SELAMAT DATANG DI BLOG RUMAH INSAN BELAJAR || BAGI YANG INGIN MEMPUBLIKASI ULANG MENGENAI ISI DARI BLOG INI HARAP CANTUMKAN LINK SUMBER DAN PENULIS. TRIM'S

Hasutan SYEKH SITI JENAR

Kamis, 20 November 2014 |



Hasutan
SYEKH SITI JENAR







SYEKH SITI JENAR diceritakan tidak hanya menyampaikan ajaran yang kontroversial tetapi juga memiliki catatan kegiatan yang melawan pemerintah yang sah. Seperti di Pengging Siti Jenar telah menghasut Adipati Handayaningrat yang dikenal dengan Ki Kebokenongo untuk melawan Sultan Demak. Rakyat Pengging membuat senjata sendiri sebagai persiapan untuk melawan raja dan mendirikan kerajaan baru yang akan menggantikan Demak. Sehingga menyebabkan Pengging akhirnya ditumpas ketika menunjukkan gejala ke arah pemberontakan.
Penyerbuan tentara Demak ke Pengging yang dipimpin oleh Sunan Kudus telah menyembabkan Handayaningrat. Walaupun dengan serangan tentara yang tidak besar, namun dengan taktik lihai Sunan Kudus dapat melumpuhkan kekuatan Pengging. Kelumpuhan Pengging berdampak pada penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar menjadi terhenti. Kondisi ini merupakan pukulan telak bagi Syekh Siti Jenar.
Syekh Siti Jenar tidak kehilangan cara, dia kemudian menghasut Pangeran Carbon di Cirebon. Pangeran Carbon adalah Panglima tentara Cirebon yang dihasutnya untuk merebut tahta Cirebon. Beserta penguasa wilayah lainnya serangan disusun dan dipersiapkan. Namun seperti halnya Pengging, upaya merebut Cirebon juga dapat digagalkan. Ajaran paham Syekh Siti Jenar kembali mengalami hambatan.
Ajaran paham Syekh Siti Jenar dianggap memiliki paham yang aneh. Ia menganggap hidup di dunia ini sebagai siksa, sehingga tindakannya acapkali menunjukkan sikap orang yang seolah tidak tahan hidup. Lihat saja tingkah laku pengikutnya bila berada di ruang publik seperti pasar, tempat pertemuan, lapangan, jalan dan lain-lain. Tidak jarang mereka membuat ulah sehingga menimbulkan perkelahian dan tindak anarkis sehingga menelan korban. Di jalan misalnya ketika berpapasan dengan orang lain, mereka cenderung tidak mau menyisih dan memancing kemarahan. Bila orang menyisihpun mereka justru menjegalnya agar terjadi perkelahian. Tidak jarang mereka menggunakan senjata tajam agar bisa lebih cepat mati. Sikap yang tidak patut ditiru. Tabiat yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat.
Memang para pengikut Syekh Siti Jenar, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tabiat yang relatif sama yaitu, angkuh, suka membuat gaduh, tidak jarang merampok dan berkelahi. Bila terjadi tindak kriminal, hampir selalu ada pengikut Syekh Siti Jenar yang menjadi biangnya. Jika ditangkap dan diamankan mereka lebih memilih bunuh diri dalam tahanan. Jawaban mereka terkesan angkuh dan acap membuat kesal petugas,  seperti,”Kami adalah murid Syekh Siti Jenar yang sudah banyak mengunyah ilmu. Peduli kata orang lain, hidup di dunia ini hanya menjalani kematian. Kami telah bosan dan jenuh menyaksikan bangkai bernyawa yang bertebaran disana sini. Dunia ini hanya dipenuhi mayat.”
Mereka juga mengejek orang yang melakukan shalat. Mereka beranggapan mengapa orang mati diajari shalat untuk menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.
Ajaran dari paham yang mempengaruhi ulah para pengikut Syekh Siti Jenar ini telah mengganggu ketertiban Demak. Demak menjadi tidak tentram kala itu. Hal ini memaksa Sultan Demak m,elibatkan para ulama dan mengutus dua santri terbaiknya dalam berdebat yaitu Syekh Domba dan Pengerat Bayat untuk menemui Syekh Siti Jenar. Namun keduanya tidak berhasil melayani debat Syekh Siti Jenar. Bahkan para ulama kecuali Sunan Kalijaga.
Syekh Domba justru sangat kagum terhadap uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar. Syekh Domba diam-diam mengakui kebenaran paham ajaran Syekh Siti Jenar dan bermaksud menyatakan diri menjadi muridnya. Namun untunglah Pangeran Bayat mencegahnya karena sebelumnya dapat mencium dan menangkap keadaan tersebut. Syekh Domba yang terpengaruh ketika Syekh Siti Jenar memberikan uraian perihal ilmu hakikat yang dikuasainya.
Ringkas cerita kedua utusan segera kembali ke Demak untuk memberikan laporan. Mereka berdua memberikan laporan perihal peristiwa yang dihadapi dan saksikan. Tentang ajaran dan keangkuhan Syekh Siti Jenar mempertahankan sikapnya. Sultan kemudian bermusyawarah dengan para ulama dan mengambil keputusan untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke Istana. Lima orang diutus menemui Syekh Siti Jenar, yaitu Sunan Ngudung, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pimpinan rombongan. Rombongan ulama juga diikuti oleh empat puluh santri yang dipersenjatai. Kondisi ini dipersiapkan jika keadaan memaksa.
Perdebatan sengit akhirnya tidak bisa dihindari ketika kelima ulama sebagai utusan Raja Demak bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Perdebatan semakin sengit sampai akhirnya Sunan Kalijaga mengeluarkan ancaman agar Syekh Siti Jenar bersedia dijemput ke Istana. Akan tetapi Syekh Siti Jenar tidak bergeming, ia tetap tidak bersedia ke Demak walau dibunuh sekalipun. Menurutnya ulama dan raja tiada bedanya dengan dirinya. Tulang sama-sama dibalut oleh daging. Darah dan daging sama-sama dibalut kulit, lalu apa yang ditakuti? Semuanya akan menjadi bangkai. Syekh Siti Jenar pun memilih MATI dengan berkonsentrasi menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia. [S3J]

