SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S



SYEKH SITI JENAR
Dalam Babad Tanah Jawi





KISAH Syekh Siti Jenar dapat kita temukan dalam beragam versi. Kali ini kita akan membahasnya sebagaimana yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi atau dinamakan juga sebagai “Galuh Mataram”.  Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa suatu hari ketika Para Wali berkumpul di Giri Keraton-Gresik dalam sebuah pertemuan yang dihadiri lengkap oleh delapan orang wali. Dalam pertemuan tersebut Sunan Bonang berkata kepada para wali,” Wahai anakku Sunan Giri. (Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmita yang dianggap raja/mufti dari para wali Jawa). Saya beritahukan, bahwa wali di Jawa telah lengkap berjumlah delapan orang. Adik Sunan Kalijagalah yang menjadi penutup.”
Sunan Giri menyetujui usul Sunan Bonang, begitu pula dengan para wali lainnya. Namun Sunan Kalijaga agak merasa keberatan dan berkata,
”Hamba menjadi sunan, tetapi belum pernah mendapat petunjuk-petunjuk. Bila tidak keberatan, hamba mohon petunjuk-petunjuk.”
Raden Rahmat Sunan Ampel berkata,”Anakku Sunan Bonang, baiklah Sunan Kalijaga diberi petunjuk-petunjuk.”
Sunan Bonang memahami maksud Raden Raden Rahmat untuk menyanggupi permintaan Sunan Kalijaga. Maka pergilah mereka berdua ke sebuah telaga dengan menaiki sebuah perahu. Namun karena perahu yang digunakan mengalami kebocoran, maka Sunan Bonang meminta Sunan Kalijaga untuk menambalnya dengan tanah liat. Setelah itu mereka berdua mengayuh perahu ketengah telaga.
Di bawah cahaya lembut bulan purnama, malam terasa tenang setenang air telaga yang tak beriak. Setenang suasana sekitar telaga. Hanya terasa desiran lembut angin malam. Setenang sikap kedua Sunan dalam perahu. Mereka sedang melaksanakan proses pelajaran ilmu hikmah tingkat tinggi dari Sunang Bonang kepada Sunan Kalijaga. Proses pembelajaran seperti bermain teka-teki, karena Sunan Bonang menggunakan kias.
“Ada suluh menyala dengan empat pusat, kalau api padam kemanakah perginya api?” kata Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menjawab,”Apa pergi ke suluh tidak bercahaya.”
Sunan Kalijaga menjawab,”Api pergi ke suluh tidak bercahaya.”
Jawaban itu betul, karena ia dapat menerimanya dengan baik dan bersamaan dengan turunnya wahyu kepadanya.
Berkata Sunan Bonang,”Jangan sekali-kali kau ucapkan atau kau ajarkan wejgan ini, karena ini adaah ilmu ghaib (ilmu rahasia). Kalau ini sampai terengar oleh makhluk lain, appapun ujudnya dan laupun ia afir asalkan ia dapat mengerti maksudnya, ia akan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).
Pembicaraan keduanya telah dicuri dan dimengerti oleh seekor cacing lur yang berada pada tanah liat penambal perahu. Maka tiba-tiba Cacing tersebut berkata,” Wahai Kanjeng Sunan berdua, hamba dengan tidak sengaja ikut mendengar segala wejangan yang tuanku bicarakan. Hamba dapat mengerti, sehingga rasa-rasanya hamba akan menjadi manusia.”
Bertanya Sunan Kalijaga,”Siapa kau?”
Cacing Lur berkata,” Hamba cacing Lur yang ada di dalam tanah liat tuanku pakai menambal perahu.”
Sunan Bonang berkata,”Sudah menjadi takdir Allah, cacing Lurk arena mendengar wejangan ini, ia menjadi orang.”
Benar saja, tiba-tiba asap mengepul, cacing Lur mengalami proses perubahan hingga akhirnya menjadi seorang manusia. Manusia yang sedang dalam posisi duduk bersujud di kaki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Memberi hormat kepada kedua wali yang telah menyempurnakan wujudnya menjadi manusia. Makhluk yang mulia.
