26.
Inovasi Pendidikan
Berstatus
Proyek
UPAYA
pengembangan kurikulum memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak
mudah terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi pendidikan dan
pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.
Apalagi inovasi itu pada umumnya cenderung bersifat top-down innovation melalui strategi power coercive atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi
ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan atau sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya.
Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mendidik,
melatih, mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta
itu baik untuk kepentingan sekolah. Dan sekolah tidak punya otoritas untuk
menolak pelaksanaannya.
Idris H. M Noor[1]
menyatakan bahwa banyak contoh inovasi yang telah dilakukan selama beberapa
decade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Sistem Modul dan pembelajaran, Contextual Teaching and
Learning, Quantum Teaching and Learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang
diciptakan itu banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu
saja. Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu
berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu, pada saat
diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak mendapat penolakan
(resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tapi
juga para pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep.
Sebagai kebaikan dari Top-Down Innovation adalah model inovasi
yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi dan inisiatif dari sekolah,
guru atau masyarakat yang umumnya disebut model Bottom Up Inovation. Model ini jarang dilakukan di Indonesia selama
ini karena system pendidikan yang cenderung centralistis walaupun sudah
diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Inovasi Kurikulum yang bersifat top-down ternyata banyak menghadapi
kendala, antara lain adalah: (1) perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi;
(2) Konflik dan motivasi yang kurang sehat; (3) lemahnya berbagai faktor
penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan;
(4) keuangan (financial) yang tidak terpenuhi; (5) penolakan dari sekelompok
tertentu atas hasil inovasi; (6) kurang adanya hubungan social dan publikasi
(Subandiyah 1992).
Alasan
Penolakan Inovasi
Di samping itu, ada beberapa hal mengapa
inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di
lapangan atau di sekolah sebagai berikut. (1) Sekolah atau guru tidak
dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi
tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau
sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu
dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.
(2) Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat
sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakanj
bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Di samping itu, system yang mereka
miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik
sesuai dengan pikiran mereka. (3) Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain
terutama dari pusat belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami
oleh guru dan peserta didik. Hal ini senada dengan pernyataan Munro (1987)
bahwa “Mismatch between teacher’s intention and practice is important barrier
to the success of the innovatory program”. (4) Inovasi yang diperkenalkan dan
dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek, di
mana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini
bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau financial dan keuangannya sudah
tidak ada lagi. Dengan demikian, pihak sekolah atau guru hanya terpaksa
melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para innovator di pusat dan tidak
punya wewenang untuk mengubahnya.
Faktor Utama dalam Inovasi Pendidikan
Lanjut Idris H. M. Noor lagi[2]
bahwa untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas,
faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah
guru, peserta didik, kurikulum, dan fasilitas dan program / tujuan.
Guru,
sebagai
ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat
berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru
sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya
di luar kelas. Guru harus pandai membawa peserta didiknya kepada tujuan yang
hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara
lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai
dengan situasi dan kondisi peserta didik, hubungan antar individu, baik dengan
peserta didik maupun antarsesama guru dan unsure lain yang terlibat dalam dalam
proses pendidikan seperti administrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha
serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri
Dengan
demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterampilan guru mulai dari perencanaan
inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran
yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan
mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan
kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap
inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus
dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenagnan dan
kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan,
gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas
sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagai
motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987).
Peserta
Didik, sebagai objek utama dalam pendidikan,
terutama dalam proses belajar mengajar, peserta didik memegang peran yang
sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik dapat menentukan
keberhasilan belajar melalui penggunaan inteligensia, daya motorik, pengalaman,
kemauan dan komitment yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini
bisa terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi
pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan daripada
perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa
yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan
dengan konsekuen. Peran peserta didik dalam inovasi pendidikan tidak kalah
peningnya dengan peran unsure-unsur lainnya, karena peserta didik bisa sebagai
penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk dan
bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan
sampai dengan penerapannya, peserta didik perlu diajak atau dilibatkan sehingga
mreeka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga
mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
Kurikulum
pendidikan,
lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pembelajaran dan
perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak
dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaann
inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsure-unsur
lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti
program-program yang ada didalamnya, maka inovasi pendidikan tidak akan
berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam
pembaruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum
atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaruan pendidikan dan tidak mustahil
perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
Fasilitas,
Fasilitas
termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam proses
pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaruan
pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi
kelangsungan invoasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka
pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan
baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar, merupakan hal yang
esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaruan pendidikan. Oleh karena itu,
jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan.
Lingkup
Sosial Masyarakat,
dalam
menerapkan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat
dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif,
dalam pelaksanaan pembaruan pendidikan. Masyarakat secara langsung atau tidak
langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang
ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih
baik, terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan
masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa
merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan
masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaiknya akan membantu innovator dan pelaksana inovasi dalam
melaksanakan inovasi pendidikan. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar