7
Pengembangan
Kurikulum PAI
“Pengembangan
kurikulum pendidikan Islam menempatkan peserta didik sebagai individu yang
mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih
kebahagiaan hidupnya.”
Pengembangan
Kurikulum
MEMINJAM istilah Oliva (1997:60) kurikulum
adalah perangkat pendidikan yang merupakan jawaban terhadap kebutuhan dan
tantangan manyarakat. Difenisi ini menurut Said Hamid Hasan[1] sering
dilupakan orang padahal kurikulum dalam pengertian ini teramat penting ketika proses
pengembangan kurikulum akan dimulai. Pengertian kurikulum ini sangat
fundamental dan menggambarkan posisi sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses
pendidikan.
“The
Heart of Education” (Klein,1999)
dan
Tantangan Masyarakat
Kurikulum dianggap sebagai jantung
pendidikan. Jika demikian kewajiban kita adalah menempatkannya pada posisi yang
seharusnya. Proses pengembangan kurikulum tidak boleh terjebak pada pengertian
kurikulum yang bersifat praktis menurut Said Hamid Hasan[2]. Berpijak
pada pengertian kurikulum ini maka tugas utama bagi pengembang adalah mengkaji
tantangan yang diberikan masyarakat, mengkaji tantangan tersebut untuk
menemukan kualitas yang perlu dimiliki manusia Indonesia 6 tahun, 9 tahun, 12
tahun mendatang. Selanjutnya, melakukan perbandingan dengan tujuan pendidikan
nasional untuk menemukan kualitas yang harus dikembangkan oleh kurikulum pada
jenjang pendidikan dasar, dan kualitas yang harus dikembangkan pada pendidikan
lanjutan.
Pada
fase berikutnya barulah pengembangan kurikulum melakukan rancangan mengenai
kualitas mana yang harus dikembangkan oleh banyak mata pelajaran dan kualitas
mana yang khusus dan hanya dapat dikembangkan oleh satu mata pelajaran di suatu
jenjang tertentu. Dalam konteks pengembangan kurikulum di Indonesia masa kini
maka kualitas tersebut yang diterjemahkan menjadi kompetensi dasar, standar
kompetensi dan standar kompetensi lulusan. Jadi ada kompetensi dasar dan
standar kompetensi lulusan yang harus dikembangkan dalam banyak mata pelajaran
dan dalam waktu panjang, dan ada kompetensi yang harus dikembangkan secara
khusus oleh satu mata pelajaran. Proses pengembangan kurikulum berikutnya
adalah pengembangan pada komponen lainnya.
Tantangan
yang muncul di masyarakat dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang seperti
jenjang nasional, lokal, dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan tersebut
tidak muncul begitu saja tetapi merupakan hasil rekonstruksi oleh sekelompok
orang dan dilegalisasi oleh pengambil
keputusan. Rekonstruksi haruslah menyangkut berbagai dimensi kehidupan dalam
jenjang-jenjang tersebut. Rekonstruksi itu memang sulit dan menjadi semakin
sulit ketika dia harus merajut berbagai kepentingan yang berkenaan dengan
berbagai jenjang dan dimensi kehidupan. Kesalahan yang umum terjadi adalah
rekonstruksi tersebut terlalu fokus pada suatu jenjang, tingkat nasional
misalnya, dan atau terjadi pada waktu menggunakan asumsi yang keliru untuk
memproyeksi kebutuhan masyarakat di masa depan dan mendasarkan rekonstruksi
pada asumsi tersebut. Misalnya asumsi yang menyatakan bahwa kehidupan yang baik
hanya dapat dicapai apabila orang memiliki kemampuan intelektula yang tinggi
demikian Said Hamid Hasan menegaskan[3] (2009:135).
Pamahaman
tentang definisi ini menjadi penting ketika pengembangan kurikulum dilakukan. Pengembangan
Kurikulum (curriculum improvement) akhirnya menjadi hal yang esensial dalam
keseluruhan kegiatan pendidikan.
Pertanyaan Ralph W. Tyler Tentang
Rumusan
Kurikulum
PENCETUS pengembangan kurikulum Ralph
W Tyler menjelaskan akan pentingnya memikirkan hal-hal fondamental yang harus
dibenahi dalam kurikulum. Untuk sampai pada tataran operasional, Tyler
menyampaikan empat pertanyaan yang harus dijawab agar proses pembenahan
kurikulum itu dapat melahirkan rumusan yang berkualitas dan bermanfaat.
Pertanyaan itu mencakup empat hal, yaitu:
1.
Tujuan
pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah?;
2.
Pengalaman
pendidikan apakah yang dapat diberikan agar tujuan tersebut tercapai?;
3.
Bagaimana
pengalaman tersebut dapat diorganisasikan secara efektif?;
4.
Bagaimana
menetapkan, menentukan apakah tujuan tersebut telah tercapai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah
landasan untuk membenahi mutu kurikulum yang menjanjikan masa depan anak didik.
Selama ini kurikulum yang telah kita gunakan barangkali
sudah bagus, akan tetapi sasaran, orientasi dan strateginya yang keliru.
Sehingga mutu pembelajaran tidak banyak melahirkan nuansa pengalaman empiris
terhadap peserta didik di luar sekolah.
Tantangan inilah yang harus dibenahi agar dinamika pendidikan masa mendatang mengalami kemajuan dan perubahan berarti.