SYEKH SITI JENAR & Paham Ajarannya

Selasa, 18 November 2014 |



SYEKH SITI JENAR
&
 Paham Ajarannya
(Manunggaling Kawula Gusti)









SYEKH SITI JENAR menganut paham manunggaling kawula gusti, disebutkan oleh Mark R.Woodward dalam kutipannya sebagai berikut:
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syekh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jamaah di mesjid. Hal ini bukanlah perilaku seorang yang normal. Syekh Maulana Maghribi berpendapat, hal itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah Nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke goa tempat Syekh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu, hanya Allah yang ada dalam goa. Mereka kembali ke mesjid untuk melapor kan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian diberitahu, Allah tidak ada dalam goa yang ada hanya Syekh Siti Jenar.
          Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Siti Jenar keluar goa dan dibawa ke mesjid menghadap para wali. Ketika ia tiba Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin sufi.
          Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan doktrin kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa digambarkan antara Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri mengatakan doktrin itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat kosong mesjid dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahhwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.[1]
Jika demikian yang menjadi masalah bukan substansi ajaran Syekh Siti Jenar, tetapi penyampaiannya kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham Syekh Siti Jenar belum boleh atau bisa disampaikan kepada masyarakat luas begitu saja, sebab karena dapat  membingungkan. Apalagi saat itu masih banyak yang baru saja memeluk agama Islam.
Berikut kutipan percakapan Sunan Giri dengan Syekh Siti Jenar dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Khoen Swie:
Syekh Siti Jenar berkata,“Untuk apa kita membuat binggung, untuk apa kita mempersulit ilmu?”
Sunan Giri berkata,”Benar apa yang Anda ucapkan, tetapi Anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.”
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup-tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerah kepada mereka yang benar-benar telah matang. tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Karena itulah ketika Syekh Siti Jenar masih menjadi murid Sunan Giri, telah berkali-kali meminta di ajarkan ilmu hakikat. Namun Sunan Giri enggan memberikannya karena melihat gelagat yang kurang baik pada diri Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar tidak pernah kehilangan cara untuk menggali ilmu hakikat.
Akhirnya secara sembunyi-sembunyi mencari kesempatan mendengarkan wejangan Sunan Giri kepada murid-murid yang lain. Dengan cara demikian Syekh Siti Jenar mengetahui ilmu yang diajarkan Sunan Giri hingga akhirnya ia mendirikan majelis ilmu dan mengajarkannya kepada masyarakat luas. Ilmu yang seharusnya tidak disampaikan secara luas kepada masyarakat awam bahkan baru saja memeluk agama Islam. Kebanyakan mereka belum siap dengan ilmu agama dan keimanan yang masih lemah. Sehingga ajaran Syekh Siti Jenar sering menimbulkan penafsiran yang beragam dan dianggap meresahkan masyarakat. Karena tidak sedikit pengikutnya yang berperilaku aneh dan melakukan tindakan-tindakan anarkis kala itu.[S3J]


[1] ibid 25-26



SYEKH SITI JENAR
Faktual atau Imajiner?









