SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

26.Inovasi Pendidikan Berstatus Proyek

Selasa, 09 September 2014 |



26.
Inovasi Pendidikan
Berstatus Proyek



UPAYA pengembangan kurikulum memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi inovasi itu pada umumnya cenderung bersifat top-down innovation melalui strategi power coercive atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mendidik, melatih, mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan sekolah. Dan sekolah tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Idris H. M Noor[1] menyatakan bahwa banyak contoh inovasi yang telah dilakukan selama beberapa decade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Sistem Modul dan pembelajaran, Contextual Teaching and Learning, Quantum Teaching and Learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan itu banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja. Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu, pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep.
Sebagai kebaikan dari Top-Down Innovation adalah model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya disebut model Bottom Up Inovation. Model ini jarang dilakukan di Indonesia selama ini karena system pendidikan yang cenderung centralistis walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Inovasi Kurikulum yang bersifat top-down ternyata banyak menghadapi kendala, antara lain adalah: (1) perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi; (2) Konflik dan motivasi yang kurang sehat; (3) lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan; (4) keuangan (financial) yang tidak terpenuhi; (5) penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi; (6) kurang adanya hubungan social dan publikasi (Subandiyah 1992).

Alasan Penolakan Inovasi
Di samping itu, ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut. (1) Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka. (2) Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakanj bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Di samping itu, system yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka. (3) Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta didik. Hal ini senada dengan pernyataan Munro (1987) bahwa “Mismatch between teacher’s intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program”. (4) Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek, di mana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau financial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para innovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk mengubahnya.

Faktor Utama dalam Inovasi Pendidikan
Lanjut Idris H. M. Noor lagi[2] bahwa untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas, faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum, dan fasilitas dan program / tujuan.
Guru, sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa peserta didiknya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, hubungan antar individu, baik dengan peserta didik maupun antarsesama guru dan unsure lain yang terlibat dalam dalam proses pendidikan seperti administrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri
Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterampilan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenagnan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagai motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987).
Peserta Didik, sebagai objek utama dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar mengajar, peserta didik memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan inteligensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitment yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan daripada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekuen. Peran peserta didik dalam inovasi pendidikan tidak kalah peningnya dengan peran unsure-unsur lainnya, karena peserta didik bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, peserta didik perlu diajak atau dilibatkan sehingga mreeka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pembelajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaann inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsure-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada didalamnya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembaruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaruan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.


Fasilitas,
Fasilitas termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan invoasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar, merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan.
Lingkup Sosial Masyarakat,
dalam menerapkan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaksanaan pembaruan pendidikan. Masyarakat secara langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik, terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaiknya akan membantu innovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan. Semoga!


[1] Idris H. M Noor
 (Balitbang Depdiknas, 2001) dalam makalahnya “Sebuah Tinjauan Teoritis Tentang Inovasi Pendidikan di Indonesia”
[2] (Balitbang Depdiknas, 2001)

0 komentar:

Posting Komentar