SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



24.
Tipologi Rekonstruksi Sosial
Secara Aksiologis - Epistemologis-Ontologis

Konstruksi filosofis dari tipologi rekonstruksi sosial adalah :
1.    Secara epistemologis, akal-budi manusia perlu ditumbuh kembangkan secara berkelanjutan dalam proses pendidikan Islam, baik melalui tarbiyah, ta’lim, irsyad, tadris dan ta’dib maupun taqarrub, agar semakin bersikap rasional-kritis, kreatif, mandiri, mandiri, bebas dan terbuka, bersikap rasional-empiris, objektif-matematis, dengan tetap memiliki komitemen terhadap nilai-nilai amanah dan tanggung jawab individu dan sosial, sikap solidaritas terhadap sesame serta terhadap makhluk lainnya, dan mampu mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya dihadapan Tuhannya;
2.    Secara ontologis, realitas bangsa Indonesia adalah pluralistic, yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik-konflik, bahkan di dalam tubuh masyarakat Islam sendiri terdapat keragaman internal. Dengan bertekad untuk ber-Bhenika Tunggal Ika, maka moral hidup ditampilkan dalam bentuk sikap keterbukaan, toleransi dan demokratis, mampu membuat overlapping concensus antaretnis, ras dan antaragama, serta berusaha melakukan penggalian secara berkelanjutan terhadap nilai-nilai agama yang universal sebagai faktor integrative. Di sisi lain, realitas bangsa Indonesia berhadapan dengan kemajuan iptek, era globalisasi, serta percepatan arus perubahan sosial. Suasana tersebut menuntut terwujudnya sumber daya manusia yang unggul, baik dalam aspek intelektual, profesionalitas, maupun moral dan spiritual; dan
3.    Secara aksiologis perlu diakui adanya keragaman tata nilai antaragama dan mungkin juga antaretnis. Dalam konteks kehidupan nasional dan juga global, tumpang tindihnya kesepakatan tata nilai mesti terjadi, tetapi perlu didikkan untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban asasi manusia, dengan bertolak dari satu keyakinan universal dan adil bahwa yang baik akan memperoleh pahala, dan yang jahat akan memperoleh siksa Tuhan.
Berdasarkan itu, maka tipologi rekonstruksi sosial dikembangkan dengan bertolak dari kajian hakikat manusia sebagai hamba Allah dan khalifahNya di bumi. Sebagai hambaNya, ia mempunyai potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fitrah, sehingga ia siap mengadakan hubungan vertical denganNya (habl min Allah) sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui ketuhanan Yang Maha esa. Sebagai khalifahNya, ia memiliki potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimiensi al-nafsu, al-‘aql dan al-qalb (Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan horizontal (habl min al-nas), yaitu hubungan antara sesame ciptaanNya (alam dan sesama manusia), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi sosial secara berkelanjutan untuk mencapai ridhaNya. Habl min Allah dikembangkan dari konsep tauhid uluhiyah, sedangkan habl min al-nas atau rekonstruksi sosial dikembangkan dari konsep tauhid Rububiyah, Mulkiyah, dan Rahmaniyah. Ilmu yang dikembangkan menyangkut ilmu-ilmu tanzili (yang bersumber dari wahyu) dan ilmu-ilmu kauni (yang bersumber dari alam semesta). Dalam konteks pendidikan Islam, kedua ilmu tersebut dikembangkan melalui pendekatan taqarrub, ta’allum, tarbiyah, tadris, irsyad, dan ta’dib.
Konsep tersebut diperkuat oleh temuan Baharuddin (baharuddin, 2001), bahwa fitrah manusia menampilkan dua sisi sekaligus, yaitu :
1.    Sisi esensialnya yang menampilkan sisi spiritual-transsendental, dan
2.    Sisi eksistensialnya yang menampilkan sisi empiris-historis.
Dalam konteks filsafat pendidikan Islam dapat dikembangkan menjadi “hakikat pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan fitrah manusia. Pengembangan sisi pertama terkait dengan teosentris (habl min Allah), sisi kedua terkait dengan rekonstruksi sosial (habl min al-nas).
 Dari kelima tipologi tersebut diatas, dapat ditegaskan bahwa masing-masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta, informasi, pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang dan terkandung dalam Al-quran dan al-sunnah. Perbedaan dari masing-masing tipologi tersebut terletak pada tekanannya dalam pengembangan wawasan kependidikan Islam dari rujukan utama tersebut.
Tipologi perennial-esensial salafi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Sementara itu, tipologi parenial esensialis mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
Tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dna kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Tipologi parenial esensialis kontekstual falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan halan melakukan konteksualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan  wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekologi serta perubahan social yang ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah) dan sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
Sedangkan tipologi rekonstuksi social lembih meonjolkan sikap proaktif dan antisifatifnya, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembanga masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insane dan ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
Dilihat dari kelima tipologi tersebut maka Jalal (1977) al-Jamaly (1986), al-Nahlawy (1979), Muhammad Quthb (1984), dan Ibnu Taimiyah (1986) sebagaimana uraian diatas, barangkali dapat dikategorikan sebagai tipologi parenial sesensialis salafi. Al-Syaibani (1979) dapat dikategorikan sebagai perennial esensialis kontekstual falsifikatif, demikian pula Hasan Langgulung bearangkali dapat dikategorikan sebagai tipologi parenial esensialis kontekstual falsifikatif, pondok pesantren yang bersifat isolative tradisional dapat dikategorikan sebagai perennial esensial mazhabi, sedangkan ‘Abud (1977) barangkali dapat dikategorikan sebagai tipologi modernis. Kata “barangkali” tersebut menggarisbawahi perlunya uji lebih lanjut akan substansi dan konsistensi pemikirannya. Sedangkan Noeng Muhadjir dikategorikan sebagai tipologi rekonstruksi social.