BERAGAM versi tentang cerita Syekh Siti Jenar, baik tentang nama maupun muasalnya mengundang kontroversi tentang keberadaannya. Apakah betul-betul sosok yang nyata atau hanya imajiner? R. Tanojo[1] dalam Riwayat Wali Sanga Babad Djati diungkapkan bahwa,

“Berganti yang diceritakan, adalah seorang wali yang amat pandai, bernama Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemahbang, tinggal di desa Krendhsawa, dulunya berasal dari rakyat biasa, memperoleh anugerah Ilahi, dapat menguasai ilmu tertinggi berasal dari Kanjeng Susuhunan Bonang, yaitu pada waktu beliau mengajarkan ilmu wirid kepada Kanjeng Susuhunan Kalijaga di tengah rawa di atas perahu.”

Tentang keberadaan masih dalam perdebatan. Karena tidak ada sumber yang mengungkap secara jelas dengan fakta dan data yang lengkap sebagaimana layak sejarah. Tempat dan tanggal lahir serta meninggalnya. Keturunan dari ayah dan ibu. Sanak keluarga dan keturunannya jika ada.
Lepas dari itu semua agaknya yang tidak dipertentangkan adalah perihal paham keagamaan yang menjadi esensi cerita Syekh Siti Jenar sebagai sosok sufi yang kontroversial. Paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa yang dikenal dengan sebutan manunggaling kawulo gusti yang berarti menyatunya manusia dengan Tuhan. Paham yang telah berkembang dari kalangan Sufi Persia bernama Al-Hallaj. Karena berkembang dengan istilah Jawa, maka diperlukan sosok yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini.
Sebagaimana Umar Hasyim[2] seperti dikutip MB.Rahimsyah AR (2011) mengatakan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah khalayan dan Siti Jenar hanyalah tokoh yang diadakan saja untuk menyatakan pertentangan antara paham tashawuf Wihdatul Wujud dengan faham yang benar-benar menurut sunah Rasul. Faham Wihdatul Wujud atau ittihad atau tahallul yang dalam falsafah kejawen dinamakan manunggaling kawula gusti adalah SESAT. Tuhan (gusti) adalah bersatu (manunggal) dengan makhluk (kawula), dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar diadakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran manunggaling kawula gusti itu sesat dan berbahaya bagi ajaran tauhid.[S3J]


[1] ibid, hal 24-25 dan 109
[2] ibid, hal 109



SYEKH SITI JENAR
Versi
Tan Khoen Swie





KISAH Syekh Siti Jenar versi Tan Khoen Swie mengungkap fakta lain bahwa dijelaskan asal usul Syekh Siti Jenar dari Tanah Arab bukan orang Jawa asli. Bagaimana ceritanya mari kita ikuti serat Walisana terbitan Tan Khoen Swie yang didasarkan salinan Harjawijaya tahun 1918,

Besarlah perguruan Sunan Giri
dicintai para ulama,
adalah seorang muridnya,
dari negeri Siti Jenar,
bbernama San Ngali Ansar,
terkenal dari tempat tinggalnya,
disebutlah ia Syekh Siti Bang.

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah San Ngali Ansar atau Hasan Ali Ansar. Dari namanya timbul dugaan bahwa dia berasal dari Tanah Arab bukan berasal dari tanah Jawa asli. Namun ada pula yang beranggapan bahwa Syekh Siti Jenar tidak lain adalah Raden Abdul Jalil. Nama Siti Jenar  diduga merupakan nama tempat tinggal yaitu Paguron Murid Sunan Giri. Nama Syekh Lemah Abang sendiri bukan merupakan nama tempat melainkan nama muasal yaitu tanah merah (lemah abang).
Dalam hal tempat tinggal, ada yang menyebut Syekh Siti Jenar bermukim di Krendhasawa sekitar Jepara, Jawa Tengah. Wallahualam. [S3J]