SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



30.
Rumusan Filsafat
Pendidikan Islam Yang Masih Rapuh


PARA AHLI telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995) misalnya, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara didaktis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat pendidikan model Barat, sehingga lebih menekankan pada “transmisi pengetahuan agama.” Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
          Ma’arif (1993) setelah menyajikan dialog Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama tampak pada adanya bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki posisi fardu’ain, dan ilmu-ilmu sekular yang paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakkan. Disamping itu, kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorientasi ke langit (orientasi transedental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu, penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembauran pendidikan Islam.
          Buchori (1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jati diri, yang antara lain disebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern  pada persoalan-persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat disekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi. Demikian pula riset-riset di dalamnya.
Berbagai keprihatinan pada pakar tersebut merupakan indikasi mengenai pentingnya konstruksi filsafat pendidikan Islam, karena bagaimanapun filsafat bukanlah penyelidikan yang terpisah dan eksklusif, tetapi justru merupakan bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Atau meminjam tema Lodge (1947) bahwa “Life is education and education life.” Sebagai persoalan hidup, maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem pemikiran filsafat tersebut di atas, yang menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika, karena probelama yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada dalam lapangan filsafat tesebut. Karena itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah sangat erat.
Eratnya hubungan antara filsafat dan pendidikan ini diakui oleh Kilpatrick (1957) sebagai berikut : “Philosophizing and education are, then, but two stages of the sama endeavor; philosophizing to think out value and idealism, education to realize these in life, in human personality.
Dengan demikian, berfilsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Berfilsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah usaha merealisasi nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia.
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka dalam lapangan metafisika misalnya, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan. Dalam lapangan epistemologi, antara lain diperlukan penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan sebagai serangkaian kegiatan atau sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha mengenal dan memahami pengetahuan. Agar para peserta didik berhasil dalam mencapai tujuan itu, maka secara bertahap mereka perlu mengenal hakikat pengetahuan. Dalam lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan pendidikan. Di samping itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, cultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Dan dalam lapangan logika, sebagai cabagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki seorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
Karena itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan keharusan, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan pokok dan mendasar yang dihadapi oleh pendidikan. Brubacher (1955) sebagaimana dikutip oleh Ozmon & Craver (1955) menyarankan agar persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan terjadi :
1.    Pendidikan akan terapung-apung (tanpa tujuan);
2.    Tujuan-tujuan pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan tidak menunjang kesetiaan;
3.    Ukuran-ukuran dasar pendidikan sangat menjadi sangat longgar;
4.    Ketidakmenentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat;
5.    Sekolah-sekolah akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak mampu memupuk apresiasi terhadap otoritas dan control; dan
6.    Sekolah akan menjadi sangat sekular dan mengabaikan agama.
Ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan Islam itu mencakup berbagai dimensi, yaitu
Pertama, dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-sumber atau semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu sendiri.
Kedua, dimensi fondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar dan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (Komponen-komponen pokok aktivitas) pendidikan Islam.
Ketiga, adalah dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu sendiri dalam mengambangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem pendidikan Islam. 

0 komentar:

Posting Komentar