
Prinsip dan Orientasi
Kurikulum PAI



Prinsip Kurikulum PAI
Efektivitas impelementasi kurikulum pendidikan Agama Islam, memerlukan adanya upaya tertentu agar kurikulum berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh semua pihak, yaitu sekolah itu sendiri, peserta didik, orangtua, dan masyarakat, serta komunitas yang lebih besar lagi (resources). Beberapa prinsip dasar yang sering dikemukakan para ahli dan mesti mendapat perhatian antara lain: Pertama, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersususun sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khlifah Allah.         Kedua, prinsip Relevansi, yaitu sebuah kesesuaian atau keselarasan pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan dipandang relevan, apabila proses dan hasil yang diperoleh dapat berguna dan fungsional bagi kehidupan peserta didik. Relevansi tersebut sekurang-kurangnya ada tiga hal, yakni relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevansi dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa depan, serta relevansi dengan tuntutan dalam pekerjaan. Dalam konteks Islam, kurikulum tersebut memiliki muatan “rahmatan lil ‘alamin”.
          Ketiga, prinsip efesiensi. Sebuah usaha untuk mengelola kegiatan kurikulum agar dapat mendayagunakan tenaga, biaya dan sumber-sumber lain secara cermat dan tepat, sehingga hasilnya memadahi dan memenuhi harapan.
          Keempat, prinsip Efektifitas. Setiap kegiatan pasti berhubungan dengan masalah sejauhmana hal-hal yang direncanakan dapat terlaksana secara tepat waktu serta sesuai dengan harapan atau rencana awal.
          Kelima, prinsip fleksibelitas. Implikasi dari prinsin ini adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanpa mengubah tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak saja dilihat dari faktor saja, melainkan juga berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperoleh), metode-metode belajar mengajar yang digunakan, fasilitas-fasilitas yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya. Soetopo dan Wasty[1] menambahkan bahwa prinsip fleksibilitas di sini dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan kesempatan guru untuk mengembangkan sendiri program-program pengajan dengan berpegang teguh pada tujuan dan bahan pengajaran di dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum.
          Keenam, prinsip kesinambungan. Istilah kesinambungan dimaksudkan adanya hubungan yang saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan, terutama mengenai bahan pengajaran. Pada tiap tingkat sekolah hingga perguruan tinggi, masing-masing satu dengan yang lain mempunyai hubungan secara hirarkis fungsional. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum hubungan fungsional hirakis tersebut harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan penyusunan program pengajaran.hal itu juga mengingat bahwa tiap lulusan sekolah pada tinggat tertentu, di samping dibekali dengan ketrampilan-ketrampilan untuk terjun praktek di masyarakat, juga dipersiapkan untuk memasuki pendidikan ke jenjang selanjutnya. Intinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal (penjenjangan, tahapan) maupun secara horizontal.
          Ketujuh, prinsip objektifitas. Implikasi prinsip ini yaitu adanya kurikulum yang dilakukan melalui tuntunan kebenaran ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emasi dan irasional.
          Kedelapan, prinsip integritas. Yaitu upaya agar kurikulum tersebut mampu menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang bisa mengintegrasikan antar fakultas dzikir dan fakultas fikir, serta manusia yang dapat menyeleraskan struktur kehidupan dunia dan struktur kehidupan akhirat. Di sampaing itu, pengupayaan kurikulum tersebut mencetak peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’an dan ilmu-ilmu kauni yang bertujuan mencari rida Allah. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen-komponen kurikulum, tanpa adanya pemenggalan satu sama lainnya.
          Kesembilan, prinsip belajar seumur hidup, yakni adanya kesadaran dan kemauan setiap manusia untuk selalu membuka diri, mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar tidak harus hanya terikat dalam konteks sekolah atau yang formal saja, melainkan sebuah proses belajar sepanjang hayat dimana pun berada.  Prinsip belajar seumur hidup mengandung makna bahwa sekolah bagi anak bukanlah satu-satunya masa untuk belajar. Namun, di luar itu siswa dapat senantiasa belajar secara terus menerus sepanjang hayat. Dengan prinsip ini diharapkan siswa memiliki kecakapan hidup yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zamannya.

