SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

19. Manusia dan Potensinya

Senin, 08 September 2014 |



19.
Manusia dan Potensinya
(fitrah dan gharizah)
Firman Allah swt:”(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
 tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum:30);
dan
Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa:
“Setiap bayi dilahirkan atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR Abu Hurairah ra);

MANUSIA, dengan segala potensi dan fitrahnya. Serta upayanya untuk menjaga agar tetap dalam fitrah. Tetap dalam kesuciannya tanpa dosa, tetap dalam kecenderungannya berbuat baik, mengikuti jalan yang lurus, memiliki naluri berketuhanan. Naluri mengenali Sang Pencipta yang berhak disembah. Pencipta yang telah membekalinya memiliki segala kemampuan, diantaranya kemampuan berkehendak dan beringinan, bertumbuh dan berkembang. Belajar dan bekerja sesuai dengan minat, bakat dan potensi dasar (gharizah) mereka yang unik.
          Manusia diciptakan dengan segala kemampuan, dengan segala kehendak dan keinginan. Namun kemampuan dan kehendak tersebut bukan tanpa batas. Kehendaknya telah dibatasi oleh kehendak Yang Maha berkehendak, kehendak yang tidak pernah menzalimi kehendak manusia. Agar manusia menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan.
          Manusia menjadikan Sang Penciptanya sebagai tempat mengadu. Tempat berkeluh kesah ketika ditimpa masalah dan musibah. Tempat memohon pertolongan ketika terancam bahaya. Minta dibukakan pintu ketika semua pintu tertutup. Minta ditunjuki jalan ketika menemui jalan buntu.

“Dan, apabila mereka diliputi ombak-ombak besar yang bergulung-gulung, mereka berdoa kepada Allah dengan ikhlas.”
(QS Luqman:32)

Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.Setiap manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Orang tua dan lingkunganlah yang membuat mereka menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.
          Manusia memiliki potensi dan fitrah secara mandiri, Allah mempersaksikan kembali tentang keesaan-Nya melalui potensi yang dianugerahkan kepada mereka, yakni akal dan pikiran, penglihatan dan pendegaran serta indra lainnya. Hati, nurani dan naluri. Naluri-naluri (al-ghara’iz), yaitu naluri-naluri yang tidak dapat diindra mata, namun terdapat pada manusia dan menuntut pemenuhan. Al-ghara’iz dapat berupa naluri mempertahankan eksistensi dan berorientasi pada diri sendiri (gharizah baqa’), seperti rasa ingin dihargai, takut bila merasa terancam, ragu, bimbang, panik dsb. Bisa pula naluri untuk melanjutkan keturunan (gharizah nau’), munculnya rasa cinta kepada lawan jenis, kasih sayang kepada orang tua, anak isteri, saudara dsb. Bisa juga naluri untuk berbuat baik, naluri untuk mensucikan diri, naluri bertauhid (gharizah tadayun), seperti munculnya rasa takjub saat melihat sesuatu yang Agung atau naluri beragama tauhid.
          Alam semesta beserta isinya adalah ruang belajar manusia, ruang belajar selanjutnya setelah memahami diri dan tujuan kehidupannya. Memahami diri, menemu-kenali potensi diri kemudian menumbuhkan-kembangkannya menjadi kemampuan dan beragam kecerdasan agar dapat mengelola potensi dirinya, potensi lingkungannya, potensi hamparan alam semesta ini. Asal muasal alam semesta, tujuan penciptaan, bagaimana memelihara, menjaga, menghargai, dan memanfaatkannya. Inilah hakikat ruang belajar manusia, bagaimana ia dapat membaca diri, sesama, lingkungan dan alam semesta dengan senantiasa melibatkan Sang Pencipta. Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum-Nya (hukum alam) sebagai sunnatullah yang disampaikan melalui manusia-manusia pilihan, utusan-utusan, rasul-rasul dan nabi-nabi agar manusia dapat mengetahui.

Bagaimana manusia bercita-cita?
Ilmu itu seperti cahaya,
dapat memperjelas sudut pandang kita yang kabur
dalam membedakan baik-buruk; bijak-bajak;
peduli-acuh; tegas-keras; lemah-lembut;
santun-sombong; hak-batil.
(aemsya)

SETIAP MANUSIA mempunyai cita-cita dan harapan hidup. Sebagai manusia dalam mencapai cita-cita ada yang harus meningkatkan kemampuan diri, berlatih tanpa letih. Berusaha dengan kesungguhan mencapainya, niat yang lurus dan melibatkan Allah. Kemudian dalam meningkatkan kemampuan diri bersamaan dengan mengetahui dan menyadari batas kemampuan, talenta dan potensi dirinya. Dalam pencapaiannya harus memikirkan keselamatan diri dan orang lain serta kebaikan lingkungan. Tapi ada juga  manusia yang menunjukkan sisi hewaninya dengan menjatuhkan orang lain dan merusak lingkungan untuk mencapai keinginannya. Bagaimana manusia beraktivitas? Bagaimana manusia meningkatkan kecakapan hidup (meniru dan mencipta)? Bagaimana Manusia Bertanggung Jawab (diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama)? Bagaimana manusia berpikir? Bagaimana manusia mengolah jiwa dan raga? Bagaimana manusia berkesenian? Bagaimana manusia mengasah kepekaan? Bagaimana manusia membebaskan diri dari jeratan tujuan pendidikan yang semu atau bahkan keliru?
Pemahaman sebagian besar dari kita tentang sekolah bisa jadi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya sekolah sebagai suatu lembaga, sekolah sebagai sebuah upaya atau bahkan sekolah sebagai sebuah fenomena. Sekolah sebagai lembaga, (negeri/swasta) atau (informal, formal, dan non formal).
Sekolah sebagai upaya adalah sekolah yang secara sadar dipersiapkan untuk membantu manusia atau kelompok manusia dalam mengembangkan pandangan hidupnya. Bagaimana manusia akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya. Sikap hidup yang dikembangkan, dan keterampilan hidup-baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental yang dilatih dan sikap sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai yang di yakini.
Sedangkan sekolah sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama yang diyakininya, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.
Setiap sekolah sejatinya, adalah lembaga yang menerima amanah untuk menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan potensi yang dibawa manusia sebagai peserta didik, agar menjadi manusia yang bahagia kini dan nanti. Dan kebahagiaan bersumber dari keyakinan yang kuat, hati yang luas, dan jiwa yang selalu mengabdi kepada Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar