SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



22.
Aliran Filsafat yang Merasuk
Pendidikan Islam



Aliran Filsafat Pendidikan AS
Aliran pemikiran (filsafat) pendidikan, yang berkembang di Amerika Serikat dapat kita petakan ke dalam dua kelompok, yaitu: tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam kelompok tradisional adalah Perenialism dan Essentialism. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah Progressivism, Reconstructionism dan Existentialism.
Masing-masing aliran tersebut terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti :
1.    Sikap konservatif, yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari Essentialism;
2.    Sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, yaitu agama, sebagai perwujudan dari Perenialism;
3.    Sikap bebas dan modikatif sebagai perwujudan dari Progressivism;
4.    Sikap radikal rekonstruktif sebagai perwujudan dari Reconstructionism; dan
5.    Sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan empiris untuk mencari pilihan dan menemukan jati dirinya, atau menurut Brubacher (1982) : “……. In the end the learner’s identity is found in his commitments. What he chooses, that he becomes adalah perwujudan dari exixtentialism.”
   Penjabaran dari masing-masing sikap tersebut dalam pendidikan dapat dirumuskann sebagai berikut :
1.    Perenialism menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional;
2.    Essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi;
3.    Progressivism menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan;
4.    Reconstructionism menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat yang sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas; dan
5.    Existentialism menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.
          Pandangan dari masing-masing aliran pemikiran (filsafat) pendidikan tersebut mengenai peranan guru dan tujuan pendidikan Neo-Thomism atau Neo Skolastik adalah filsafat abad 19 dikalangan Katolik Italia dan Jerman yang mencari inspirasinya pada Thomas Aquinas (filosof dan teolog besar abad ke-13). Ajaran Thomas digunakan sebagai fundamen yang kokoh dan terpecaya. Thomas Aquinas berhasil dalam mencapai suatu keseimbangan antara iman dan rasio. Filsafat tersebut muncul dari krisis pemikiran filosofis yang ditimbulkan oleh Positivisme & Materialisme.
         
Filsafat Pendidikan Islam
          Pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, Hasan Langgulung (1980) menyatakan bahwa “Sumber-sumber pemikiran pendidikan Islam adalah : kitab Allah (Al-quran), sunnah, perkataan sahabat, kemaslahatan sosial, serta pemikir-pemikir Islam.” Pendapat Langgulung ini ada kesamaan dengan al-Syaibany dalam bukunya Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah.
          Selanjutnya al-Syaibany (1979) dan Langgulung (1988) juga menyatakan bahwa ajaran kembali kepada Islam bukan sekedar ajakan kepada peninggalan masa lalu yang harus dipelihara, tetapi adalah ajakan kepada suatu sumber yang hidup, dinamis, berkembang dan progresif sepanjang masa. Ia memiliki fleksibilitas pada prinsip-prisnsip umumnya yang berkenaan dengan penyusunan kehidupan manusia menyebabkan ia sesuai bagi setiap waktu dan tempat. Selain dari itu, kembali kepeninggalan lama itu mengaitkan masa sekarang dengan masa lampau dan mendalamkan pikiran filsafat dan pendidikan, dan menekankan identitas budaya dan pendidikan kita.