Bagi bangsa Indonesia, yang menjadikan Pancasila sebagai asas pandangan hidupnya, maka akan bersumber dari falsafah Pancasila dalam membangun filsafat pendidikannya, yang tidak menutup kemungkinan untuk melengkapi bangunan filafat pendidikannya dengan mengadopsi aliran-aliran filsafat pendidikan Barat di aas. Sebagaimana pernyataan Arbi (1988), bahwa “Sistem persekolahan yang terdapat secara luas di dunia dewasa ini, termasuk Negara kita (Indonesia), sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Barat itu, paling sedikit dalam aspek struktr formalnya.” Dan menurut Harahap (1983), bahwa “Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, agak berorientasi kepada Amerika Serikat.”
Sungguhpun demikian, bangunan system pendidikan nasional juga tidak bias dilepaskan dair kontribusi para pemikir pendidikan Islam di Indonesia, karena para pelakunya kebanyakan berasal dari kalangan umat Islam. Brnadib (1983) menyatakan bahwa: “Oleh karena Islam bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia, maka ajaran-ajarannya memberikan landasan konseptual bagi pendidikan dan pendidikan nasional. Lebih-lebih bagi Indonesia yang dalam gerak pelaksanaan pembangunan menghendaki ridha Tuhan Yang Maha Esa, dapatlah dikembangkan konsep pendidikan nasional menurut Islam”.
Dari berbagai uraian tersebut diatas dapat ditegaskan bahwa tipologi Islam yang bercorak perenial esensialis salafi, perenial esensialis mazhabi, modernis perenial esensialis konteksutal falsifikatif dan rekonstruksi social. Perenial esensialis dan perennial esensial mazhabi lebih menonjolkan tugas pendidikan Islam sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan warisan nilai dan budaya masa lalu dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga lebih bersifa regresif dan konservatif. Tipologi modernis lebih menonjolkan tugas pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan subjek didik agar dapat berkembang secara optimal, dan dapat melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intelegen dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan pada masa ssekarang. Hanya saja tipologi ini lebih menonjolkan kepentingan individual, kompetitif dan kurang menonjolkan aspek tanggung jawab kemasyarakatan. Tipologi parenial esensialis kontekstual falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu (pelestarian nilai dan budaya masa lalu) dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada. Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam masa sekarang atau kekinian dan kurang menonjolkan sikap proaktif dan antisipatif terhadap persoalan-persoalan yang hendak muncul dimasa depan. Sedangkan tipologi rekonstruksi sosial  lebih menekankan pada tugas pendidikan sebagai upaya pendidikan sebagai upaya pengembangan aspek individual dan sekaligus pengembangan aspek tanggung jawab kemasyarakatan, serta lebih bersikap proaktif dan antisipatif dalam menghadapi permasalahan bangsa Indonesia di masa depan.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tipologi renkonstruksi sosial cukup menarik untuk dikembangkan. Hanya saja tipologi ini perlu dikembangkan kearah yang berlandaskan tauhid. Sebagai landasan pemikirannya adalah bahwa : pertama, bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar negara, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan keharusan bangsa Indonesia untuk teosentris. Dalam konteks ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang mencakup konsep-konsep tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkiyah, dan rahmaniyah; Tauhid uluhiyah bertolak dari pandangan bahwa tiada sesuatu pun yang patut disembah kecuali hanya Allah semata, penyembahan kepada selainNya bersifat syirk. Ini berimplikasi pada proses pendidikan yang lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir kritis tanpa terbelenggu oleh produk-produk pemikiran atau temuan manusia yang bersifat realatif, sehingga akan menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional-kritis, kreatif, mandiri, bebas, dan terbuka. Tauhid rububiyah bertolah dari pandangan bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya. Ala mini diserahkan oleh Allah kepada manusia (sebagai khalifah) untuk diolah, dan manusia dituntut untuk menggali dan menemukan tanda-tanda keagungan dan kebesaranNya yang serba teratur dan terpelihara di alam semsta. Ini akan berimplikasi pada proses pendidikan yang lebih banyak member kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen di laboratorium dan sebagainya, sehingga akan menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional empiris, objektif empiris, objektif matematis dan professional. Tauhid mulkiyah bertolak dari pandangan bahwa Allah-lah Pemilik dan Penguasa manusia serta alam semesta dan Penguasa di hari kemudian. Ini akan berimplikasi pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembetukan nilai-nilai amanah dan tanggung jawab, sehingga akan menghasilkan sikap amanah dan tanggung jawab individu dan social (kemasyarakatan) serta tanggung jawabnya terhadap segala amal perbuatannya di muka bumi. Tauhid rahmaniyah bertolak dari pandangan bahwa Allah Maha Rahman (pengasih) dan Rahim (penyayang). Maha pengampun, pemaaf dan sebagainya. Ini akan berimplikasi pada proses pendidikan yang menekankan pada sikap telaten dan sabar serta terwujudnya sikap kasih saying, toleran, dan saling menghargai antar sesama manusia dan terhadap makhluk lainnya. Sehingga akan melahirkan sifat dan sikap solidaritas terhadap sesame serta makhluk lainnya yang ada di alam sekitarnya.
Kedua, bangsa Indonesia hidup dalam pluralism yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik-konflik. Namun Pengembangan Pendidikan Islam berusaha menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yang mampu membentuk manusia yang memiliki kesalehan pribadi sekaligus kesalehan social, yakni melalui daya kreativitasnya memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT.
Ketiga, terdapat beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa depan, yang menggarisbawahi perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan peserta didik yang unggul dalam iptek, produktif dan kompetitif dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bersama dan kesadaran bersama dalam alam demokratis.

0 komentar:

Posting Komentar