Orientasi Kurikulum PAI
          Menyikapi berbagai sambutan dan sebutan terhadap perubahan kurikulum yang akhirnya terkesan lebih cepat - karena memang kurikulum kita sering dinamai dengan tahun.  Kurikulum 1975 - Kurikulum 1984 - Kurikulum 1994 - Kurikulum 2004 dan seterusnya setelah KTSP (sempat menggunakan nama tanpa) kita kenal lagi Kurikulum 2013. Sehingga perubahan menyita perhatian publik. Begitu pula para pengembang kurikulum PAI.
          Padahal perhatian kita sebaiknya diarahkan pada orientasinya. Apakah kurikulum PAI berorientasi pada pencapaian hasil belajar yang berkualitas. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani[2], bahwa orientasi kurikulum PAI tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya yaitu: 1) aspek tujuan; lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, berupa pengetahuan agama Islam dengan memperhatikan keragaman potensi rohani agar dapat memaksimalkan kompetensi religiusnya.2) Aspek isi; menekankan pada hal-hal yang bersifat tematik dan menggali sumber-sumber belajar yang bersifat kenyataan di lingkungan siswa. Materi disusun secara sistematis, mudah dipahami, dan terhindar dari pengulangan materi atau tumpang tindih. 3) Aspek tujuan; mentransmisikan nilai-nilai agama Islam ke dalam bentuk kompetensi secara utuh. Kurikulum bertujuan membekali peserta didik memiliki kesadaran baik secara normatif maupun historis empiris. 4) Aspek guru; tenaga pendidik lebih berperan sebagai fasilitator (guru tidak dominan) dan memanfaatkan banyak sumber belajar serta mengadakan kerjasama yang terpadu dengan lingkungan sekitarnya. 5) Aspek siswa; peserta didik lebih ditempatkan sebagai subjek, berperan aktif menggali potensi rohaninya sendiri untuk lebih menyadari fungsi dan kedudukannya sebagai muslim. 6) Aspek penilaian; kegiatan pembelajaran dinilai secara komprehensif, tidak hanya pada satu aspek saja dari suatu materi tetapi juga dengan materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan religiusnya. Hasil penilaian berorientasi untuk melihat perkembangan potensi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai seorang muslim yang ideal.
          Dari keenam aspek di atas, kurikulum pendidikan agama Islam berorientasi untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
          Orientasi dari beriman, berilmu, beramal dan berakhlak. Adalah upaya meningkatkan kegiatan pembelajaran PAI, dalam rangka menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan dimensi-dimensi potensi tersebut yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (2) dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan pesrta didik dalam menjalankan ajaran Islam. (4) dimensi penagalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untukmenggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
          Sekolah hendaknya berkomitmen menempatkan materi PAI sebagai pondasi utama terhadap keilmuan dan ketrampilan yang dimiliki setiap lulusan. Keilmuan dan ketrampilan yang tinggi bila diimbangi dengan pemahaman agama yang kuat, tidak akan mudah tergelincir pada tindakan-tindakan pengingkaran (dzalim dan mafsadat). Dengan pendekatan pengajaran yang tepat, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Islam akan menjadi frame (cara pandang) setiap peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di mana pun mereka berada.
          Menyadari akan pentingnya kurikulum PAI tersebut, maka Sekolah memandang perlu adanya penyederhanaan pokok-pokok materi dan melengkapi dengan model-model dan strategi pengajaran yang lebih mengena pada masing-masing tujuan setiap materi. Di sinilah tampak sekali usaha sekolah dalam mengambil inisiatif baru dan perhatian yang besar terhadap pentingnya pendidikan PAI . Sekolah tidak mau kehilangan daya khasnya yakni pendidikan PAI sebagai nilai tambah yang harus disenangi dan menjadi kebutuhan oleh para siswa.


[1] Soetopo dan Wasty
[2] Dian Andayani

0 komentar:

Posting Komentar