“Kuterima sembah penghormatanmu, mulai sekarang kamu bernama Syekh Lemah Abang, karena engkau berasal dari tanah liat yang merah warnanya.” Kata Sunan Bonang, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga.”Adi Sunan Kali, itu suatu tanda Mahakuasaan Allah Swt, tak dapat dipikir-pikirkan. Sebenarnya adi sebelum diwejang pun telah menjadi kekasaih Allah. Ingat ketika kamu hendak pergi haji ke Mekkah. Kamu disuruh kembali dan bertapa di bawah titian Galinggang. Kamu tidur disitu seratus hari lamanya, andaikata kamu bukan kekasih-Nya tentu badanmu hancur lebur. Kamu telah dipilih oleh Tuhan. Kehidupanmu akan abbadi, walaupun badanmu akan hancur binasa. Kamu akan terus hidup, walaupun kehidupamu tak akan menghidupi. Segala wali belum pernah ada seorang pun yang telah menyeberangi lautan kematian setepat yang kamu kerjakan. Aku ini seperti menghadapi botol di dalam gelas, dapat melihat maya (bukan barang yang sesungguhnya) tapi belum pernah dapat merasakannya. Oleh karena itu bila setujui, tunjukilah aku Adi, biarpun aku dikatakan orang kerbau menyusu pada anaknya, wali berguru pada sahabat.”
Sunan Kalijaga menjawab,”Hamba menurut, karena hamba bersifat mengantar. Jalan dapat dikatakan mudah tapi juga sulit. Syaratnya hanyalah, tak boleh was-was dalam hati.’’
Kemudian keduanya saling berhadapan, kedua tangan berpegangan satu sama lain. Keduanya hening sambil melafalkan doa-doa dalam sekejap mereka telah menghilang meninggalkan Syekh Lemah Abang. Syekh Lemah Abang mengetahui arah pergi keduanya, dan menyusulnya kedua guru tersebut ke Tanah Mekkah.
Ternyata di Mekkah telah berkumpul para wali melaksanakan shalat Jumat. Setelahnya mereka bermusyawarah untuk mendirikan mesjid di Tanah Jawa. Berdirinya Mesjid Demak salah satu hasil musyawarah tersebut. Syekh Lemah Abang ikut menyebarkan agama Islam di daerah yang bernama Lemah Abang. Mula-mula secara rutin Syekh Siti Jenar selalu mengikuti kegiatan shalat Jumat di mesjid Demak, namun lama kelamaan berangsur-angsur sering absen bahkan akhirnya tidak pernah datang lagi. Tentu hal ini mengundang perhatian dan tanda tanya dari para wali.
Suatu hari selesai shalat Jumat para wali mengadakan musyawarah. Musyawarah di pimpin oleh Sunan Giri. Musyawarah di dibuka oleh Sunan Giri,” Saudara-saudara para aulia, saya hendak mengajukan permasalahan yang selama ini terasa mengganggu pikiran kita bersama. Perihal Syekh Siti Jenar yang telah lama tidak kelihatan shalat Jumat di Mesjid Demak. Hal ini tentunya berdampak kurang baik dan menimbulkan prasangkadari kalangan awam.”
“Jika demikian, Tuanku, sebaiknya dia diberi peringatan karena wali yang tak shalat berjamaah akan menjadi contoh yang kurang baik. Mungkin orang akan mengira wali teladan meninggalkan syariat Nabi Muhammad SAW.” Usul Syekh Maulana Maghribi. Maka atas usul Syekh Maulana Maghribi tersebut Sunan Giri memanggil dua orang santri yang sudah tinggi ilmunya bernama Santri Kodrat dan Malang Sumirang.
“Pergilah kalian ke tempat Syekh Siti Jenar, sampaikan kepadanya bahwa ia ditunggu para wali untuk bermusyawarah.” Perintah Sunan Giri kepada kedua muridnya.
“Baik, Prabu titah tuan segera kami jalankan,” Santri Kodrat dan Malang Sumirang kemudian bersemadi dan dalam sekejap mereka telah sampai di gua pertapaan Syekh Siti Jenar. Keduanya lalu memberi salam dari luar gua sambil berkata,”Prabu Satmata, Sunan Giri menyuruh menghadap.”
“Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah SWT. Utusan kembalilah kepada para wali.” terdengar suara menjawab salam dari dalam gua dan jawaban atas undangan. Kedua utusan bingung, mereka tidak mengerti apa maksud perkataan Syekh Siti Jenar. Namun mereka pun kembali, menghadap Sunan Giri dan segera melaporkan apa yang barusan terjadi.
“Cobalah tirukan seperti apa kata-katanya!” Pinta Sunan Giri.
Santri Kodrat membungkuk,”Kami mendengar jawaban dari dalam gua sebagai berikut: Syekh Siti Jenar tidak ada yang ada hanya Allah SWT. Utusan kembalilah kepada para wali.”
Sunan Giri berkata,”Kalau begitu kembalilah dan katakanlah bahwa Allah diminta datang ke musyawarah para wali.”
Keduanya pun membungkuk hormat lalu pergi. Tidak begitu lama mereka sudah berada di muka pintu gua, memberi salam dan meyampaikan undangan Sunan Giri. “Allah tidak ada yang ada hanya Siti Jenar.” Terdengar jawaban dari dalam gua. Kedua santri itupun kemudian kembali dengan perasaan penasaran. Disampaikanlah kejadian tersebut kepada Sunan Giri. Mereka pun diminta Sunan Giri untuk kembali lagi.
