25.
Memahami Ide Tuhan
Islam
ideal adalah Islam yang merepresentasikan ajaran dan nilai-nilainya sebagaimana
yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran (sebagai kalam Allah) dan Al-Hadist/sunnah
Nabi SAW. Teks Alquran sebagai wahyu dari Allah sudah teruji kebenaran dan
otentitasnya, sehingga kebenarannya mutlak. Sedangkan mengenai hadis, para
ulama telah berusaha melakukan kritik internal dan eksternal, sehingga muncullah
kategorisasi hadist sahih, hasan, dan dhaif jika dilihat dari segi kualitasnya,
atau hadis maqbul dan mardud dilihat dari segi hujjah atau pengalamnnya, serta
hadits mutawatir dan ahad ditinjau dari segi kuantitasnya, dan seterusnya.
Para
ahli menyatakan bahwa ketika teks hadir di depan seseorang, maka teks menjadi
berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika ia membacanya dan berusaha menangkap
maknanya. Makna itu sendiri berada dalam teks (the world of the texts), dalam pengarang (the world of the author), dan dalam benak pembacanya (the world of the reader). Ketiga-tiga
merupakan titik pusaran yang saling mendukung atau bisa jadi “membelokkan”
dalam memahami sebuah teks.
Bagaimana
manusia bisa “memahami ide Tuhan” yang tertuang alam teks nash dengan benar,
sementara ia sebagai manusia tidak mampu berhadapan langsung denganNya (the world of the Author) untuk
menanyakan secara langsung apa yang dikehendakiNya. Tuhan adalah immateri,
sementara manusia berada dalam alam materi dan empiris. Di samping itu,
pemaknaan yang muncul dari Alquran sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur
dan bahasa pihak pembacanya (The word of
the reader). Disinilah maka logis saja bila muncul brebagai ragam
penafsiran (Islam Interprestasi) dan pendapat selalu berkembang secara dinamis
mengenai the mind of Gad yang ada di balik firman-firmanNya. Perbedaan-perbedaan
tersebut antara lain disebabkan karena segi metodologinya.
Karena itu sangat logis kalau para ulama
mengakhiri dengan ungkapan wallahu a’lam
bi al-shawab bi muradih, yakni pada akhirnya hanya the speaker (Allah) yang
paling tahu persis apa yang dikehendaki dengan firman-firmanNya itu. Dengan
demikian Islam interprestasi itu sendiri bukan wahyu, tetapi ia merupakan
produk pemikiran manusia yang qabilun li
al-niqasi wa al-taghyir.
Proses dan produksi penafsiran yang
macam-macam tersebut direalisasikan dan dilakukan serta diaktualisasikan oleh
umat Islam dalam perjalanan sejarahnya (Islam Historis), sehingga menurut
pandangan umat Islam pada zamannya dan dalam konteks geografis dan
sosio-kultural tertentu, hasil penafsiran itu dipandang relevan, sementara bagi
generasi berikut atau dalam konteks geografis dan sosio cultural lainnya bisa
jadi ia anggap sebagai kurang relevan atau perlu penyempurnaan, sehingga perlu
rekonstruksi metodologis. Kesadaran semacam ini mendorong seseorang untuk
bersikap kritis, toleran dan terbuka terhadap interprestasi dan pendapat orang
lain.
Dengan demikian, Islam ideal adalah
bersifat normative, masih bersifat preskripsi-preskripsi, norma-norma dan
nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci. Sedangkan Islam historis
merupakan Islam actual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan
praktik yang pada kenyataannya eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan
tempat yang berbeda-beda. Keduanya (Islam
ideal dan actual) bukan dipahami secara dikotomis, tetapi merupakan
hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara man of idea dan man of action.
Pada zaman modern, Islam berada dalam
ujian yang sangat berat, terutama ujian epistemologis. Wahyu diakui sebagai
pembimbing, petunjuk jalan hidup manusia, tetapi ia akan menjadi alegori belaka
jika tanpa menyentuh realitas sosial dan kultural manusia.
Para ahli menyatakan bahwa wahyu hanya
berisi seperangkat nilai, dan suatu nilai tampak bagaikan “legenda” atau
dongeng. Ia mampu melampaui lintas waktu, tempat, fungsi dan manfaat. Nilai
luhur atau moral tidak akan mampu membangun suatu peradaban. Peradaban hanya
bisa dibangun oleh pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam teori-teori atau sistem
yang berdaya kontekstual, aktual dan operasional, walaupun teori atau kerja
ilmiah tidak terhindarkan dari kelemahan-kelemahan, kontradiksi, reduksi, dan
relativitas, karena keberadaanya tidak mampu melampaui batas waktu, tempat dan
fungsi.
Setiap nilai luhur harus segera diikuti
dengan penciptaan system sebagai instrument untuk mengimplementasikan nilai
tersebut dan sekaligus sebagai wahana untuk memecahkan berbagai masalah
kehidupan. Namun demikian, suatu system tanpa “roh” nilai luhur akan
menyesatkan dan menghancurkan kehidupan.
Mereka katakan bahwa apresiasi atas
agama harus dilakukan penyeberangan (i’tibar) ke sebalik ungkapan-ungkapan
linguistiknya-kemudian dilakukan penafsiran. Menurut Ibnu Sina, ajaran para
nabi itu adalah alegori dan simbol-simbol, yang dimaksud sebenarnya harus
dicari dengan “menyeberang” di balik itu semua melalui penafsiran metaforis.
Ajaran formal nabi itu ibarat bungkus, sedangkan kebenaran yang sesungguhnya
ada dibalik kebenaran pembungkusan itu. Melalui strategi I’tibar akan
tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang sangat dinamis. Dinamisme itu
berada di antara Islam ideal dan Islam aktual.
Dilihat dari pemahaman tentang Islam
(Ideal, Interprestasi dan Historis), maka semua tipologi filsafat pendidikan
Islam tersebut diatas terdapat titik temu pada dimensi Islam idealnya, tetapi
berbeda dalam dimensi interprestasi dan historisnya.
1. Perenial
esensialis salafi : Islam ideal, interpretasi, dan historis salafi.
2. Perenial
esensialis mazhabi : Islam ideal, interpretasi dan historis klasik bahkan
pertengahan.
3. Modernis
: Islam ideal, interpretasi dan historis kekinian
4. Perenial
esensialis kontekstual falsifikatif : Islam ideal, mengaitkan interpretasi dan
historis dulu dan kini.
5. Rekonstruksi
sosial : Islam ideal, interpretasi dan historis kini dan yang akan dating
0 komentar:
Posting Komentar