Tantangan inilah yang harus dibenahi agar dinamika pendidikan masa mendatang mengalami kemajuan dan perubahan berarti.
Pengembangan Kurikulum PAI
Pada tataran pelaksanaan,
suatu kurikulum harus mempunyai relevansi atau kesesuaian. Kesesuaian tersebut
paling tidak mencakup dua hal pokok. Pertama
relevansi antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi serta
perkembangan masyarakat. Kedua relevansi antara komponen-komponen
kurikulum.
Komponen Dasar Kurikulum
Komponen-komponen dasar
pendidikan, mencakup konsep dasar dan tujuan pendidikan, prinsip-prinsip
kurikulum yang dianut, pola organisasi kurikulum, kriteria keberhasilan
pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem evaluasi.
Landasan dan Tujuan Pendidikan
Konsep dasar filosofis dalam
pengembangan kurikulum pendidikan Islam berpengaruh terhadap tujuan pendidikan
Islam itu sendiri. Nilai-nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat tertentu
harus sesuai dengan konsep dasar pengembangan kurikulum. Demikian halnya dengan
pendidikan Islam, sehingga pendidikan Islam mempunyai landasan kuat dan kokoh dalam
proses mencapai tujuan yang diharapkan. Landasan pendidikan Islam tidak bisa
dilepaskan dari aliran filsafat pendidikan yang mendasarinya.
Aliran filsafat yang kerap dijadikan landasan adalah: aliran
progresivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran
rekonstruksionalisme. Mari kita bicarakan apa yang dikehendaki oleh
masing-masing aliran tersebut dalam pendidikan ini.
Aliran
progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya
progresif, tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat
sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan
lingkungan.
Essentialism
menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai
kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan
bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta
didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin,
2003: 41).
Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan
kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa
yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang
ditentukan secara rasional.
Dan rekonstruksionalism
menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara
konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan
masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta
didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987:26).
Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara
empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis
pendidikan Islam? Antara empat aliran aliran progresivisme, aliran esensialisme,
aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme, tersebut mana yang secara
ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam? Yang jelas adalah bahwa
konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam
hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan.
Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para
pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).
Namun yang perlu
dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar
pendidikannya, maka menurut Naquib al
Attas dan al-Jamaly cenderung
kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28).
Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis
pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari
progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa
pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu
yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih
kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan
yang handal dalam rangka memenuhi tuntutan jaman.
“Pengembangan
kurikulum pendidikan Islam menempatkan peserta didik sebagai individu yang
mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih
kebahagiaan hidupnya.”
Tetapi kemudian tak dapat
dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan.
Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa
nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya.
Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991:
22-23).
Sementara
itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian
materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan
mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada
hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas
hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan
masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003:
428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan
didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan
pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk
direalisasikan.
Mengingat pentingnya
pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya
untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis
penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan
sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki
esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan
pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
Autonomy; gives individuals and groups the maximum
awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and
collective life to the greatest possible extent.
Equity; enable all citizens to participate in
cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
Survival ; permit every nation to transmit and enrich
its cultural heritage over the generation but also guide education towards
mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of
common destiny.
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan
nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa: ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan
nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya
dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan
tertentu.
Sementara itu, terkait dengan
tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum
pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat
dalam Q.S. Al-Dzariyat ayat 51 :
Artinya : “Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.
Bagi Langgulung tugas
pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain
itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan
Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al
Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said
Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.
Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa
ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi
menjadi tiga yaitu: (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup
Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkembangan IPTEK serta
perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi
individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).
Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan Islam
merupakan kaidah sebagai landasan supaya kurikulum pendidikan sesuai dengan
harapan semua pihak.
1.
Winarno Suracmad sebagaimana
dikutip Abdul Ghofir (1993: 31) mengemukakan prinsip kurikulum pendidikan yaitu
relevansi, efektivitas, efisiensi, fleksibilits, dan kesinambungan.
2.
Nana Syaodih S. (2002: 150-151)
menerangkan bahwa prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi,
fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektifitas.
3. Al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang
menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan
agama, prinsip universal, keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan
dengan segala aspek pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel), prinsip
perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan prinsip
pertautan antara semua elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
kalau ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung
menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik
(keseimbangan), yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu :
(1)
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
(2)
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(3)
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
(4)
kelompok mata pelajaran estetika; dan
(5)
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan,
Kelompok-kelompok
mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata
pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di
samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan
lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik
disediakan kegiatan pengembangan diri.
Orientasi Pendidikan
Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam
rangka perumusan kurikulum pendidikan. Dalam orientasi pendidikan akan dapat
diambil sebuah kebijakan dalam rangka menghasilkan out put pendidikan sesuai harapan.
Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi
pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend, pada tenaga kerja,
berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan berorientsai pada
pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.
Sistem Evaluasi Pendidikan
Sistem
evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologis, didaktis, serta administrasi atau manajerial. Dalam evaluasi
pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa evaluasi harus bermuara
pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif, komprehensif dan harus dilakukan
secara kontinyu. Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem
evaluasi pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation
disamping tetap adanya evaluasi kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi
semacam ini menjadi penting karena sebagai sosok social being dalam
kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan
orang lain. Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi
pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan
pemanfaatan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar