SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

7. Pengembangan Kurikulum PAI

Senin, 01 September 2014 |



7
Pengembangan
Kurikulum PAI
                                                           
“Pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan peserta didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya.”
Pengembangan Kurikulum
MEMINJAM istilah Oliva (1997:60) kurikulum adalah perangkat pendidikan yang merupakan jawaban terhadap kebutuhan dan tantangan manyarakat. Difenisi ini menurut Said Hamid Hasan[1] sering dilupakan orang padahal kurikulum dalam pengertian ini teramat penting ketika proses pengembangan kurikulum akan dimulai. Pengertian kurikulum ini sangat fundamental dan menggambarkan posisi sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses pendidikan.
         
“The Heart of Education”  (Klein,1999)
dan Tantangan Masyarakat
Kurikulum dianggap sebagai jantung pendidikan. Jika demikian kewajiban kita adalah menempatkannya pada posisi yang seharusnya. Proses pengembangan kurikulum tidak boleh terjebak pada pengertian kurikulum yang bersifat praktis menurut Said Hamid Hasan[2]. Berpijak pada pengertian kurikulum ini maka tugas utama bagi pengembang adalah mengkaji tantangan yang diberikan masyarakat, mengkaji tantangan tersebut untuk menemukan kualitas yang perlu dimiliki manusia Indonesia 6 tahun, 9 tahun, 12 tahun mendatang. Selanjutnya, melakukan perbandingan dengan tujuan pendidikan nasional untuk menemukan kualitas yang harus dikembangkan oleh kurikulum pada jenjang pendidikan dasar, dan kualitas yang harus dikembangkan pada pendidikan lanjutan.  
          Pada fase berikutnya barulah pengembangan kurikulum melakukan rancangan mengenai kualitas mana yang harus dikembangkan oleh banyak mata pelajaran dan kualitas mana yang khusus dan hanya dapat dikembangkan oleh satu mata pelajaran di suatu jenjang tertentu. Dalam konteks pengembangan kurikulum di Indonesia masa kini maka kualitas tersebut yang diterjemahkan menjadi kompetensi dasar, standar kompetensi dan standar kompetensi lulusan. Jadi ada kompetensi dasar dan standar kompetensi lulusan yang harus dikembangkan dalam banyak mata pelajaran dan dalam waktu panjang, dan ada kompetensi yang harus dikembangkan secara khusus oleh satu mata pelajaran. Proses pengembangan kurikulum berikutnya adalah pengembangan pada komponen lainnya.
          Tantangan yang muncul di masyarakat dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang seperti jenjang nasional, lokal, dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan tersebut tidak muncul begitu saja tetapi merupakan hasil rekonstruksi oleh sekelompok orang  dan dilegalisasi oleh pengambil keputusan. Rekonstruksi haruslah menyangkut berbagai dimensi kehidupan dalam jenjang-jenjang tersebut. Rekonstruksi itu memang sulit dan menjadi semakin sulit ketika dia harus merajut berbagai kepentingan yang berkenaan dengan berbagai jenjang dan dimensi kehidupan. Kesalahan yang umum terjadi adalah rekonstruksi tersebut terlalu fokus pada suatu jenjang, tingkat nasional misalnya, dan atau terjadi pada waktu menggunakan asumsi yang keliru untuk memproyeksi kebutuhan masyarakat di masa depan dan mendasarkan rekonstruksi pada asumsi tersebut. Misalnya asumsi yang menyatakan bahwa kehidupan yang baik hanya dapat dicapai apabila orang memiliki kemampuan intelektula yang tinggi demikian Said Hamid Hasan menegaskan[3] (2009:135).
          Pamahaman tentang definisi ini menjadi penting ketika pengembangan kurikulum dilakukan. Pengembangan Kurikulum (curriculum improvement) akhirnya menjadi hal yang esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan.