“Baiklah, undanglah Siti Jenar dan Allah supaya bersama-sama menghadiri musyawarah para wali.”
Untuk ketiga kalinya utusan pergi menyampaikan undangan kepada Syekh Siti Jenar. Kali ini merekaa berhasil membawa Syekh Siti Jenar kehadapan para wali. Syekh Siti Jenar memberi salam dan hormat kepada para wali, kemudian duduk menggambil tempat.
“Wahai Syekh Siti Jenar, kamu, saya undang menghadiri musyawarah para wali yang membahas tentang ilmu sufi.” Kemudian Sunan Giri menerangkan tentang apa yang dimaksud Zat Allah SWT, arti wewenang atau purbawasesa kekuasaan Allah di alam akhirat, arti menghidupi dunia-raya, keajaiban Allah dan sebagainya. Sunan Ampel pun menambahkan keterangan tentang sifat Allah yang baqa dan tak pernah berubah. Sunan Bonang mengatakan hal yang sama yaitu hanya Allah yang hidup baqa, tak mengenal perubahan, mengusai hidup segala makhluk dan dunia. Sunan Kalijaga menambahkan, bahwa Allah itu hidup sejati, baqa, kekal dan tak kena mati, menguasai seluruh makhluk, memenuhi dan meliputi seluruh dunia raya. Kemudian dilanjutkan oleh para wali lainnnya membuat paparan sesuai dengan ilmu dan pengetahuan agama mereka masing-masing.  Hingga sampai akhirnya pada giliran Syekh Siti Jenar.
“Khalik dan makhluk itu sama. Jadi bila makhluk menyembah Khalik itu sama saja dengan Khalik menyembah Khalik. Nabi Allah sebenarnya jadi satu dengan Allah dan ada pada Allah. Allah itu hanya sebutan, tidak mempunyai wujud. Muhammad itu pada hakikatnya Nur Allah, dalam bentuk lahir ialah manusia Muhammad. Siti Jenar menjadi gantinya atau wujudnya persatuan Makhluk dan Khalik. Tak ada perasaan karena rasa dan hidupnya sudah satu. Yang berkata-kata ini tidak lain kecuali Syek Siti Jenar. Hidup itu baqa. Dunia dan akhirat sama. Orang sesama hidupnya pun sebenarnya sama dengan Siti Jenar. Semuanya itu sama.” Siti Jenar menutup pembicaraanya.
“Jika itu kau ajarkan secara langsung kepada masyarakat kita yang masih awam maka mereka bisa jadi salah paham. Mesjid akan menjadi kosong karena mereka tidak lagi menghiraukan syariat. Tidak mau menyembah Allah lagi. Penuhilah syariat!” kata Sunan Giri.
“Tuanku, kalau hidup itu hanya dipergunakan untuk sembahyang, itu berarti habis dipakai untuk bersopan santun saja. Ibadahnya tidak menjadi kuat. Itu ilmunya orang bodoh dan kafir. Kalau orang betul-betul narima  pada hakikatnya ia adalah persatuan kawula-gusti. Hendak menjadi Allah dapat semau-maaunya. Tak ada Allah sembahyang, tak ada Allah makan dan tidur, tapi ia menghidupi dunia.” Syekh Siti Jenar menjawab dengan senyum.
“Kalau kamu benar-benar Allah dan kamu sudah percaya kepada syariat Nabi tentu kamu rela untuk mati. Tuan Allah Siti Jenar tak ada gunanya di dunia, hanya akan mengosongkan mesjid. Lebih baik kau pulang ke surga.” Syekh Maulana Maghribi.
“Saya tidak berpegang kepada keprcayaan, dunia dan akhirat saya miliki, karena apa saja yang kasar dan halus adalah milik saya. Semua itu pada hakikatnya adalah saya, tidak lain. Sudahlah, Selamat tinggal wali-wali semua. Saya akan kembali ke Istikayat.” Syekh Siti Jenar menjawab sambil tersenyum. Sambil naik ke angkasa. lamat-lamat kelihatan dari pintu surga Rakhmatullah. Tampak cahaya seperti matahari menunggang gunung. Semua melihat takjub.
Sunan Giri memberinya salam dan dijawabnya pula, Sunan Giri berkata,”Saya mohon peninggalan, untuk bukti pada hari yang akan datang.”
“Terimalah baju saya ini, jangan kecewa sesudah saya pergi.” Terdengar suara Syekh Siti Jenar. Baju dilemparkan dari pintu dan menjadi orang yang berdiri bersilang tangan seperti orang bersembahyang. Sosoknya tampak persis dengan Syekh Siti Jenar namun tidak berkata apa-apa.