“Selain itu juga menjaga pikiran keturunan kita dari benih-benih ilhad, hedonism, pembaratan pemikiran, dan sekularisasi prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat dan teori-teori yang tidak Islami.”
          Apa yang dikemukakan oleh Al-Syaibany dan Langgulung (sebagai penjelas dari al-Syaibany) tersebut menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tidak sekedar regresif dan konservatif terhadap pemikiran para pendahulunya, tetapi juga berusaha melakukan kontekstualisasi dan verifikasi sesuai dengan tuntuta lingkungan dan kebutuhan zamannya, karena kembali kepada Islam berarti kembali kepada sumber-sumber atau prinsip-prinsip umumnya yang hidup, dinamis dan flesibel. Selain itu diperlukan kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran dari non-Muslim untuk tidak terjebak ke dalam filsafat pendidikan yang tidak Islami.
Sedangkan menurut Jalal (1977), bahwa sumber pemikiran pendidikan Islam hanya Alquran dan hadits Rasulullah Saw dan tidak perlu bersusah payah mencari sumber lainnya, kerana Allah telah mengutus Nabi Muhammad sebagai seorang guru. Senada dengan pendapat ini adalah al-Nahlawi (1979), dan al-Jamaly (1986). Muhammad Quthb (1984) juga menyatakan bahwa :
“….. Sistem pendidikan menjadi jelas bagi saya, nyata dalam indera saya, serta saya temukan dalil-dalilnya pada setiap tuntutan Al-quran dan al-Hadits atas perbuatan Nabi ….Nabi merupakan contoh hidup pendidikan Islam dan bukti yang konkret dari sistem itu, baik akhlak beliau sendiri maupun tuntutan-tuntutan beliau terhadap umat Islam.”
          Hasil penelitian al-Kailany (1986) terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pendidikan juga menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah dalam setiap statemennya tentang pendidikan senantiasa berangkat dari komitmen yang kokoh terhadap apa yang ada dalam Al-quran dan al-sunnah, dengan memandang keduanya sebagai sumber yang murni dan arah yang benar bagi setiap kegiatan pendidikan.
Berbeda halnya dengan Ubud (1977) yang menyatakan bahwa :” …. Fakanat falsafah at-tarbiyah al-islamiyyah wa al-fikr at-tarbawi sari’ay likulli tilka al-tagayyurat wa at-tatawwurat, wa kanat tilka al-falsafah, wa zalika al-fikr, dauman, wa liyaday amrain isnain, huma : al-idiolojiya al-islamiyyah, kama yusawwiruha al-kitab wa al-sunnah, wa al-zuruf al-jadidah al-tariah, fakanat tilka al-zuruf al-jadidah al-tariah tajidu laha fi zilli al-islam (ma’na) jadidan, tatahawwalu bihi litakuna ‘anasiruha as-saqafiyah al-jadidah fi an-ninayah (islamiyah) khalisah.”
Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam itu cepat merespons setiap perubahan dan perkembangan budaya, dan ia bersumber dari dua hal, yaitu ideologi Islami sebagaimana digambarkan oleh Al-quran dan al-sunnah, serta situasi dan kondisi baru yang dihadapi oleh Dunia Islam, yang pada akhirnya unsure-unsur budaya baru tersebut ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.