Pertanyaan Ralph W. Tyler Tentang
 Rumusan Kurikulum

PENCETUS pengembangan kurikulum Ralph W Tyler menjelaskan akan pentingnya memikirkan hal-hal fondamental yang harus dibenahi dalam kurikulum. Untuk sampai pada tataran operasional, Tyler menyampaikan empat pertanyaan yang harus dijawab agar proses pembenahan kurikulum itu dapat melahirkan rumusan yang berkualitas dan bermanfaat. Pertanyaan itu mencakup empat hal, yaitu:
1.    Tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah?;
2.    Pengalaman pendidikan apakah yang dapat diberikan agar tujuan tersebut tercapai?;
3.    Bagaimana pengalaman tersebut dapat diorganisasikan secara efektif?;
4.    Bagaimana menetapkan, menentukan apakah tujuan tersebut telah tercapai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah landasan untuk membenahi mutu kurikulum yang menjanjikan masa depan anak didik. Selama ini kurikulum yang telah kita gunakan barangkali sudah bagus, akan tetapi sasaran, orientasi dan strateginya yang keliru. Sehingga mutu pembelajaran tidak banyak melahirkan nuansa pengalaman empiris terhadap peserta didik di luar sekolah.
Tantangan inilah yang harus dibenahi agar dinamika pendidikan masa mendatang mengalami kemajuan dan perubahan berarti.

Pengembangan Kurikulum PAI
Pada tataran pelaksanaan, suatu kurikulum harus mempunyai relevansi atau kesesuaian. Kesesuaian tersebut paling tidak mencakup dua hal pokok. Pertama relevansi antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi serta perkembangan masyarakat. Kedua relevansi antara komponen-komponen kurikulum.
Komponen Dasar Kurikulum
Komponen-komponen dasar pendidikan, mencakup konsep dasar dan tujuan pendidikan, prinsip-prinsip kurikulum yang dianut, pola organisasi kurikulum, kriteria keberhasilan pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem evaluasi.

Landasan dan Tujuan Pendidikan
Konsep dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam berpengaruh terhadap tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Nilai-nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat tertentu harus sesuai dengan konsep dasar pengembangan kurikulum. Demikian halnya dengan pendidikan Islam, sehingga pendidikan Islam mempunyai landasan kuat dan kokoh dalam proses mencapai tujuan yang diharapkan. Landasan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari aliran filsafat pendidikan yang mendasarinya.
          Aliran filsafat yang kerap dijadikan landasan adalah: aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme. Mari kita bicarakan apa yang dikehendaki oleh masing-masing aliran tersebut dalam pendidikan ini.

Aliran progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan.
Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin, 2003: 41).
Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional.
Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987:26).
          Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam? Antara empat aliran aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme, tersebut mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam? Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).
          Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al-Jamaly cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memenuhi tuntutan jaman.
“Pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan peserta didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya.”
Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).
Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.
          Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.
          Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa:  ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. Al-Dzariyat ayat 51 :

Artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.
          Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman  Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.
          Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu: (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkembangan IPTEK serta perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).

Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan Islam merupakan kaidah sebagai landasan supaya kurikulum pendidikan sesuai dengan harapan semua pihak.
1.  Winarno Suracmad sebagaimana dikutip Abdul Ghofir (1993: 31) mengemukakan prinsip kurikulum pendidikan yaitu relevansi, efektivitas, efisiensi, fleksibilits, dan kesinambungan.
2.  Nana Syaodih S. (2002: 150-151) menerangkan bahwa prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektifitas.
3.  Al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan agama, prinsip universal, keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan dengan segala aspek pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel), prinsip perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan prinsip pertautan antara semua elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).
          Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kalau ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik (keseimbangan), yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu :
(1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
(2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
(4) kelompok mata pelajaran estetika; dan
(5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan,
          Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
Orientasi Pendidikan
Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan kurikulum pendidikan. Dalam orientasi pendidikan akan dapat diambil sebuah kebijakan dalam rangka menghasilkan out put pendidikan sesuai harapan. Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend, pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.

Sistem Evaluasi Pendidikan
Sistem evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologis, didaktis, serta administrasi atau manajerial. Dalam evaluasi pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa evaluasi harus bermuara pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif, komprehensif dan harus dilakukan secara kontinyu. Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena sebagai sosok social being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain. Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.


[1] Said Hamid Hasan, Pengembangan Kurikulum Sekolah, IMTIMA op.cit hlm 134
[2] op cit hlm
[3] Said Hamid Hasan. op.cit. hlm 135

0 komentar:

Posting Komentar