“Sunan Palembang, Syekh Siti Jenar telah mengatakan sanggup kembali ke surga dengan badan jasmaninya. Sekarang badan jasmaninya itu dikembalikan. baiklah itu dihukum mati dan dibakar dalam api.” Sunan Giri berkata.
“Melihatlah ke angkasa dan tunduklah ke bumi, ucapkan doamu.” Syekh Maulana Maghribi berkata sambil menikamkan pedang ke tubuh Syekh Siti Jenar. Namun tak mempan (lud) bahkan ketika ditikam berulang kali. Hal ini tenttu membuat Syekh Maulana Maghribi penasaran.
“Siti Jenar! Kamu berkata rela mati, tapi ketika ditikam mengapa tidak mempan? Bukankah itu bohong?” Seketika tubuh Siti jenar kelihatan luka-luka bekas tikaman. Namun sungguh pun tubuhnya telah dipenuhi tikaman, namun tidak mengeluarkan darah dan dia tetap dalam posisi berdiri.
Syekh Maulana Maghribi berkata,” Itu luka orang jahat, mengapa luka tetapi tidak berdarah?”
Seketika dari tubuhnya mengucur darah merah. Syekh Maulana Maghribi pun berkata lagi,”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah berwarna merah.” Seketika itu pula darah merah berganti darah putih. Syekh Maulana pun berkata,”Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Jika insan kamil betul, tentu dapat masuk surga dengan jasmani, berarti kawula gusti tak terpisah. Maka dalam sekejab tubuh Siti Jenar hilang secara ghaib.
Melihat demikian Syekh Maulana Maghribi lalu membuat muslihat. Diambilnya seekor anjing putih dari Kudus, lalu ditikamnya dileher. Bangkainya dibungkus dengan kain putih, kepalanya diberi surban. Dan dibiarkan menjadi tontonan khalayak dan diumumkan bahwa Syekh Siti Jenar telah meninggalkan syariat Nabi Muhammad SAW, sehingga mendapat hukuman mati dan berubah menjadi anjing. Kabar segera tersebar keseluruh daerah.
Kabar tersebut telah tersiar keseantero wilayah hingga akhirnya terdengar oleh seorang pengembala kambing bernama Lontang Asmara. Lontang Asmara merupakan salah seorang murid Syekh Siti Jenar. Mendengar kematian gurunya, ia mendatangi para wali, dan berkata,” Saya dengar tuan-tuuan telah membunuh guru saya Syekh Siti Jenar. Jika itu benar sebaiknya saya dibunuh juga, sebab saya ini Allah juga yang mengembala kambing.”
 Mendengar pengakuan Lontang Asmara, kontan saja membuat Syekh Maulana Maghribi menarik pedangnya dan menebas leher Lontang Asmara hingga putus. Tubuhnya terjatuh ke bumi dan sekejap menghilang dari penglihatan mata. Tubuhnya lenyap secara ghaib. Semua yang menyaksikan merasa takjub.
Berselang beberapa beberapa hari anjing pengganti Siti Jenar pun dibakar dalam api yang cukup besar. Setelah api padam terdengar suara,” Hai para wali, kamu itu pendeta yang berbuat salah terhadap sesama hidup. Kamu pendeta yang bersifat telur, putih di luar, kuning di dalam. Kamu hanya membuat kesusahan dibelakang hari. Saya akan membalas anak cucunya pada jaman Mataram. Para wali akan rusak. Ingat-ingatlah, bila pada jaman Mataram itu ada raja yang suka bertapa, saat itulah datangnya pembalasanku. Bila kamu belum tahu siapa aku ini dengarkan baik-baik. Saya ini adalah seorang pendeta dari gunung Serandil. Saya kena kutuk ayahku menjadi cacing dan dibung ke pulau Jawa. saya memndapat ampunann Allah SWT dan kembali berupa manusia, bernama Siti Jenar. Selamat tinggal!”.
Inilah kisah Syekh Siti Jenar versi Babad Tanah Jawi Galuh Mataram, sebagaiman penulis kutip dan diadopsi dari beberapa sumber, utamanya dari beberapa buku karya MB.Rahimsyah AR[1] dan RKH.Fuad Amin Imron[2][S3J]


[1] MB.Rahimsyah, Kisah dan Ajaran Syekh Siti Jenar. Penerbit Karya Agung: Surabaya, hlm. 8-9 tanpa tahun dan tanpa ISBN. dan Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa disertai Tata Cara Ziarah Kubur, Cipta Karya: Surabaya, 2011, 1222buku ini penulis dapatkan ketika ziarah ke Makam Sunan Giri di Gresik, 9 Oktober 2013.
[2] RKH.Fuad Amin Imron, dalam buku Syaikhoma Kholil Bangkalan, Penentu berdirinya Nahdatul Ulama.

0 komentar:

Posting Komentar