SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

25.Memahami Ide Tuhan

Senin, 08 September 2014 |



25.
Memahami Ide Tuhan




Islam ideal adalah Islam yang merepresentasikan ajaran dan nilai-nilainya sebagaimana yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran (sebagai kalam Allah) dan Al-Hadist/sunnah Nabi SAW. Teks Alquran sebagai wahyu dari Allah sudah teruji kebenaran dan otentitasnya, sehingga kebenarannya mutlak. Sedangkan mengenai hadis, para ulama telah berusaha melakukan kritik internal dan eksternal, sehingga muncullah kategorisasi hadist sahih, hasan, dan dhaif jika dilihat dari segi kualitasnya, atau hadis maqbul dan mardud dilihat dari segi hujjah atau pengalamnnya, serta hadits mutawatir dan ahad ditinjau dari segi kuantitasnya, dan seterusnya.
Para ahli menyatakan bahwa ketika teks hadir di depan seseorang, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika ia membacanya dan berusaha menangkap maknanya. Makna itu sendiri berada dalam teks (the world of the texts), dalam pengarang (the world of the author), dan dalam benak pembacanya (the world of the reader). Ketiga-tiga merupakan titik pusaran yang saling mendukung atau bisa jadi “membelokkan” dalam memahami sebuah teks.



Bagaimana manusia bisa “memahami ide Tuhan” yang tertuang alam teks nash dengan benar, sementara ia sebagai manusia tidak mampu berhadapan langsung denganNya (the world of the Author) untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendakiNya. Tuhan adalah immateri, sementara manusia berada dalam alam materi dan empiris. Di samping itu, pemaknaan yang muncul dari Alquran sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (The word of the reader). Disinilah maka logis saja bila muncul brebagai ragam penafsiran (Islam Interprestasi) dan pendapat selalu berkembang secara dinamis mengenai the mind of Gad yang ada di balik firman-firmanNya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan karena segi metodologinya.
Karena itu sangat logis kalau para ulama mengakhiri dengan ungkapan wallahu a’lam bi al-shawab bi muradih, yakni pada akhirnya hanya the speaker (Allah) yang paling tahu persis apa yang dikehendaki dengan firman-firmanNya itu. Dengan demikian Islam interprestasi itu sendiri bukan wahyu, tetapi ia merupakan produk pemikiran manusia yang qabilun li al-niqasi wa al-taghyir.
Proses dan produksi penafsiran yang macam-macam tersebut direalisasikan dan dilakukan serta diaktualisasikan oleh umat Islam dalam perjalanan sejarahnya (Islam Historis), sehingga menurut pandangan umat Islam pada zamannya dan dalam konteks geografis dan sosio-kultural tertentu, hasil penafsiran itu dipandang relevan, sementara bagi generasi berikut atau dalam konteks geografis dan sosio cultural lainnya bisa jadi ia anggap sebagai kurang relevan atau perlu penyempurnaan, sehingga perlu rekonstruksi metodologis. Kesadaran semacam ini mendorong seseorang untuk bersikap kritis, toleran dan terbuka terhadap interprestasi dan pendapat orang lain.
Dengan demikian, Islam ideal adalah bersifat normative, masih bersifat preskripsi-preskripsi, norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci. Sedangkan Islam historis merupakan Islam actual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan praktik yang pada kenyataannya eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Keduanya (Islam ideal dan actual) bukan dipahami secara dikotomis, tetapi merupakan hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara man of idea dan man of action.
Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, terutama ujian epistemologis. Wahyu diakui sebagai pembimbing, petunjuk jalan hidup manusia, tetapi ia akan menjadi alegori belaka jika tanpa menyentuh realitas sosial dan kultural manusia.
Para ahli menyatakan bahwa wahyu hanya berisi seperangkat nilai, dan suatu nilai tampak bagaikan “legenda” atau dongeng. Ia mampu melampaui lintas waktu, tempat, fungsi dan manfaat. Nilai luhur atau moral tidak akan mampu membangun suatu peradaban. Peradaban hanya bisa dibangun oleh pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam teori-teori atau sistem yang berdaya kontekstual, aktual dan operasional, walaupun teori atau kerja ilmiah tidak terhindarkan dari kelemahan-kelemahan, kontradiksi, reduksi, dan relativitas, karena keberadaanya tidak mampu melampaui batas waktu, tempat dan fungsi.
Setiap nilai luhur harus segera diikuti dengan penciptaan system sebagai instrument untuk mengimplementasikan nilai tersebut dan sekaligus sebagai wahana untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan. Namun demikian, suatu system tanpa “roh” nilai luhur akan menyesatkan dan menghancurkan kehidupan.
Mereka katakan bahwa apresiasi atas agama harus dilakukan penyeberangan (i’tibar) ke sebalik ungkapan-ungkapan linguistiknya-kemudian dilakukan penafsiran. Menurut Ibnu Sina, ajaran para nabi itu adalah alegori dan simbol-simbol, yang dimaksud sebenarnya harus dicari dengan “menyeberang” di balik itu semua melalui penafsiran metaforis. Ajaran formal nabi itu ibarat bungkus, sedangkan kebenaran yang sesungguhnya ada dibalik kebenaran pembungkusan itu. Melalui strategi I’tibar akan tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang sangat dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam ideal dan Islam aktual.
Dilihat dari pemahaman tentang Islam (Ideal, Interprestasi dan Historis), maka semua tipologi filsafat pendidikan Islam tersebut diatas terdapat titik temu pada dimensi Islam idealnya, tetapi berbeda dalam dimensi interprestasi dan historisnya.
1.    Perenial esensialis salafi : Islam ideal, interpretasi, dan historis salafi.
2.    Perenial esensialis mazhabi : Islam ideal, interpretasi dan historis klasik bahkan pertengahan.
3.    Modernis : Islam ideal, interpretasi dan historis kekinian
4.    Perenial esensialis kontekstual falsifikatif : Islam ideal, mengaitkan interpretasi dan historis dulu dan kini.
5.    Rekonstruksi sosial : Islam ideal, interpretasi dan historis kini dan yang akan dating

0 komentar:

Posting Komentar