33
ANAK ZAMAN (Wasiat “Mbah
Ing Tut”
Tentang
Hidup Layak)
Kata Mbah, “Jika negeri ini betul-betul serius ingin mewujudkan harapan anak bangsa
mendapatkan kehidupan yang layak pada masanya. Kesungguhannya dapat terlihat
dari seberapa konsisten ia mendidik dan mempersiapkan masa depan hidup dan kehidupan
mereka secara prima agar bisa eksis dan survive dalam ketatnya persaingan hidup
yang menglobal dan kompetitif.”
Mendengarkan wasiat
Mbah Ing Tut, kita jadi teringat dengan pesan yang pernah disampaikan oleh
Syaidina Ali bin Abi Thalib ra:“Didiklah
dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, mereka akan
hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu.”
Sepupu sekaligus menantu Rasulullah
Saw. Tokoh yang kedudukannya disisi Rasulullah Saw, digambarkan seperti kepala
pada tubuh beliau. Dan keistimewaan dalam hal ilmu, Rasulullah Saw bersabda,” Aku adalah kota ilmu sedang Ali adalah
pintunya.” .
“Didiklah
dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, mereka akan
hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu.”
PESAN yang
disampaikan Khalifah keempat ini tentunya menyadarkan kita bahwa hakikat
pendidikan adalah meyiapkan anak untuk kehidupan yang layak dimasa depan.
Bagaimana anak dapat tetap bertahan dalam persaingan yang ketat. Bagaimana anak
dapat hidup layak dengan mengelola dan memaksimalkan potensi dasar yang mereka
bawa sebagai modal layak hidup.
Jika
kita sederhanakan tujuan pendidikan anak manusia seperti yang digambarkan di
atas bahwa, “Setiap anak terlahir atas (dalam
keadaan) fitrah, ...Fitrah pada penggalan hadits ini merupakan bekal hidup
anak, agar mereka layak hidup. Karena fitrah sejatinya adalah potensi terbaik
manusia, yang harus dijaga dengan cara terbaik. Bagi orang tua fitrah sekaligus
merupakan pesan genetik yang disampaikan Sang Pencipta. Fitrah diartikan juga
sebagai naluri berketuhanan. Yaitu sebuah naluri yang cenderung mengakui bahwa
ada kekuatan dan kekuasaan yang Maha Dahsyat dalam hidupnya. Naluri
berketauhid-an agar tetap berada dijalan lurus, jalan kebenaran, jalan yang
dapat menghantar kita menuju kebahagiaan hidup kini dan bahagia dikehidupan
nanti. Naluri bertauhid merupakan potensi yang dipersiapkan Sang Pencipta agar
hamba-Nya dalam melaksanakan seluruh aktivitas dan diamnya dengan senantiasa
melibatkan-Nya. Bagaimana kita mampu mencintai dan membenci karena Allah,
memberi dan mengekang karena Allah, berbuat dan diam karena Allah. Bagaiman
kita bersyukur ketika menerima anugerah dan bersabar ketika ditimpa musibah, karena
Allah. Bagaimana kita menyikapi kesuksesan dan kegagalan. Bagaimana kita
memahami rencana, proses dan tujuan setiap tahapan kehidupan, bukan
berorientasi hanya pada salah satunya.
Firman Allah,” Dan Allah telah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul Engkau Tuhan kami, kami
menjadi saksi.”
Ayat
di atas menjelaskan tentang penegasan Allah kepada manusia disaat dalam
kandungan tentang ketuhanan. Tentang siapa yang mesti disembah dengan
sebenarnya.
Firman
Allah swt:”(tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah, (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Ar-Rum:30);
merupakan fitrah yang berarti jalan yang
lurus (Islam) Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa: “Setiap bayi dilahirkan atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR Abu Hurairah ra);
Merupakan
fitrah yang berarti suci tanpa dosa. hadist
ini menjelaskan bahwa setiap bayi yang lahir kondisinya dalam keadaan suci
tanpa dosa dan dalam keadaan tunduk kepada Allah. Hadist ini juga menjelaskan
bahwa fitrah bermakna potensi dasar (gharizah) diantaranya potensi dasar bertauhid serta minat dan bakat.
Rasulullah bersabda, “Bekerjalah, maka setiap orang dimudahkan untuk
mengerjakan apa yang memang diciptakan untuknya.”
Sebagian
juga berpendapat bahwa gharizah juga berisi insting/nafsu asli/pendorong/motif,
naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat bawaan yang mereka
miliki dan bawa sejak lahir.
Karena
dalam Islam tidak dikenal istilah “dosa
warisan” seperti dalam ajaran Nasrani, bahwa manusia lahir mewarisi dosa
Adam dan Hawwa, ketika keduanya melakukan dosa melanggar larangan Allah agar
tidak memakan buah khuldi yang
terusir dari surga, kemudian datang Yesus sang juru selamat dia rela disalib
demi menbus dosa manusia.
Di dalam
Islam ada moment khusus yang berkenaan dengan fitrah, yaitu adanya hari Raya/
Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah (kesucian) tanpa dosa bagaikan
bayi yang baru terlahir.
SETIAP KITA UNIK, sejak lahir bahkan jauh sebelum kelahiran kita, setiap kita
telah dibekali tanda-tanda keunikan sebagai individu. Karena itu setiap kita
berbeda. Perbedaan merupakan salah satu potensi yang dapat menjadi bekal untuk
meraih kesuksesan dan kebahagian hidup di dunia dan akhirat kelak. Namun kadang
kesuksesan dan kebahagian pun sering dimaknai secara semu, keliru kadang salah
kaprah. Kesuksesan sering dipahami sebagai sebuah pencapaian terhadap terhadap
tujuan-tujuan hidup, tetapi mengabaikan apa yang dicapai dan bagaimana upaya
pencapaiannya. Sukses dipahami sebagai keberhasilan mencapai pendidikan
tertentu, pekerjaan tertentu, jabatan tertentu, posisi tertentu. Sukses juga
dipahami sebagai keberhasilan mengumpulkan harta kekayaan. Hematnya sukses
dianggap kemampuan mencapai tujuan, apa pun dan bagaimana pun caranya.
Tanda-tanda keunikan-keunikan yang
dibawa sejak lahir tersebut sekaligus penjadi pesan yang disampaikan Allah SWT
bagi orang tua, guru dan lingkungan dalam membantu kita menemu-kenali potensi
diri. Dalam upaya menumbuh-kembangkan bakat, minat dan
kecenderungan.Tanda-tanda ini merupakan isyarat yang disampaikan oleh Sang
Pencipta kepada orang tua, guru dan lingkungan dan lebih-lebih kita sendiri
sebagai penerima amanah. Bukankah diri kita adalah amanah., yang harus kita
jaga, pelihara dan kembangkan. Pesan-pesan genetik ini akan dapat ditangkap,
dipahami dengan jelas jika sampai kepada orang tua yang bijak, guru yang baik
dan lingkungan yang peduli. ‘Ingarso
Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Hanyani’
0 komentar:
Posting Komentar