19.
Manusia dan Potensinya
(fitrah dan gharizah)
Firman
Allah swt:”(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (Itulah) agama
yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum:30);
dan
Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa:
“Setiap bayi
dilahirkan atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan
Majusi” (HR Abu Hurairah ra);
MANUSIA,
dengan segala potensi dan fitrahnya. Serta upayanya untuk menjaga agar tetap
dalam fitrah. Tetap dalam kesuciannya tanpa dosa, tetap dalam kecenderungannya
berbuat baik, mengikuti jalan yang lurus, memiliki naluri berketuhanan. Naluri
mengenali Sang Pencipta yang berhak disembah. Pencipta yang telah membekalinya
memiliki segala kemampuan, diantaranya kemampuan berkehendak dan beringinan,
bertumbuh dan berkembang. Belajar dan bekerja sesuai dengan minat, bakat dan
potensi dasar (gharizah) mereka yang
unik.
Manusia diciptakan dengan segala
kemampuan, dengan segala kehendak dan keinginan. Namun kemampuan dan kehendak
tersebut bukan tanpa batas. Kehendaknya telah dibatasi oleh kehendak Yang Maha
berkehendak, kehendak yang tidak pernah menzalimi kehendak manusia. Agar
manusia menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan.
Manusia menjadikan
Sang Penciptanya sebagai tempat mengadu. Tempat berkeluh kesah ketika ditimpa
masalah dan musibah. Tempat memohon pertolongan ketika terancam bahaya. Minta
dibukakan pintu ketika semua pintu tertutup. Minta ditunjuki jalan ketika
menemui jalan buntu.
“Dan,
apabila mereka diliputi ombak-ombak besar yang bergulung-gulung, mereka berdoa
kepada Allah dengan ikhlas.”
(QS
Luqman:32)
Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama
tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah
wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.Setiap manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Orang tua dan lingkunganlah yang membuat mereka menjadi beragama
Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Manusia memiliki potensi dan fitrah secara mandiri, Allah
mempersaksikan kembali tentang keesaan-Nya melalui potensi yang dianugerahkan
kepada mereka, yakni akal dan pikiran, penglihatan dan pendegaran serta indra
lainnya. Hati, nurani dan naluri. Naluri-naluri (al-ghara’iz), yaitu
naluri-naluri yang tidak dapat diindra mata, namun terdapat pada manusia dan
menuntut pemenuhan. Al-ghara’iz dapat berupa naluri mempertahankan eksistensi
dan berorientasi pada diri sendiri (gharizah baqa’), seperti rasa ingin
dihargai, takut bila merasa terancam, ragu, bimbang, panik dsb. Bisa pula
naluri untuk melanjutkan keturunan (gharizah nau’), munculnya rasa cinta
kepada lawan jenis, kasih sayang kepada orang tua, anak isteri, saudara dsb.
Bisa juga naluri untuk berbuat baik, naluri untuk mensucikan diri, naluri
bertauhid (gharizah tadayun), seperti munculnya rasa takjub saat melihat
sesuatu yang Agung atau naluri beragama tauhid.
Alam semesta beserta
isinya adalah ruang belajar manusia, ruang belajar selanjutnya setelah memahami
diri dan tujuan kehidupannya. Memahami diri, menemu-kenali potensi diri
kemudian menumbuhkan-kembangkannya menjadi kemampuan dan beragam kecerdasan
agar dapat mengelola potensi dirinya, potensi lingkungannya, potensi hamparan
alam semesta ini. Asal muasal alam semesta, tujuan penciptaan, bagaimana
memelihara, menjaga, menghargai, dan memanfaatkannya. Inilah hakikat ruang
belajar manusia, bagaimana ia dapat membaca diri, sesama, lingkungan dan alam
semesta dengan senantiasa melibatkan Sang Pencipta. Ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum-Nya (hukum alam) sebagai sunnatullah
yang disampaikan melalui manusia-manusia pilihan, utusan-utusan, rasul-rasul
dan nabi-nabi agar manusia dapat mengetahui.
Bagaimana
manusia bercita-cita?
Ilmu itu
seperti cahaya,
dapat
memperjelas sudut pandang kita yang kabur
dalam
membedakan baik-buruk; bijak-bajak;
peduli-acuh;
tegas-keras; lemah-lembut;
santun-sombong;
hak-batil.
(aemsya)
SETIAP
MANUSIA mempunyai cita-cita dan harapan hidup. Sebagai manusia dalam mencapai
cita-cita ada yang harus meningkatkan kemampuan diri, berlatih tanpa letih.
Berusaha dengan kesungguhan mencapainya, niat yang lurus dan melibatkan Allah.
Kemudian dalam meningkatkan kemampuan diri bersamaan dengan mengetahui dan
menyadari batas kemampuan, talenta dan potensi dirinya. Dalam pencapaiannya
harus memikirkan keselamatan diri dan orang lain serta kebaikan lingkungan.
Tapi ada juga manusia yang menunjukkan
sisi hewaninya dengan menjatuhkan orang lain dan merusak lingkungan untuk
mencapai keinginannya. Bagaimana manusia beraktivitas? Bagaimana manusia
meningkatkan kecakapan hidup (meniru dan mencipta)? Bagaimana Manusia
Bertanggung Jawab (diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama)?
Bagaimana manusia berpikir? Bagaimana manusia mengolah jiwa dan raga? Bagaimana
manusia berkesenian? Bagaimana manusia mengasah kepekaan? Bagaimana manusia
membebaskan diri dari jeratan tujuan pendidikan yang semu atau bahkan keliru?
Pemahaman
sebagian besar dari kita tentang sekolah bisa jadi dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, diantaranya sekolah sebagai suatu lembaga, sekolah sebagai sebuah upaya
atau bahkan sekolah sebagai sebuah fenomena.
Sekolah sebagai lembaga, (negeri/swasta) atau (informal, formal, dan non
formal).
Sekolah
sebagai upaya adalah sekolah yang
secara sadar dipersiapkan untuk membantu manusia atau kelompok manusia dalam
mengembangkan pandangan hidupnya. Bagaimana manusia akan menjalani dan
memanfaatkan hidup dan kehidupannya. Sikap hidup yang dikembangkan, dan
keterampilan hidup-baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental yang
dilatih dan sikap sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta
nilai-nilai yang di yakini.
Sedangkan
sekolah sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua atau lebih
dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan
hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama yang
diyakininya, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada
salah satu atau beberapa pihak.
Setiap sekolah sejatinya, adalah
lembaga yang menerima amanah untuk menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan
potensi yang dibawa manusia sebagai peserta didik, agar menjadi manusia yang
bahagia kini dan nanti. Dan kebahagiaan
bersumber dari keyakinan yang kuat, hati yang luas, dan jiwa yang selalu
mengabdi kepada Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar