“ABK adalah peserta didik berkebutuhan khusus
dengan gangguan tertentu”
ABK
sering diartikan sebagai penyandang disabilitas (disabilty) yang mental, intelektual, maupun indera jangka panjang
yang dalam interaksinya menemui berbagai hambatan untuk berpartisipasi secara
penuh dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan atas asas persamaan. (CRPD, Convention on The Rights of People with
Disability atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Internasional). Konvensi
PBB ini telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 30 Maret
2007 sebagai wujud komitmen Pemerintah terhadap isu-isu disabilitas.
Walaupun istilah-istilah IMPAIRMENT, DISABILITAS, DAN HANDICAP
dalam bahasa Indonesia belum mendapat padanan kata yang tepat, namun Badan Kesehatan PBB WHO (World Health Organization) memberikan
kemudahan kepada kita untuk memahami ketiga sebagai berikut:
Impairment, dimaknai
sebagai kelainan yang bersifat sementara maupun permanen pada
impairment dapat diartikan sebagai gangguan fungsi afektif pada mental
(ingatan, kesadaran) atau indera (mata telinga, dll), atau organ tubuh dalam
(jantung, ginjal), atau organ tubuh luar (kepala, badan), atau juga anggota
gerak.
Disabilitas, terhambatnya atau ketidakmampuan seorang individu untuk melakukan
kegiatan atau berpartisipasi dengan cara yang dianggap impairment atau
kelainan; dan
Handicap,
istilah
ini mengacu pada akibat yang ditimbulkan oleh impairment atau disabilitas yang
membatasi atau mencegah seorang individu untuk menjalankan perannya dalan cara
yang dianggap normal terkait usia, jenis kelamin, faktor sosial dan juga
budaya.
Konsep ABK selanjutkan akan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana
cara terbaik untuk membantu anak dan remaja beserta keluarganya yang telah
mengalami perubahan yang signifikan. Pergeseran paradigma tersebut tentunya
akan berdampak terhadap munculnya istilah-istilah atau predikat-predikat
terhadap ABK. Perubahan makna bisa jadi disebabkan oleh perubahan filosofi,
sikap, dan praktek profesional yang terkait dengan bantuan bagi ABK.
Sampai akhir 1970-an, intervensi
didominasi oleh apa yang disebut sebagai “pendekatan berpusat pada para
profesional.” Orientasi ini berimplikasi bahwa para profesional membuat
diagnosis, memberi resep untuk perlakuan, dan bertanggung jawab atas
pelaksanaannya. Sementara itu pada tahun 1980-an, praktek profesional seperti
itu berubah dibanyak bidang menjadi apa yang dapat disebut sebagai pendekatan
yang lebih berorientasi keluarga. Tahun 1990-an terdapat perubahan lebih lanjut
menuju pendekatan berpusat pada keluarga dalam melaksanakan intervensi. Konsep
baru kemudian diperkenalkan melalui pernyataan Salamanca
dan beberapa konsep diperkenalkan sebelumnya. Konsep-konsep ini penting karena
menggambarkan proses dan perubahan saat ini. Pernyataan Salamanca menekankan semua anak dapat dididik walaupun mengalami
hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat.[1]
Oleh para ahli ABK dikelompokkan
menjadi dua jenis yaitu ABK menetap (permanen)
dan ABK sementara (temporer).
Skjorten,M.D, (2003) menegaskan bahwa semua anak memiliki kebutuhan khusus
hanya ada yang bersifat temporer ada yang bersifat permanen maupun temporer
dapat dilihat dari kondisi sosial emosional, dan/atau kondisi ekonomi, dan/atau
kondisi politik, dan/atau kelainan bawaan dan/atau kelainan yang didapat pada
awal kehidupannya atau kemudian. Hambatan belajar dan perkembangan dapat
terdiri dari banyak bentuk. Dimasa lalu, pendekatan-pendekatan pengajaran anak
berkebutuhan khusus ditentukan oleh diagnosis media yang diberikan kepada
mereka dengan pendekatan tersebut, anak-anak dengan diagnosis yang serupa harus
diajar dengan cara yang sama. Sekarang disadari baahwa walaupun pembelajaran
akan dipengaruhi oleh kelainan, tetapi ada faktor-faktor lain yang lebih
penting yang membuat perbedaan.
Perbedaan merupakan keniscayaan yang
pasti terjadi pada setiap makhluk, tidak terkecuali makhluk yang bernama
“manusia.” Manusia sebagai insan yang berakal budi yang memiliki potensi
mengusai makhluk lain, dikatakan normal bila sesuai dengan keadaan biasa.
Seperti kebanyakan secara umum. Namun disekitar kita ditemui pula manusia yang
tidak biasa, memiliki kekurangan atau bahkan kelebihan sehingga nilai mutunya
kurang baik atau terlalu baik, secara fisik, mental atau sosial. [βểld@]
[1]
Pokja
Pendidikan Inklusif, Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Propinsi Kalimantan Selatan. Dinas
Pendidikan Propinsi Kalimantan Selatan, 2013.
0 komentar:
Posting Komentar