          Tipologi Pemikiran (Filsafat)
Pendidikan Islam
Uraian tersebut menggarisbawahi adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu
Pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui Al-quran dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pendangan-pandangan pemikir Islam.
Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari Al-quran dan al-hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran tersebut.
Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui Al-quran dan al-sunnah, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.
          Namun demikian, penerapan dari ketiga alur pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tersebut di atas masih memungkinkan adanya corak atau pola pemikiran yang bermacam-macam. Pada alur yang pertama misalnya, pemikiran pendidikan Islam dapat bersifat konservatif, dalam arti bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan dan tradisi sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan pemikir-pemikir Islam terdahulu, tanpa upaya kontekstualisasi dan pemikir Islam terdahulu, tanpa upaya kontekstualisai dan verivikasi. Pada alur yang kedua, pemikiran pendidikan Islam dapat bersifat doctrinal, dan idealistik terutama dalam mengangkat konsep pendidikan Islam dari Al-quran dan al-sunnah/al-hadits, sehingga justru mengaburkan kaitan atau konteksnya dengan pendidikan Islam itu sendiri. Pada alur yang ketiga, pemikiran pendidikan Islam dapat bersifat legitimatif pragmatis, yakni suatu nash tertentu didudukkan sebagai alat justifikasi atau legitimasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan yang sedang berkembang, yang belum tentu relevan dengan pemikiran pendidikan Islam, dan/atau bahkan bersifat adoptif belaka terhadap pemikiran dan teori kependidikan yang sedang berkembang tanpa kritisisme yang memadai.
          Untuk mengantisifasi masalah tersebut, Muhadjir (1995) menawarkan paradigma filosofis pendidikan Islami sebagai berikut.
1.      Asumsi dasar yang perlu dipakai adalah pandangan realism metafisik yang mengakui adanya keteraturan alam semesta sebagai ciptaan Allah, dan filsafat yang mendukungnya adalah realism metafisik.
2.      Postulasi ontologisnya : keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran multifaset atau multisstrata, yaitu eksistensi sensual, logia, etis dan transenden yang parallel dengan ayah, isyarah, hudan, rahmah. Filsafat yang secara eksplisit mengakui yang transenden adalah fenomenologi dan realism metafisik. Filsafat yang secara implicit mengakomodasikan yang etik dan transenden adalah rasionalisme.
3.      Postulat aksiologisnya : ilmu pendidikan itu normative sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai atau values, baik yang insaniyah (berkembang bersama budaya manusia) dan yang Ilahiyah (diwahyukan). Filsafat yang mendukung sama dengan yang diketengahkan pada postulat ontologis.
4.      Tesis epistomologis utama : wahyu adalah kebenaran mutlak.
5.      Tesis epistemologis 1 : karena dhaifnya akal budi manusia, maka kebenaran yang dapat dijangkau oleh manusia dengan ilmunya hanyalah kebenaran probabilitas.
6.      Tesis epistemologis 2 : wujud kebenaran yang dicapai berupa eksistensi sensual, logis, etis, atau transeden; atau dalam bahasa Qurani dalam wujud kebenaran ayah, isyarah, hudan atau rahmah.
7.      Tesis epistemologis 3 : untuk kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah kebenaran probabilitas, maka model logika untuk pembuktian kebenaran yang tepat adalah model logika probabilitas
8.      Tesis epistemologis 4 : untuk pemahaman hubungan antar manusia dan antara manusia dengan alam, sejauh tidak terjait pada nilai (baik yang insaniyah maupun Ilahiyah) model pembuktian induktif probabilitas dapat digunakan.
9.      Tesis epistemologis 5 : untuk pemahaman beragam hubungan tersebut diatas, bila terkait pada nilai, model pembuktian deduktif probabilitas dapat digunakan.
10. Tesis epistemologis 6 : untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika reflektif probabilitas dengan terapan tematis atau maudlu’i lebih tepat digunakan.
Pendapat tersebut menggarisbawahi perlunya pemikiran (filsafat) pendidikan Islam yang lebih kritis dan dinamis, dalam arti konsep pemikiran pendidikan Islam yang dibangun dari wahyu sebagai sumber utama dan sumber-sumber lainnya tidak selamanya menunjukkan kepastian yang harus diadopsi begitu saja tanpa kritisme yang memadai, karena eksistensi kebenaran yang dijangkaunya bersifat multifaset atau multistrata dan bersifat probabilitas. Apalagi pemikiran dan ilmu manusia itu sendiri masih memiliki keterbatasan dan kelemahan tertentu. Karena itu, model logika yang diterapkan untuk pembuktian yang tepat adalah model logika probabilitas. Melalui logika ini bangunan pemikiran seseorang, baik yang bersifat induktif, deduktif maupun reflektif (dengan terapan tematis atau maudlu’i) masih memungkinkan adanya kritik dan rekonstruksi terhadap produk pemikiran-pemikiran sebelumnya oleh pemikir atau pengembang filsafat pendidikan Islam berikutnya.
          Pemikiran Muhadjir (1995) tersebut agaknya banyak diwarnai oleh pemikiran postmodernism yang menurut Abdullah (1995) memiliki tiga ciri dasar, yaitu deconstructionism, relativism, dan pluralism. Hal ini diakuinya sendiri ketika ia berbicara tentang metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Ia menyatakan : “Teori pendidikan dalam (bukunya) edisi V ini menggunakan dua teori filsafati, yaitu teori kritikal dan teori postmodern dengan sejumlah modifikasi konsep. Fokus postmodern dengan sejumlah modifikasi konsep. Fokus postmodern adalah dekonstruksi. Penulis menekankan dekonstruksi yang kreatif, bukan yang rebellious, bukan yang membawa kenihilsme absolute, tidak membawa ke moral deontologist, dan perlunya mengembangkan universalitas meski mengakui keragaman, sehingga makna great interpreter memuat sikap aktor sosial yang kritis kreatif menolak nihilisme absolute, menolak moral deontologik dan sebaliknya secara aktif member makna masa depan masyarakat.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa teori postmodern menjadi salah satu landasan filosofis dalam pengembangan ilmu pendidikan, dengan melakukan modifikasi konsep. Jika dilihat dari paradigma yang dikemukakannya di atas, ia memang tidak begitu saja mengadopsi pemikiran postmodernism, justru ia melakukan kontekstualisasi dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari tesis epistemologis utama yang ia kemukakan, bahwa wahyu merupakan kebenaran mutlak, dan postulat ontologisnya mengakui adanya kebenaran transenden di samping yang sensual, logis dan etis, sedangkan postulat aksiologisnya adalah ilmu pendidikan itu normative, sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai atau value, baik yang insaniah (berkembang bersama budaya manusia) dan Ilahiyah (diwahyukan). Karena itu, di atas kebenaran yang relative dan pluralistic itu masih ada kebenaran mutlak yang selalu dicari dan digali oleh manusia sepanjang hanyatnya dan secara terus menerus saling mengkritisi dan menyempurnakannya.

0 komentar:

Posting Komentar